Aliran-Aliran Teologi Dalam Islam
Murjiah: Tokoh dan Pandangannya
Aliran Murjiah[1] muncul sebagai reaksi atas sikapnya yang tidak mau melibat (netral) dalam upaya kafir-mengkafirkan terhadap orang Islam yang melakukan dosa besar seperti yang dilakukan Khawarij. Mereka menangguhkan penilaian terhadap orang-orang yang terlibat dalam arbitrase di hadapan Tuhan, karena hanya Dia-lah yang mengetahui keadaan iman seseorang. Orang mukmin yang melakukan dosa besar, dalam pandangan mereka, masih mukmin selama ia bersyahadat.
Sikap seperti itu mereka ambil dengan tujuan agar tidak terlibat dalam pembersihan yang dilakukan Bani Umayah. Mereka juga berpendirian seperti halnya Khawarij dan lainnya bahwa ada orang-orang Bani Umayah yang menjadi fasiq atau kafir, tetapi mereka tidak secara terbuka menjadikan Bani Umayah sebagai musuh, seperti yang dilakukan Syiah, atau memeranginya seperti yang dilakukan Khawarij. Mereka menegaskan posisi politiknya dengan menyatakan bahwa mereka mengikuti Bani Umayah karena Muawiyah sebagai khalifah yang sulit dipungkiri. Mereka juga tidak memusuhi Muawiyah karena paham mereka menyatakan bahwa setiap dosa, betapapun besarnya, tidak membuat pelakunya keluar dari iman. Selama manusia beriman, ia tidak boleh dibunuh. Bagi mereka, yang diutamakan dalam akidah adalah iman; masalah perbuatan dinomorduakan. Melakukan perbuatan setelah iman, memang dosa besar, tetapi masih ada harapan untuk mendapat rahmat Tuhan dan akan masuk surga.
Sebagai sebuah aliran teologi, Murjiah mempunyai pendapat yang secara umum digolongkan kepada dua bagian, yaitu Murjiah moderat dan Murjiah ekstrem.[2] Murjiah moderat berpendapat bahwa pelaku dosa besar tidak menjadi kafir karenanya dan tidak kekal di dalam neraka. Orang seperti itu disiksa di neraka sesuai dengan dosa yang diperbuatnya. Bahkan, apabila Tuhan mengampuninya, ada kemungkinan Tuhan tidak memasukkannya ke neraka. Jadi pelaku dosa besar, menurut mereka, masih tetap mikmun.
Tokoh-tokoh yang masuk dalam golongan ini adalah Al-Hasan ibn Muhammad ibn Ali bin Abi Thalib, Abu Hanifah, Abu Yusuf dan beberapa Ahl Al-Hadits. Menurut golongan ini, orang Islam yang melakukan dosa besar masih tetap mukmin. Dalam hal ini, Abu hanifah memberi pengertian bahwa iman adalah pengetahuan dan pengakuan adanya Tuhan, rasul-rasul-Nya, dan segala sesuatu yang datang dari Tuhan; iman tidak mempunyai sifat bertambah dan berkurang; dan tidak ada perbedaan di antara manusia dalam hal iman. Jadi dalam pandangan Abu Hanifah, perbuatan itu kurang penting dibanding iman.
Adapun Murjiah ekstrem, yang dipimpin Jahm bin Shafwan, berpendapat bahwa orang Islam yang percaya kepada Tuhan tetapi kemudian menyatakan kekufuran secara lisan, tidaklah menjadi kafir, kerena kufur dan iman letaknya dalam hati, bukan dalam bagian tubuh manusia. Bahkan, orang yang telah menyatakan iman, walaupun menyembah berhala, melaksanakan ajaran-ajaran agama Yahudi, atau Kristen dengan menyembah salib, kemudian mati, tidaklah menjadi kafir; ia mukmin dalam pandangan Tuhan.
Pandangan di atas perpedoman hanya pada iman di dalam hati; perbuatan tidak berpengaruh apa-apa. Pandangan seperti ini akan melahirkan sikap permissive, yakni sikap mentolelir penyimpangan terhadap norma akhlak dan moral.
[1] Murjiah berasal dari kata arjaa, yang memiliki beberapa arti. Ia bisa berarti menangguhkan, mengakhirkan. Dinamakan demikian, karena terhadap golongan-golongan umat Islam yang berselisih, Murjiah tidak menentukan hukumanya, tetapi menunggu keputusan Tuhan di Hari Pembalasan nanti. Kata arjaa berarti juga memberi pengharapan. Dinamakan demikian karena mereka berpendapat bahwa dosa besar tidak mengurangi iman seseorang sebagaiman ia tidak berguna kalau disertai kekafiran. Mereka memberi pengharapan kepada pelaku dosa besar; bahwa mereka akan mendapat ampunan Tuhan karena iman yang dimilikinya. Arjaa diartikan juga membuat sesuatu mengambil tempat di belakang; dalam pengertian memandang kurang penting. Dinamakan sesuatu kurang penting karena, menurut mereka, yang penting imannya; amal nomor dua. Lihat Ahmad Amin, Fajr Al-Islam (Karo: Maktabah Al-Nahdhah, 1965), hlm. 227-228.
[2] Harun Nasution, op. Cit., hlm. 25. Bandingkan dengan Abu Thahir Al-Baghdadi yang membagi Murjiah kepada tiga bagian, yaitu Murjiah Qadariah, Murjiah Jabariah, dan Murjiah bukan keduanya. Lihat op. Cit., hlm. 202.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar