Perbuatan dan Sifat Tuhan
Perbuatan - Perbuatan Tuhan
1. Kewajiban – kewajiban Tuhan terhadap manusia
Terdapat perbedaan pendapat di kalangan teolog mengenai perbuatan Tuhan. Ada yang beranggapan bahwa Tuhan dapat berbuat apa saja yang dikehendaki-Nya. la dapat memberikan siksa kepada orang yang berbuat baik, dan memberikan pahala kepada orang yang berbuat buruk, jika dikehendaki-Nya. Dengan demikian,Tuhan mempunyai kekuasaan dan kehendak mutlak, sehingga Dia tidak tunduk kepada siapa pun. Di atas Tuhan tidak ada siapa pun yang dapat menentukan apa yang boleh diperbuat Tuhan atau tidak.
Pendapat lain mengatakan bahwa kekuasaan dan kehendak Tuhan tidaklah mutlak semutlak-mutlaknya. Kekuasaan mutlak Tuhan telah dibatasi oleh kebebasan yang diberikan-Nya kepada manusia dalam menentukan kehendak dan perbuatannya. Kekuasa-an dan kehendak Tuhan juga dibatasi oleh sifat keadilan-Nya.Dalam hal ini, Mu'tazilah berpendapat bahwa Tuhan mempunyai kewajiban-kewajiban terhadap manusia, di antaranya Ia wajib berbuat adil terhadap mahluk-Nya. Tuhan wajib memberi pahala kepada orang yang berbuat taat dan mengazabnya kepada yang berbuat dosa selama tidak mau tobat. Tuhan juga wajib menepati janji, memberi rezeki kepada mahluk-Nya. Tuhan juga wajib tidak memberi beban kepada makhluk-Nya di luar batas kemampuannya. Tuhan wajib memberikan hak-hak manusia apabila ia telah melaksanakan kewajibannya, bahkan la wajib mengirim para rasul untuk memberikan petunjuk kepada manusia. Menurut Mu'tazilah, kewajiban-kewajiban tersebut mesti dilaksanakan oleh Tuhan; jika tidak, berarti la zalim, aniaya, pemaksa, pendusta, dan sebagainya, padahal hal itu mustahil bagi-Nya.
Paham Tuhan mempunyai kewajiban itu timbul sebagai akibat dari konsep mereka tentang keadilan Tuhan dan adanya batasan terhadap kehendak mutlak Tuhan. Karena itu, Tuhan tidak bisa berbuat menurut kehendak-Nya karena itu menyalahi prinsip keadilan yang telah ditetapkan-Nya. la juga sudah terikat dengan janji dan nilai keadilan yang jika dilanggar, la dianggap tidak adil.
Bagi Asy'ariah, pendapat Mu'tazilah di atas bertentangan dengan paham kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan yang mereka anut. Dalil Al-Qur'an yang mereka ajukan di antaranya surat Al-Mu’min ayat 31, Al-Rahman ayat 60, Fuslihat ayat 46, dan Al-Baqarah ayat 286, Menurut mereka, Tuhan mempunyai kekuasaan dan kehendak mutlak, tanpa ada yang membatasi-Nya. Dialah pencipta segala perbuatan manusia dan Dia pula yang mengatur segala sesuatu, yang baik dan yang buruk. Perbuatan manusia itu tidak diwujudkan oleh manusia, tetapi diwujudkan oleh Tuhan sendiri. Perbuatan manusia yang pada hakikatnya diciptkan Tuhan itu disebut kasb (perolehan).
Paham Asy'ariah bahwa Tuhan mempunyai kekuasaan dan kehendak mutlak mengandung arti bahwa Tuhan tidak mempunyai kewajiban apa-apa terhadap mahluk-Nya.[1] Tidak ada satu pun kewajiban bagi-Nya. Ia tidak berkewajiban memberi pahala kepada orang yang taat menjalankan ibadah, juga tidak berkewajiban mengazab orang yang berbuat dosa kepada-Nya. Semua itu terserah kehendak mutlak-Nya. Karna itu, tidak masalah jika Dia mengampuni semua orang kafir dan mengazab semua orang mukmin, sebab memberi pahala kepada orang mukmin bukan kewajiban-Nya, tetapi hanya karunia-Nya belaka. Demikian juga, memberi azab kepada orang kafir bukan kewajiban-Nya, tetapi hanya semata-mata kehendak mutlak-Nya. Tuhan boleh saja melarang apa yang telah diperintahkan-Nya dan boleh pula memerintahkan apa yang telah dilarang-Nya. Itu tidak berarti Tuhan bersifat aniaya terhadap, perbuatan-Nya. Ia berbuat apa saja menurut kehendak-Nya dan tidak bertanggung jawab atas perbuatan-Nya.
Berbeda dengan manusia yang diposisikan sebagai makhluk yang terpaksa (majbur) dalam segala perbuatannya oleh kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan. Segala sesuatu datang dari Tuhan; jika ia berbuat baik, perbuatan itu telah ditentukan oleh Tuhan sesuai dengan rahmat-Nya; apabila manusia berbuat buruk (jahat), maka perbuatan itu dikehendaki oleh Allah, sesuai dengan keadilan-Nya.
Menurut Asy'ariah, segala sesuatu yang terjadi di alam ini, perbuatan manusia, sebagai hasil dari perbuatan Tuhan telah ditentukan sejak zaman azali (sebelum alam ini diciptakan). Manusia tidak dapat mengubah ketentuan-Nya, sebab ia tidak mempunyai kekuasaan dalam menciptakan perbuatannya. Hanya Tuhanlah pencipta semua makhluk dan pencipta perbuatan semua mahluk-Nya. Dalil Al-Qur'an yang mereka kemukakan diantaranya surat Al-Ra'd ayat 16 dan surat Al-Maidah ayat 17 dan 40.
Maturidiah Bukhara berpendapat sama seperti yang dikatakan Asy’ariah. Tetapi, bagi Maturidiah Samarkand, walaupun memang mempunyai kekuasaan dan kehendak mutlak, Tuhan juga mempunyai keterbatasan-keterbatasan yang ditentukan oleh Tuhan sendiri.[2] Di antaranya, kemerdekaan dalam kemauan dan perbuatan diberikan Tuhan kepada manusia; siksa yang dijatuhkan kepada seseorang, bukan karena perbuatan Tuhan yang semena-mena, tetapi atas dasar kemerdekaan yang diberikan kepada manusia untuk berbuat baik atau buruk. Dalil Al-Qur'an yang mereka kemukakan di antaranya surat Al-Syams ayat 8-10.
2. Berbuat baik dan terbaik (al-Shalah wa al-Ashlah)
Di kalangan Mu'tazilah dikenal konsep al-shalah wa al-ashlah (berbuat baik dan terbaik bagi manusia). Maksudnya, Tuhan itu wajib berbuat baik dan terbaik bagi manusia. Menurut mereka, demi keadilan, Tuhan wajib berbuat baik dan terbaik bagi manusia. Keadilan erat kaitannya dengan hak, sebab adil itu tidak berarti memberikan sesuatu kepada orang yang mempunyai hak. Keadilan juga mengandung arti berbuat menurut yang semestinya, yaitu memberi pahala kepada orang yang berbuat baik dan memberi siksa kepada orang yang berbuat buruk.
Di samping itu, menurut Mu'tazilah, keadilan harus diterima secara rasional. Tuhan memberikan pahala seseorang sesuai dengan kebaikan yang dilakukannya, dan menghukum seseorang, sesuai dengan kejahatan yang dilakukannya pula. Oleh karena itu. Abd Al-Jabbar mengatakan bahwa kata-kata Tuhan adil mengandung arti bahwa segala perbuatan, bahkan yang terbaik, adalah untuk kepentingan manusia. Tuhan tidak dapat berbuat buruk, dan tidak mungkin mengabaikan kewajiban-kewajiban-Nya terhadap manusia. Dalil Al-Qur'an yang mereka kemukakan di antaranya surat Al-Isra' : 70, surat Fushilat: 29, dan surat Qàf: 29.
Paham al-shalah wa ashlah tidak dapat diterima oleh Asy'ariah, karena paham ini bertentangan dengan paham kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan; sebagaimana dikatakan Al-Ghazali bahwa Tuhan tidak berkewajiban berbuat baik dan terbaik bagi manusia. Pendapat yang sama dikemukakan Maturidiah, baik dari Samarkand maupun dari Bukhara.
3. Beban di luar kemampuan manusia (taklif ma Ia yutaq)
Bagi Mu'tazilah, paham “beban di luar kemampuan Manusia (taklif ma Ia yutaq)” tidak dapat diterima, karena paham ini bertentangan dengan paham keadilan Tuhan. Tuhan akan menjadikan tidak adil jika memberi beban terlalu berat yang tidak mungkin manusia dapat memikulnya. Semua perbuatan Tuhan bersifat adil; tidak ada satu perbuatan pun yang dilakukan-Nya bersifat salah, zalim. Karena Tuhan hanya menghendaki kebaikan dan keadilan terhadap hamba-hamba-Nya, maka jika Dia memberikan beban terlalu berat, yang tidak mungkin manusia melakukannya, dan karena itu Tuhan mengazabnya, maka Tuhan tidak adil. Hal ini mustahil bagi-Nya. Karena itu, konsep taklif ma 1a yutaq tidak dapat diterima.
Asy'ariah - yang berpaham kepada kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan, karena Dia tidak mempunyai kewajiban-kewajiban — menerima paham taklif ma 1a yutaq itu. Al-Asy'ari sendiri, dalam kitab Al-Luma', mengatakan bahwa Tuhan dapat memberikan kepada manusia beban yang tidak dapat dipikul mereka. Menurut Asy'ariah, tidak ada satu pun yang wajib bagi Tuhan, baik memberi pahala bagi yang taat maupun memberi siksa bagi yang tidak taat. Semuanya terserah kepada kekuasaan dan kehendak mutlak-Nya. [3]
Pendapat Asy'ari di atas sama dengan yang dikemukakan Al-Maturidah Bukhara yang sama-sama mengakui paham kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan.
4. Pengiriman para rasul
Dalam pandangan Mu'tazilah, segala pengetahuan dapat diperoleh dengan perantaraan akal, dan kewajiban-kewajiban dapat diketahui dengan pemikiran yang mendalam. Dengan akal, manusia dapat mengetahui adanya Tuhan dan dapat mengetahui yang baik dan yang buruk. Karena itulah, manusia berkewajiban mengerjakan yang baik dan menjauhi yang buruk. Oleh karena itu, pengiriman para rasul tidak begitu penting, sebab wahyu yang dibawa mereka itu hanya berfungsi sebagai konfirmasi atau memperkuat apa-apa yang telah diketahui manusia melalui akalnya. Tanpa rasul, manusia dapat mengetahui Tuhan dan kewajiban-kewajiban mereka kepada-Nya, termasuk kewajiban mengetahui hukum-hukum dan sifat-sifat-Nya. Orang yang tidak mengetahui hal-hal itu tidak berterima kasih kepada Tuhan dan akan mendapat hukuman-Nya. Pendapat ini dipegang juga oleh Maturidiah Samarkand.
Berbeda dengan Asy'ariah, menurut mereka, pengiriman para rasul sangat penting bagi manusia karena mereka memerlukannya untuk mengetahui Tuhan dan alam gaib, bahkan untuk mengetahui hal-hal yang berhubungan dengan kehidupan manusia di dunia. Menurut mereka, segala kewajiban manusia hanya dapat diketahui melalui wahyu. Akal tidak dapat mengetahui bahwa mengerjakan yang baik dan menjauhi yang buruk itu wajib bagi manusia. Betul akal dapat mengetahui adanya Tuhan, tetapi wahyulah yang mewajibkan manusia mengetahui Tuhan. Akal dapat mengetahui yang baik dan yang buruk, tetapi hanya dengan wahyulah diketahui bahwa mengerjakan yang baik akan mendapat pahala dan mengerjakan yang buruk akan mendapat siksa. Pendapat Mu'tazilah ini dipegang juga oleh Maturidiah Bukhara.
1. Janji dan ancaman
Janji dan ancaman sangat erat kaitannya dengan keadilan dalam paham Mu'tazilah. Menurut mereka, Tuhan akan bersifat tidak adil jika tidak menepati janji-Nya untuk memberi pahala kepada orang yang berbuat baik. Tuhan juga akan bersifat tidak adil jika tidak melaksanakan ancaman-Nya untuk memberikan siksa kepada orang yang berbuat buruk. Menurut Abd Al-Jabbar, apabila tidak mau menepati janji-Nya dan tidak melaksanakan ancaman-Nya, maka Tuhan akan mempunyai sifat berdusta, dan hal itu mustahil bagi-Nya,[4] selain tidak menepati janji; tidak melaksanakan ancaman itu bertentangan dengan kemaslahatan manusia. Karena itu, menepati janji dan melaksanakan ancaman wajib bagi Tuhan. Paham Mu'tazilah ini dapat diterima oleh Maturidiah Samarkand yang mengakui sifat keadilan Tuhan sama dengan Mu'tazilah.
Janji dan ancaman yang dipahami Mu'tazilah tidak dapat diterima Asy'ariah, karena paham ini bertentangan dengan konsep kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan, dan tidak adanya kewajiban-kewajiban bagi Tuhan. Karena itu, menurut keyakinan mereka, Tuhan bebas berkehendak, Tuhan tidak mempunyai kewajiban untuk menjalankan atau tidak menjalankan ancaman yang disebutkan dalam Al-Qur'an dan hadis. [5]
Dalam masalah ini, Maturidiah Bukhara tidak sependapat dengan Asy'ariah. Menurut mereka, tidak mungkin Tuhan akan melanggar janji-Nya untuk memberikan pahala kepada orang yang berbuat baik; sebaliknya, mungkin saja Tuhan membatalkan ancaman-Nya untuk memberikan siksa kepada orang yang berbuat buruk (jahat).[6] Nasib orang yang berbuat dosa besar itu ditentukan oleh kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan. Jika Tuhan berkehendak memberi ampunan kepada pelaku dosa besar, maka Dia berkuasa untuk memasukkannya ke neraka, tetapi akan memasukkannya ke surga. Jika Dia berkehendak untuk memberikan siksa kepada pelaku dosa besar itu, maka Dia berkuasa untuk memasukkannya ke neraka untuk sementara, atau untuk selamalamanya. Bukan hal yang tidak mungkin Tuhan memberi ampun kepada seseorang, tetapi tidak memberi ampun kepada orang lain, walaupun dosa mereka sama.
Pendapat Bukhara ini didasarkan pada sifat keadilan Tuhan. Menurut mereka, jika Tuhan memasukkan orang yang berbuat baik ke neraka, itu bertentangan dengan rasa keadilan. Tetapi, jika Tuhan memasukkan orang yang berbuat jahat ke surga, itu bertengan dengan sifat rahman dan rahim-Nya.
B. Sifat-Sifat Tuhan
1. Sifat-sifat Tuhan pada umumnya
Sebagaimana telah dijelaskan, Mu'tazilah tidak mengakui bahwa Tuhan mempunyai sifat (nafy al-shifat) yang berdiri sendiri di luar zat Tuhan. Menurut Abu Al-Hudzail, tidak mungkin kepada Tuhan diberikan sifat-sifat yang mempunyai wujud tersendiri kemudian sifat itu melekat pada zat Tuhan. Jika demikian, berarti ada dua yang qadim, yaitu zat Tuhan dan sifat-sifat-Nya. Orang yang mengakui adanya sifat-sifat Tuhan menjadi musyrik, karena ia mengakui adanya yang kekal lebih dari satu (ta'addud al-qudama). Jika di dalam Al-Qur'an Tuhan sendiri menyebut sifat-Nya, misalnya Tuhan Maha Mengetahui, maka. Abu Al-Hudzail menjelaskan: “Memang betul Tuhan itu mengetahui, tetapi mengetahui itu bukanlah sifat, tetapi zat Tuhan.[7] Jadi, Tuhan mengetahui dengan pengetahuan-Nya dan pengetahuan-Nya itu zat-Nya sendiri.”
Asy'ariah menolak pendapat di atas. Mereka berpendapat bahwa Tuhan mempunyai sifat. Mustahil Tuhan mengetahui dengan zat-Nya, karena, dengan demikian, zat-Nya itu pengetahuan dan Tuhan sendiri pengetahuan. Tuhan bukan pengetahuan tetapi yang mengetahui. Tuhan mengetahui dengan pengetahuan dan pengetahuan-Nya itu bukan zat-Nya, tetapi sifat-Nya.[8] Demikian juga dengan sifat-sifat lainnya seperti hidup, berkuasa, mendengar dan sebagainya.
Menurut Al-Baghdadi, di kalangan Asy'ariah telah ada kesepakatan bahwa pengetahuan, hidup, kemauan, pendengaran, penglihatan, dan firman Tuhan itu kekal, dan sifat-sifat-Nya tidak sama dengan zat (esensi)-Nya tetapi berwujud dalam zat itu. Karena sifat sifat Tuhan itu tidak lain dari Tuhan, maka adanya sifat-sifat itu tidak akan membawa kepada keyakinan banyak yang kekal, sehingga tidak akan membawa kepada syirk.
Maturidiah Bukhara berpendapat sama dengan Asy'ariah. Menurut mereka, Tuhan itu mempunyai sifat-sifat. Sifat-sifat itu kekal karena kekekalan yang terdapat dalam zat Tuhan, bukan karena kekekalan sifat-sifat itu sendiri. Tuhan bersama sifatnya kekal, tetapi sifat-sifat itu tidak kekal.[9] Maturidiah Samarkand - walaupun dalam hal-hal tertentu sama dengan pendapat Mu'tazilah - dalam masalah ini sependapat dengan Asy'ariah. Mereka berpendapat bahwa Tuhan mempunyai sifat-sifat, tetapi sifat-sifat itu bukan Tuhan dan bukan selain Tuhan.
2. Anthropomorphism/al-tajassum/al-tasybih
Kaum teolog berbeda pendapat dalam masalah bisa-tidaknya sifat-sifat manusia dipergunakan untuk Tuhan. Tuhan bersifat immateri dan manusia bersifat materi. Inilah persoalan-persoalan teologis yang disebut anthropomorphism.
Bagi Mu'tazilah, sifat-sifat manusia tidak dapat dipergunakan untuk Tuhan. Tuhan tidak mempunyai tubuh yang bersifat materi: karena itu, ia tidak mempunyai sifat-sifat jasmaniah seperti manusia.[10] Oleh karena itu, jika dalam Al-Qur'an terdapat ayat-ayat Al-Qur'an yang menggambarkan Tuhan mempunyai sifat jasmaniah, seperti al-yad (tangan), al-wajh (muka), al-'ain (muka), dan lain-lain, sifat-sifat itu harus diberi interpretasi lain. Misalnya, al-yad diinterpretasi sebagai kekuasaan, al-wajh diberi interpretasi dengan zat, al-'ain diberi interpretasi dengan pengetahuan.
Bagi Asy'ariah, paham antropomorphisme dapat diterima dengan interpretasi sebagai berikut: Tuhan mempunyai sifat-sifat jasmaniah yang sama dengan sifat-sifat jasmaniah manusia. Seperti disebutkan dalam Al-Qur'an, Tuhan mempunyai mata, tangan, muka dan sebagainya; tetapi tangan, mata, muka Tuhan itu tidak sama dengan tangan, mata dan muka manusia.
Menurut laporan Al-Syahrastani, Abu Al-Hudzail pernah mengatakan bahwa Allah mengetahui dengan ilmu dan ilmu-Nya itu zat (esensi)-Nya. Pemahaman seperti ini dapat menghindarkan diri dari banyaknya yang kekal sehingga membawa kepada musyrik. Al-Jubbai juga mengatakan bahwa Tuhan mengetahui bukan karena sifat mengetahui, tetapi karena pengetahuan, dan pengetahuan itu Tuhan sendiri. Ini juga pendapat yang dipegang Maturidiah Samarkand.
Menurut Al-Asy'ari, jika dalam Al-Qur'an disebutkan tangan Tuhan, maka kata tersebut tidak dapat diartikan kekuasaan Tuhan. Tuhan memang mempunyai tangan, tetapi harus dipahami tangan Tuhan tidak sama dengan tangan manusia. Ketika ditanya, “Jika tangan, mata, dan wajah Tuhan tidak sama dengan tangan manusia, lalu bagaimana sifat tangan, mata dan wajah Tuhan itu?”, ia menjawab, “Tangan, mata, dan wajah Tuhan tidak dapat diberikan gambaran atau definisi. Manusia itu lemah dan akalnya tidak sanggup memberikan pengertian yang sebenarnya tentang sifat-sifat jasmaniah seperti yang disebut dalam Al-Qur'an. ”[11]
Maturidiah Bukhara tidak sependapat dengan pandangan Asy'ariah di atas. Menurut mereka, jika dalam Al-Qur'an disebut-kan tentang tangan Tuhan, maka yang dimaksud adalah sifat, Akan anggota badan Tuhan, yaitu sifat yang sama dengan sifat-sifat yang lain, seperti pengetahuan dan kemauan.
3. Melihat Tuhan
Menurut Mu'tazilah, Tuhan tidak dapat dilihat di akhirat, sebab Tuhan bersifat immateri dan tidak mengambil tempat.[12] Yang dapat dilihat hanya yang materi saja. Jika Tuhan dapat dilihat dengan mata kepala di akhirat, maka di alam ini tentu Dia dapat dilihat. Dalil ‑ dalil yang dibawa Mu'tazilah di antaranya surat Al-An’am ayat 103. “Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata, sedang Dia dapat melihat segala yang kelihatan, karena Dialah Yang Mahahalus lagi Maha Mengetahui.” Adapun hadis yang dikemukakannya di antaranya adalah: “Dari Abi Zar,- dia berkata, "Saya bertanya kepada Nabi: Apakah Baginda dapat melihat Tuhan?' Nabi menjawab: 'Bukanlah Tuhan itu cahaya?' Bagaimana aku dapat melihat-Nya?”’
Bagi Asy'ariah, Tuhan dapat dilihat di akhirat oleh manusia dengan mata kepala. Alasannya, Tuhan mempunyai sifat-sifat tajassum (antropomorphis) walaupun sifat-sifat itu tidak sama dengan sifat-sifat jasmaniah manusia yang ada di alam materi ini. Tuhan Mahakuasa; karena itu, Ia dapat mengadakan apa saja. Sebaliknya, akal manusia itu lemah, karena tidak sanggup memahami perbuatan dan ciptaan Tuhan. Walaupun Tuhan bersifat immateri, dengan kekuasaan-Nya, tidak mustahil manusia dapat melihat-Nya di akhirat nanti. Mereka juga berargumentasi bahwa yang tidak dapat dilihat itu hanyalah yang tidak mempunyai wujud. Yang mempunyai wujud pasti dapat dilihat. Menurut mereka Tuhan melihat apa yang ada, dan dengan demikian melihat diri-Nya juga. Kalau Tuhan dapat melihat diri-Nya, maka Ia pun dapat membuat manusia melihat Tuhan-Nya.
Dalil Al-Qur'an yang ditunjukkan Asy'ariah di antaranya surat Al-Qiyamah ayat 22-23: “Wajah-wajah orang mukmin pada hari itu berseri-seri. Kepada Tuhannyalah mereka melihat.” Dalam surat Al-A’raf ayat 143 dinyatakan: “Tuhanku, lihatlah diri-Mu padaku.” Tuhan bersabda, “Engkau tidak dapat melihat diri-Ku, teta lihatlah ke gunung itu. Jika ia tetap tinggal di tempatnya, niscaya engkau akan melihat diri-Ku.” Adapun Al-Hadis yang mereka kemukakan di antaranya: “Kamu akan melihat Tuhan-Mu pada hari kiamat nanti sebagaimana kamu melihat bulan pada malam purnama.”
Pendapat Asy'ariah ini juga dipegang oleh Al-Maturidiah, baik Samarkand maupun Bukhara.
[1] Harun Nasution, op. cit., hlm. 128
[2] Ibid, hlm. 128-129
[3] Bid.
[4] . Al-Qadhi ‘Abd Al-Jabbar, op, cit., hlm. 135
[5] . Harun Nasutian. Op, cit, hlm. 133
[6] . Ibid
[7] . Al-Asy’ari, Magalat Al-Islamiyyin, jilid II(Kairo: Maktabat Al-Daulah, 1930), hlm. 177
[8]. Harun Nasution, op, cit, hlm 136
[9] . Ibid, hlm. 137
[10] Al-Qadhi’Abd Al-Jabbar, op, cit, hlm. 216
[11] . Ibid, hlm. 138.
[12] . Al-Qadhi ‘Abd Al-Jabbar, op, cit, hlm. 17
Tidak ada komentar:
Posting Komentar