ABU HASAN AL-ASY’ARI:
Penggagas Teologi Moderat Dalam Islam
DR. H. Hamzah Harun al-Rasyid, MA
ABSTRAK
Kajian ini membahas tentang prestasi dan ketokohan Abu Hasan al-Asy’ari dalam menggagas teologi moderat dalam Islam. Permasalahan kajian adalah siapa sesungguhnya Abu Hasan al-Asy’ari, bagaimanakah corak pemikirannya, dimana letak kemoderatan teologi yang dibangunnya.Temuan kajian menyimpulkan bahwa Teologi al-Asy’ariyyah bersifat moderat, terbuka, realistis, dan pragmatis, serta bersikap positif terhadap kemajuan sains dan teknologi. Teologi ini sangat menghormati akal sebagai anugerah ilahi, juga menghormati dan menjunjung tinggi naqal sebagai tuntunan ilahi yang senantiasa aktual.
Muqaddimah
Al-Asy’ariyyah, yang dibangun pertama kali oleh Abu al-Hasan ‘Ali ibn Ismail al-Ash’ary (260-324 H.)([1]) selama sebelas abad dalam khazanah histori Islam, telah mengalami pasang surut dalam penyebaran dan bervariasi dalam perkembangan doktrinnya. Aliran ini muncul setelah Abu al-Hasan al-Asy’ary memaklumkan dirinya keluar dari Muktazilah sebagai aliran yang telah dianutnya hingga usia 40 tahun. Sejak itu, beliau merumuskan teologi baru dan mendapatkan banyak pengikut karena dianggap sebagai suatu bentuk kesinambungan dari faham Sunni ([2]) yang dianut oleh mayoritas umat Islam, tetapi sebelumnya belum pernah diformulasikan secara lengkap dan sistematis.
Fakta sejarah menunjukan bahwa tampilnya al-Asy’ari tepat disaat sedang menghangatnya pertentangan antara dua kelompok ekstrim yaitu; antara kaum Muktazilah yang didukung penguasa, dengan kelompok ahli Hadis yang didukung mayoritas rakyat umum. Upaya al-Asy’ary mendamaikan dua kelompok ekstrim yang bertentangan tersebut menyebabkan banyak pakar menilai bahwa aliran al- Asy’ariyyah adalah aliran kalam jalan tengah (moderat) antara faham Muktazilah dan ahli Hadis disatu sisi dan antara kaum Jabariyyah dan Qadariyyah di sisi yang lain.
Sebagai aliran moderat antara kaum Muktazilah yang rasionalis-metaforis dan kaum ahli Hadis yang ekstrim tekstualis, maka al-Asy’ariyyah dalam metodologi kalamnya di samping menggunakan sumber primer berupa teks-teks suci dari al-Qur'an dan al-Sunnah, separti yang dilakukan oleh ahli Hadis, juga menggunakan metode rasional berupa mantik atau logik Aristotle, sehingga dia menggunakan akal dan naqal secara seimbang.
Permasalahan Kajian
Berdasar uraian diatas, dapat diambil suatu permasalahan kajian yaitu; siapa sesungguhnya Abu Hasan al-Asy’ari, bagaimanakah corak pemikirannya, dimana letak kemoderatan teologi yang dibangunnya.
Sekilas Tentang Abu Hasan al-Asy’ari
Abu Hasan al-Ashcari adalah seorang pemikir yang muncul pada masa Islam mecapai puncak kemajuan pemikiran. Dia termasuk mutakallim terbesar yang pernah dimiliki dunia Islam. Kebesaran tokoh ini terbukti dari mayoritas umat Islam di dunia, termasuk di Indonesia dan Malaysia, adalah penganut faham al-Ashcariyyah, terutama yang bermazhab Shafii. Al-Ashcari mulanya adalah seorang tokoh penting di kalangan Muktazilah.
Ia memperolehi latihan intelektual di bawah “gemblengan” seorang tokoh Muktazilah dizamannya, iaitu Abu cAli al-Jubbai. Bahkan Prestasinya sebagai kader Muktazilah telah teruji antara lain dengan kepercayaan yang dilimpahkan oleh al-Jubbai kepadanya, untuk mewakili sang guru beradu argument dengan lawan-lawan debatnya.
Sebutan “al-Ash’ari”, dinisbah kepada salah seorang sahabat Nabi, iaitu Abu Musa al-Ashcari. ([3]) nama dan nasab yang lengkap dari pendiri aliran ini ialah: Abu al-Hasan ‘Ali ibn Isma’il ibn Abi Bishr Ishaq ibn Salim ibn Isma’il ibn ‘Abdillah bin Musa ibn Bilal ibn Abi Burdah ‘Amir ibn Abu Musa al-Ash’ari([4]) Beliau lahir di Basrah pada tahun 260 H, dan wafat di Baghdad pada tahun 324 H. ([5])
Abu al-Hasan al-Ashcari pada mulanya belajar membaca, menulis dan menghafal al-Qur’an dalam asuhan orang tuanya, yang kemudian meninggal dunia ketika ia masih kecil. Selanjutnya dia belajar kepada ulama Hadis, fiqh, tafsir dan bahasa antara lain kepada al-Saji, Abu Khalifah al-Jumhi, Sahl Ibn Nuh, Muhammad Ibn Ya’qub, ‘Abd al-Rahman Ibn Khayr dan lain-lain. ([6])
Beliau belajar fiqh Syafii kepada seorang Faqih, Abu Ishaq al-Mawardi (w.340 H)([7]) seorang tokoh Muktazilah di Basrah Sampai umur empat puluh tahun ia masih merupakan seorang penganut Muktazilah.[8] Al-Ashcari berguru kepada Abu cAli al-Jubbai (w.303H), seorang tokoh terkenal Muktazilah. Ia sering mendapat tugas menggantikan gurunya melaksanakan tugas pengajaran[9] namun, ketika ia telah sampai dalam usia kematangan berpikir, dia mengalami konversi. Dia meninggalkan faham Muktazilah dan berbalik menyerang gurunya dengan alat (logika) yang digunakan aliran itu sendiri, dan menetapkan faham baru yang dianutnya.
Sebelum membangun mazhab baharu, Abu Hasan al-Ashcari menganut dan mendalami pikiran-pikiran Muktazilah melalui seorang tokoh Muktazilah di Basrah, iaitu ‘Ali ibn al- Jubbai. Meskipun al-Asy’ari telah lama mendalami mazhab itu, akan tetapi dia belum juga mendapatkan sesuatu yang bisa menenteramkan jiwa dan pikirannya, bahkan dalam penilaian Ashcari, Aliran Muktazilah telah terlampau jauh dalam memberikan batas kewenangan bagi akal sehingga agama tidak lebih dari sekedar isu-isu falsafah dan argumen logika, teks-teks al-Qur’an dan Hadis tidak lagi menjadi acuan dan pedoman, tetapi justru sebaliknya agama hanyalah menjadi perbudakan akal.
Di lain pihak, Ashcari melihat metodologi Muhadditsin dan Hashwiyyah akan membawa umat Islam kepada stagnasi pemikiran yang berakibat fatal sehingga umat Islam terkungkung dalam wujud pemikiran yang beku. Oleh itu, mempersatukan antara aliran rasionalis dengan aliran tekstualis dalam suatu orientasi pemikiran yang moderat, adalah sesuatu kemestian dan prestasi yang cemerlang, kerana disamping ia mengembalikan wibawah dan keutuhan umat Islam, ia juga mendudukkan nas dan akal secara selaras. ([10])
Meskipun pelbagai kesimpulan dari analisis yang dilakukan terhadap al-Ashcari, namun faham baru yang didirikannya, Ashcariyyah,([11]) masih merupakan aliran kalam yang dominan di dunia Islam hingga saat ini.([12]) Selama sebelas abad dalam sejarah pertumbuhan dan perkembangan aliran ini telah mengalami pasang surut dalam penyebaran dan bervariasi dalam perkembangan doktrinnya. Sejak Abu Hasan al-Ashcari memaklumkan dirinya keluar dari Muktazilah, yang dianutnya sampai usia 40 tahun, dan merumuskan sebuah teologi baru, maka faham ini banyak ummat Islam yang mengikutinya, kerana dianggap sebagai suatu bentuk kesinambungan dari faham tradidional,[13] yang dianut mayoritas umat Islam, tetapi sebelumnya belum pernah diformulasikan secara lengkap dan sistematis[14].
Al-Ashcari memformulasikan pemikiran “teologi moderat” dengan tetap menggunakan logika sebagai “modal utama” dalam perumusan-perumusannya. Sebagai anti-tesis terhadap faham-faham Muktazilah, maka pemikiran-pemikirannya itu kemudian mengambil bentuk suatu aliran teologi dengan namanya sendiri, “al-Ashcariyyah”. ([15]) Ajaran-ajaran al-Ashcari ini tertuang di dalam kitab-kitab yang ditulisnya sendiri, terutama, kitab al-Lumac fi al-radd calā ahl al-ziyagh wa al-bidac; Maqalat al- Islamiyyin; dan al-Ibanah can usul al-diyanah. Di samping itu, juga terdapat di dalam kitab-kitab yang ditulis oleh para pengikutnya.
Dalam perkembangan selanjutnya, aliran ini mendapat dukungan dari mayoritas umat dan ulama Islam, sehingga, menurut al-Nasyar, Ilmuan dan tokoh-tokoh aliran al-Ashcariyyah adalah ilmuan yang telah berhasil mengekspresikan substansi filsafat Islam yang sesungguhnya. Sebab hanya merekalah yang mampu menampilkan secara substansi kandungan al-Qurān dan al-Sunnah secara filosofis, begitu pula visi teologi Ahli Sunah waljamaah telah menjelma dan mengkristal pada pemikiran mereka, sehingga mazhab al-Ashcariyyah mampu menjadi sample aqidah Ahli Sunnah Waljamaah hingga saat ini, dan akan tetap terpelihara sampai Allah menerima bumi dan isinya (hari kiamat). ([16])
Metodologi Pemikiran.
Metodologi Pemikiran Abu Hasan al-Asy’ari dapat dilihat dalam beberapa aspek tinjauan, iaitu, aspek dasar pijakan (sumbernya), aspek dualistik (mendua) dan aspek kemoderatan (posisi menengah) diantara beberapa metodologi yang ekstrim.
1. Dasar pijakan (sumber) metodologi al-Ashcari.
Seperti yang telah dikemukakan sebelumnya bahawa sebelum munculnya aliran ini, kancah pemikiran teologi saat itu dikuasai oleh dua mainstream (aliran) teologi yang berseteru dalam memahami akidah Islam. Dua mainstream yang dimaksud adalah aliran Muktazilah dan aliran Hanabilah. Muktazilah adalah sebuah aliran yang menjunjung tinggi akal dalam kajian-kajian teologi, manakala Hanabilah adalah aliran yang sangat menjunjung tinggi nas dalam mengapresiasikan fikiran-fikirannya. Berdasarkan evaluasi Imam Asy’ari, kedua-dua mainstream yang dimaksud, sama bahayanya bagi umat Islam, sebab kedua-duanya merupakan bibit perpecahan yang mengancam integriti umat Islam. Aliran Muktazilah menurut Asy’ari akan menggiring ajaran Islam kepada kajian-kajian filosofis yang jauh daripada kejernihan akidah Islam. Manakala aliran Hanabilah akan menggiring ajaran Islam kepada kejumudan.
Dari kondisi objektif yang meliputi umat Islam itulah memberikan inspirasi dan motivasi kepada Abu Hasan al-Ashcari. Ia kemudian meyakini bahawa sebuah kemestian bilamana kalangan rasional dan kalangan tekstual boleh bersatu dan bertemu dalam sebuah aliran baru (moderat) yang dapat mengapresiasi kedua-dua sumber akidah secara proporsional iaitu akal dan nas secara terpadu.[17]
Imam Asy’ari kemudian menggagas akidah ahli Sunah waljamaah dengan konstruk pemikiran yang baru dengan berupaya menyelaraskan akal dan nas dalam memahami teks-teks agama. Dalam hal ini Ashcari berkata :
“Sesungguhnya bersandar kepada nas secara harfiah tanpa mengizinkan akal untuk menguatkan hakikat yang terkandung oleh nas adalah sebuah kenaifan, karena hal itu hanya dilakukan oleh orang-orang bodoh. Begitu pun halnya mengikuti akal yang lepas dari ikatan nas terutama dalam masalah akidah, adalah hal yang salah dan bahkan lebih buruk dan lebih berbahaya lagi. Karena itu, maka demi kebenaran dan demi kelompok-kelompok yang ingin mengungkapkan kebenaran, saya mesti merintis sebuah metodologi berfikir ‘moderat’ yang boleh memadukan antara nas dan akal. Hal ini diharapkan akan mampu menghindari kesalahan-kesalahan yang bakal timbul apabila hanya mengikuti salah satunya”. [18].
Metodologi pemikiran al-Ashcari tersebut dikritisi oleh beberapa ulama dan intelektual, khasnya dibidang teologi dengan suatu pandangan bahawa sesungguhnya sumber metodologi al-Ashcariyyah adalah berasal daripada metodologi Ibn Kullab. Masalah ini diperkuat oleh Ibn Taymiyyah[19] dan Muhammad al-Bahi[20].
Imam al-Asy’ari telah melakukan pengembangan atas metodologi Ibn Kullab. Beliau menjelaskan masalah-masalah yang tidak jelas dan memerinci apa-apa yang bersifat global, sekaligus menambahkan argumen baru bagi memperkuat pendapat Ibn Kullab dalam menghadapi aliran-aliran yang dianggapnya sesat. Dengan demikian, Abu Hasan al-Asy’ari dianggap sebagai pelanjut dan penyempurna bagi aliran Kullabiyyah. Kontribusi al-Asy’ari seperti itulah yang sangat berkesan dan membuat aliran Ibn Kullab menjadi popular dan tersebar.[21]
Al-Syahrastani misalnya menyatakan bahawa “Imam Asy’ari telah bergabung ke dalam kelompok Kullabiyyah, beliau mendukung pendapatnya serta menggunakan metodologi kalamnya sehingga aliran ini resmi menjadi aliran ahli Sunah waljamaah”. [22] Selain itu, Ibn cAsakir mengatakan bahawa “sumbangan al-Asy’ari yang nampak pada aliran Kullabiyyah adalah kontribusinya bagi menjelaskan aliran ini kemudian berjuang membelanya”.[23]
Namun yang menarik untuk di kemukakan disini adalah apakah Asy’ari bertahan dan konsisten dengan metodologinya itu? Atau kerana faktor perkembangan pemikirannya, ia telah ‘mengadopsi’ metodologi lain yang dianggapnya lebih memberi ruang bagi akal untuk berfikir lebih kreatif dan produktiv? Pada sub bahasan berikut, akan dijelaskan masalah ini.
2. Dualisme metodologi al-Asy’ari.
Beberapa pengkaji teologi menilai bahawa, oleh kerana Imam al-Asy’ari tidak mampu bertahan pada metodologi Salaf, karena itu, ia beralih kepada metodologi baru yang berbeda dengan metodologi yang ia kembangkan sebelumnya. Dengan demikian ia telah menempuh dua metodologi pemikiran, [24] iaitu; metodologi pemikiran yang mendekati Salaf dan metodologi pemikiran yang mendekati Muktazilah.
Adapun metodologi pemikirannya yang dianggap mendekati metodologi salaf, ia tempuh sebagai konsekwensi logis dari kondisi objektif yang ia alami ketika ia sangat membenci aliran Muktazilah kerana terlalu melampau dalam menggunakan akal. Metodologi berfikir semacam ini dituangkan dalam karyanya “al-Ibanah”. Menurut sejarah, karya ini ditulisnya tidak lama setelah ia beralih dari aliran Muktazilah. al-Ibanah memuat sikap dan pandangan al-Asy’ari yang jelas mengenai posisi nas yang lebih tinggi dibanding dengan posisi akal.
Adapun metodologinya yang dianggap mendekati metodologi berfikir Muktazilah adalah sebagai konsekwensi dari perkembangan pemikirannya setelah ia mampu mengembalikan keseimbangan dan setelah apa yang ia khawatirkan dari aliran Muktazilah sirna dari alam fikirannya. Metodologi berfikir seperti ini dirumuskan dalam karyanya ‘al-Luma’, karya yang ia tulis setelah ‘al-Ibanah’.
Dalam al-Luma’ Asy’ari memposisikan akal setara dengan nas, berbeda dengan sikapnya pada al-Ibanah sebelumnya yang menjadikan posisi nash diatas akal. Bahkan dalam buku al-Luma’ ketika ia mendiskusikan masalah-masalah teologi, ia memposisikan akal sedikit lebih tinggi daripada posisi nas.
Salah satu argument yang dikemukakan para pengkaji ini adalah realitas dua karya monumental yang ditulis Imam Asy’ari. Mereka mengatakan bahwa dalam buku pertamanya “al-Ibanah”, Asy’ari memberi apresiasi dan pujian terhadap metodologi Imam Ahmad bin Hanbal. Namun, kondisi itu tidak lagi kita temukan dalam karya keduanya “al-Luma’”. Malahan yang kita dapatkan adalah kritikan Asy’ari terhadap metodologi berfikir yang dianut para pengikut Imam Ahmad bin Hanbal, bahkan ia menyatakan bahwa metodologi itu tidak layak untuk membangun kaedah-kaedah akidah yang benar.[25]
Berikut ini, dikemukakan perbedaan motivasi para pengkaji tentang sistem pemikiran al-Asy’ari :
Pertama, sebahagian hanya menjadikan al-Ibanah sebagai karya bagi menentukan metodologi pemikiran Asy’ari. Akibatnya, mereka menyatakan bahwa Asy’ari sesungguhnya mengadopsi metodologi pemikiran Salaf. Berdasar kesimpulan ini, mereka kemudian beranggapan bahawa para pengikut al-Asy’ari yang datang setelahnya, bertentangan atau menyalahi metodologi berfikir al-Asy’ari, kerana mereka cenderung memberikan kedudukan yang lebih besar kepada akal.[26]
Kedua, dalam bukunya yang pertama, al-Asy’ari menetapkan sifat-sifat khabariyyah dengan gaya Hanabilah iaitu tanpa menentukan bentuk sifat itu. Ketika ia menetapkan sifat-sifat khabariyyah pada karyanya yang kedua, ditemukan ada perbedaan, karena ia menetapkan sifat-sifat khabariyyah dengan gaya Muktazilah iaitu dengan mentakwilkan teks-teks agama yang berkaitan dengan sifat-sifat tersebut. [27]
Ketiga, ada juga yang berpendapat bahawa sesungguhnya rahasia kesuksesan al-Asy’ari bukan karena ia memiliki rasionalitas yang tinggi, tetapi disebabkan oleh faktor-faktor eksternal seperti; posisi keluarganya di mata komunitinya, corak spritualnya, kemampuan debatnya, dan kebencian orang pada aliran Muktazilah, begitu juga kerinduan umat saat itu akan munculnya seorang figur yang mampu berdebat dengan premis-premis logika dan dalil-dalil yang kuat. [28]
Keempat, ada juga sekelompok pengkaji yang hanya merujuk kepada karyanya ‘al-Luma’’ dalam rangka menentukan corak dan metodologi pemikiran al-Asy’ari. Menurut mereka, al-Luma’ inilah yang menyingkap realitas perkembangan terakhir pemikiran Asy’ari. Karena itu, kelompok ini tidak melihat adanya perbedaan pandangan antara metodologi pemikiran yang dikembangkan oleh penganut al-Asy’ariyyah dengan metodologi pemikiran Imam al-Asy’ari sendiri.
Namun demikian, berdasarkan kajian yang dilakukan, ternyata bahwa apa yang mereka asumsikan itu tidak tepat dengan alasan bahwa; Pada hakikatnya sikap ilmiah al-Asy’ari dalam dua karyanya itu tidak ada perbedaan. Ia benar ketika misalnya menyatakan dalam al-Ibanah bahwa ia berafiliasi kepada Imam Ahmad ibn Hanbal, dan pernyataan ini tidak dikeruhkan oleh kritikannya kepada pengikut Hanabilah, kerana al-Asy’ari sebenarnya hanya mengkritik sebahagian pengikut Hanabilah yang tidak komited dengan metodologi pemikiran Imam Ahmad, bahkan – menurut penilaian al-Asy’ari -- telah sampai pada posisi tasybih sehingga mereka dianggap telah keluar dari rel yang telah digariskan oleh Imam Ahmad bin Hanbal[29].
Dari sinilah kita dapat memahami kemarahan pengikut Hanabilah kepada al-Asy'ari, yaitu hanya karena Asy’ari menyalahi sikap mereka yang berlebihan dalam mengikuti makna-makna literal nas. Itu pulalah sebabnya, Hammudah Ghurabah menegaskan, bahwa; “Kalangan pengkaji yang hanya mengacu pada al-Ibanah untuk menentukan metodologi pemikiran al-Asy’ari adalah sebuah kesalahan, kerana antara al-Ibanah dan al-Luma’ merupakan metodologi pemikiran yang utuh dan lengkap bagi al-Asy’ari. [30] Dalam konteks ini Ahmad Jali menyatakan bahwa: “Kalau kita membaca karya-karya al-Asy’ari, maka sangat jelas kita dapati bahwa beliau sesungguhnya sangat konsisten di dalam metodologi berfikirnya, khususnya apabila kita memperhatikan tatkala ia menguraikan masalah-masalah teologi”.[31]
Argument Ahmad Jali di atas memang beralasan, sebab apabila kita perhatikan secara mendalam karya-karya al-Asy’ari, walaupun ada ditemukan perbedaan-perbedaan, khususnya dari segi penegasannya, namun yang dapat disimpulkan dari karya-karya itu adalah kesamaan prinsip metodologi bagi menolak dan menentang pendapat-pendapat Muktazilah.
Selain itu, mengikut al-Jaliy, kesemua karya tersebut memberi penegasan atas perlunya nas al-Qur’an, hadis Nabi serta argument rasional bagi mengukuhkan keyakinan-keyakinan akidah. Karya al-Luma’ misalnya, secara khas dirancang untuk menentang Muktazilah. Karena itu, fokus kajian al-Asy’ari dalam karyanya ini hanyalah masalah-masalah yang menjadi bahasan sentral Muktazilah. Dalam karyanya ini, al-Asy’ari sama sekali tidak menyentuh masalah-masalah al-ghaybiyyat. [32]
Senada dengan pendapat al-Jaliy diatas, Fawqiyyah menegaskan bahawa, al-Asy’ari dalam al-Lumac, menggunakan metodologi berfikir yang mendekati metodologi Muktazilah, iaitu sebuah paradigma berfikir yang menggunakan premis-premis dan isu-isu logika. Bahkan dilain pihak, ia membela penggunaan argument logika, kemudian menghadirkan berbagai argument yang melegitimasi penggunaanya dalam kajian-kajian akidah. Diantaranya, Asy’ari mengatakan bahawa dalil al-Qur’an yang menunjukkan penciptaan kembali yang ditunjuk oleh ayat وضرب لنا مثلا ونسي خلقه[33] menunjukkan legitimasi penggunaan akal. Dalam ayat ini Allah menggunakan pendekatan analogi, salah satu bentuk pendekatan logik. [34]
Dalam beberapa kesempatan dalam al-Luma’, al-Asy’ari menegaskan bahawa ayat-ayat al-Qur’an tidak mungkin bertolak belakang, kerana itu, ketika membahas atau mengkaji persoalan-persoalan tertentu, bagi al-Ashcari mempertimbangkan semua ayat-ayat yang berkaitan dengan persoalan itu, adalah sebuah kemestian. Hal inilah yang sering dilupakan oleh para pakar teologi yang lain, kerana kadangkala mereka hanya mempertimbangkan ayat-ayat yang dapat mendukung pendapatnya. [35]
Selain itu, dalam al-Luma’ al-Asy’ari melegalkan penggunaan ta’wil dengan ketentuan memperhatikan makna-makna zahir ayat, dan tidak boleh beralih dari makna hakikat ke makna majazi tanpa ada dalil atau dibarengi dengan argument yang kuat (hujjah).[36] Namun al-Asy’ari melakukan hal yang berbeda dalam karyanya al-Ibanah. Di dalamnya ia justru menyatakan afiliasinya ke salaf. al-Asy’ari menegaskan perlunya metodologi Salaf ini, karena menurutnya, penyimpangan-penyimpangan yang terjadi dalam akidah harus diakui sebagai akibat dari penakwilan nas-nas al-Qur’an yang tidak bertanggung jawab.[37]
Perlu dipertegas disini bahawa meskipun al-Asy’ari dalam bukunya al-Ibanah memakai ayat-ayat al-Qur’an dan Hadis-Hadis Rasulullah, tapi ia tidak tekstual, kerana ternyata ia juga melakukan argument-argument logika yang terproduksi dari ayat-ayat itu. Ia menjelaskan dengan kepiawaiannya bagaimana sebuah ayat tertentu mendukung atau menguatkan pendapatnya, dan ia mematahkan pendapat lawan debatnya yang justeru juga terambil dari ayat yang sama. Hal ini dapat kita lihat dengan jelas pada argument al-Asy’ari menyangkut masalah ru’yatullah, di antara dalil-dalil yang dikemukakan al-Ashcari, tiga diantaranya adalah dalil aqli. Salah satu diantara dalil itu ia meyakini adanya keterkaitan antara adanya sesuatu dengan kemungkinan melihatnya. Mengikut al-Asy’ari, setiap sesuatu yang ada, ia dapat dilihat. Al-Asy’ari menyatakan sebagai berikut:
“diantara bukti dapatnya melihat Allah dengan mata kepala adalah bahawa tidak ada sesuatu zat yang ada kecuali Allah dapat memperlihatkannya. Maka, ketika Allah merupakan sesuatu zat yang ada, maka bisa saja Allah memperlihatkan dirinya kepada kita”[38]
Dari uraian-uraian yang telah dikemukakan diatas dapat disimpulkan bahawa al-Asy’ari telah konsisten di semua karya-karyanya yang ia tulis. Perbedaan yang ada dalam semua karyanya itu, hanyalah terletak pada sisi penegasan metodologi sahaja. Metodologi itu tidak lain adalah metodologi yang berbasis al-Quran dan al-Hadis dengan beberapa kodifikasi penafsiran dan pentakwilannya. Kemudian ia membangun argument-argument logik dari ayat-ayat itu yang diproduk dari indikasi-indikasi pemahaman teks yang benar. Dalam konteks ini, Hammudah Ghurabah menyatakan: “Saya sesungguhnya tidak menemukan perbedaan gambaran yang saya dapatkan di al-Ibanah dengan gambaran yang saya dapatkan di al-Lumac”. [39]
3. Al- Asy’ari dan metodologi moderat.
Di antara para pengkaji banyak yang berkesimpulan bahawa metodologi al-Asy’ari adalah metodologi pertengahan (moderat) diantara metodologi aliran-aliran yang ada dan berkembang masa itu.[40] Faktor pendorong atas moderasi metodologi Asy’ari adalah kondisi aliran-aliran yang ada di masa itu selalu konflik antara satu aliran dengan yang lainnya dan oleh al-Ashcari menganggapnya sebagai suatu moment yang sangat berbahaya.
Untuk membuktikan kesimpulan ini, para pengkaji mengajak untuk merujuk ke isu-isu teologi yang diangkat oleh al-Asy’ari. Isu “kalamullah” misalnya, Asy’ari memilih bahawa kalam Allah ada yang nafsi ada juga yang lafdhi. Pilihannya ini sebagai jalan tengah dari dua pilihan yang berbeda yang diyakini oleh dua mainstream yang berkembang saat itu, Hanabilah dan Muktazilah. Yang pertama mengatakan bahawa kalamullah adalah ghayr makhluq, sedangkan yang kedua mengatakan bahawa kalamullah adalah makhluq. [41]
Dalam isu perbuatan manusia (af'al al ‘ibad), menurut mereka, Ashcari juga menentukan opsi jalan tengah antara Jabariyyah yang meyakini manusia tidak mencipta perbuatannya dan Muktazilah yang meyakini manusia menciptakan perbuatan-perbuatannya yang bersifat ikhtiyariyyah. Asy’ari mengatakan: “Manusia tidak menciptakan perbuatan-perbuatannya, namun perbuatan itu adalah sesuatu yang terjadi atas kudrat Allah. Tapi, manusia punya andil dalam proses penciptaan perbuatan itu yang kemudian dinamai dengan istilah al-kasb. Al-kasb itulah yang berada di bawah kudrat manusia, kerana al-kasb itu juga yang membuat manusia layak untuk mendapat siksaan atau pahala.” [42]
Begitu pula halnya dengan isu sifat-sifat khabariyyah, Asy’ari berada pada posisi tengah antara kalangan al-mushabbihah yang telah melampaui batas dalam hal menerima makna-makna literal nas. Keterlaluan itu menjadi penyebab mereka memaknai kata-kata seperti al-istiwa’, al-yadayn, al-wajhu dengan makna zahir, dan Muktazilah yang menafikan adanya sifat-sifat khabariyyah. Asy’ari dalam masalah ini, memilih untuk menetapkan sifat-sifat khabariyyah tanpa harus mempertanyakan kaifiyahnya. [43]
Sama halnya isu murtakib al-kabair (pelaku dosa besar), Asy’ari juga memilih jalan tengah antara aliran Murjiah dan Muktazilah. Yang pertama mengatakan bahawa perbuatan maksiat tidak mempengaruhi hakikat keimanan, sama halnya ketaatan sama sekali tidak mempengaruhi hakikat kekafiran, dengan arti, bila mana seseorang telah beriman, maka dosa yang ia perbuat tidak boleh menggeser statusnya dari beriman menjadi tidak beriman, begitu pun sebaliknya. Menurut Murjiah, pelaku dosa besar akan disiksa hanya untuk sementara waktu saja setelah itu ia adalah ahli syurga. Manakala Muktazilah mengatakan bahwa ia berada di antara dua posisi, antara keimanan dan kekafiran, ia bukan beriman bukan juga orang kafir. Akibatnya, kalau ia meninggal sebelum bertaubat, maka ia akan masuk neraka selamanya. Asy’ari mengambil jalan tengah dan mengatakan: “sesungguhnya pelaku dosa besar adalah orang mukmin yang berdosa, bila ia meninggal sebelum bertaubat, maka statusnya akan diserahkan kepada Allah, bila Allah memaafkannya maka ia akan bebas, dan apa bila Allah menghendaki maka ia akan disiksa. [44]
Sikap dan pandangan “moderat” seperti ini banyak ditemukan dalam wacana teologis Asy’ari. Namun yang menarik untuk dikemukakan disini adalah apakah sikap Asy’ari yang diasumsikan moderat itu mendapat apresiasi dari aliran-aliran lain. Jawabannya adalah apabila kita melirik sikap aliran-aliran lain ternyata mereka menyatakan antipati kepada Imam al-Asy’ari.[45] Hal itu disebabkan oleh adanya Asy’ari tidak menerima secara maksimal metodologi masing-masing dari aliran-aliran itu. Ia menyeleksi dan hanya mengambil apa yang menurutnya benar dan sesuai dengan nuangsa teologisnya.
Hal yang tidak kalah pentingnya untuk diketengahkan disini adalah; bahwa disana ada lagi sekelompok penyelidik yang mengatakan bahawa sebenarnya Asy’ari bukanlah mengembangkan metodologi moderat, namun ia adalah salafi tulen.[46] Untuk mengukuhkan asumsinya, kelompok ini justru merujuk kepada pernyataan yang telah diungkapkan Asy’ari sendiri. Dalam karyanya al-Ibanah, Asy’ari mengatakan: “pendapat yang kami yakini, agama yang kami anut adalah berpegang teguh dengan al-Quran dan Sunah Rasul, begitu pula menghormati apa yang diriwayatkan dari sahabat, tabiin dan Imam-imam Hadis. Kesemuanya itu kami pegangi, kami juga pegangi pendapat Imam Ahmad ibn Hanbal, dan kami tidak sependapat dengan orang yang menyalahi pendapat-pendapat Imam Ahmad”. [47]
Menurut hemat penulis, apa yang diasumsikan oleh kelompok diatas tidak boleh diterima begitu saja, sebab metodologi moderat yang orang fahami dari metodologi Asy’ari terdapat perbedaan mendasar yang ditemukan dalam substansi metodologi Asy’ari itu sendiri.
Dari peninjauan yang seksama atas aliran-aliran ini, misalnya, ditemukan adanya metodologi Salaf mengutamakan nas dari pada akal bukan dalam erti mereka menolak akal, namun ia menjadikannya sebagai sesuatu yang sekunder. Metodologi ini sangat berbeda dengan metodologi yang dianut kalangan Muktazilah yang mengutamakan akal dari pada nas. Juga sangat berbeda dengan kalangan Hanabilah yang memberi apresiasi yang berlebihan kepada nas yang menjadikan akal dilepas dari fungsi utamanya.
Untuk itu, jika tidak ada jalan kecuali harus menyerupakan, maka aliran yang hampir sama dengan madzhab Asy’ari adalah madzhab salaf, sebab madzhab salaf memilih untuk tafwid pada nas-nas mutasyabihat. Tafwid artinya menerima nas-nas itu sebagaimana adanya, tanpa melakukan penakwilan. Dan ini tentu sangat menyerupai mazhab Asy’ari yang menetapkan adanya sifat-sifat itu tanpa menentukan bentuknya.
Pada sisi yang lain, pandangan yang mengatakan bahawa sikap Asy’ari adalah salafi yang berasas pada pendapat-pendapat Ahmad Ibn Hanbal, juga tidak boleh diterima secara mutlak. Alasan penolakannya adalah kerana Asy’ari terbukti telah melakukan penambahan metodologi pada metodologi salaf berupa pendekatan-pendekatan akal yang sama sekali tidak ditemukan pada metodologi salaf sebelumnya. Apa lagi ia telah memilih memasuki kajian kalam bahkan menganggapnya sebagai sesuatu yang baik, sementara ini adalah sesuatu yang dibenci oleh tokoh-tokoh salaf sebelumnya.
Dengan demikian, apabila analisis ini benar, maka metodologi Asy’ari bukan metodologi yang moderat secara mutlak bukan juga Salafiyyah tulen. Yang dapat penulis simpulkan, setelah mengungkap semua data-data yang dianggap perlu, bahawa metologi yang dibangun oleh al-Asy’ari hanyalah mendekat kepada Salaf tetapi ia bukanlah salafi tulen sebagaimana yang diasumsikan sebagian pengkaji.
Sebelum mengakhiri bahasan ini, penulis menemukan sebuah masalah yang dapat mengeruhkan kesimpulan tadi, dan ini tidak boleh dibiarkan begitu saja, iaitu bahwa kalau memang Asy’ari bukan salafi tulen dan ia hanya mendekati metodologi salaf, lalu mengapa dia terang-terangan memberikan pernyataan dalam karyanya al-Ibanah, bahawa metodologi yang ia adopsi adalah metodologi al-Qur’an dan Sunah serta Ijma’ para sahabat, dan ia menganut aqidah Imam Ahmad bin Hanbal?. Apakah pernyataan ini dapat dianggap pernyataan yang palsu seperti yang dituduhkan oleh kalangan Hanabilah ataukah ia benar-benar telah menganut metodologi itu lalu meninggalkannya?
Berdasarkan fakta dan data-data yang telah diungkap, bahawa kedua-dua kemungkinan itu tidak benar. Namun yang benar adalah bahwa prinsip-prinsip dasar metodologi Asy’ari sama sekali tidak menyalahi metodologi salaf. Kesamaan itu membuat orang tidak melihat adanya perbedaan dengan metodologi salaf, tidak seperti perbedaan yang mencolok antara metodologi aliran-aliran yang lain dengan metodologi salaf.
Begitu juga halnya pernyataan Asy’ari bahawa ia telah mengadopsi akidah Ahmad bin Hanbal. Pernyataan ini sama sekali tidak bertentangan dengan kesimpulan tadi yang mengatakan bahawa metodologinya hanyalah mendekati metodologi Ahmad, bukan persis sama dengannya. Karena yang harus difahami dari pernyataan Asy’ari tadi adalah bahwa ia tidak keluar dari kerangka yang telah diletakkan oleh salaf termasuk Imam Ahmad bin Hanbal.
PENUTUP
Dari pemaparan diatas dapat disimpulkan bahwa konsep teologi yang telah dibangun oleh Abu Hasan al-Asy’ari adalah konsep “teologi moderat”. Rumusan metodologi pemikiran teologi moderat al-Asy’ari selain menggunakan argument tekstual berupa teks-teks suci dari al-Qur’an dan al-Sunnah seperti yang dilakukan oleh ahli Hadits yang didukung, juga menggunakan argument rasional berupa mantik atau logika Aristoteles. Namun pendekatan mantik ini ia gunakan bukanlah sebagai kerangka kebenaran, melainkan sebagai alat untuk membuat kejelasan-kejelasan.
Pendekatan yang digunakan al-Asy’ari dalam kajian ‘teologi moderat’ tergolong agak unik, beliau mengambil yang baik dari pendekatan tekstual Salafiyyah, sehingga ia mengguakan argument akal dan nakal secara seimbang, mengeksploitasi akal secara maksimal tetapi tidak sebebas Muktazilah, memegang naqal dengan kuat tetapi ia juga tidak seketat Hanabilah dalam penolakan mereka terhadap argument logika.
RUJUKAN
al-Asy’ari, Abu al-Hasan ‘Ali ibn Ismail 1955. Kitab al-luma’ fi al-radd ‘ala ahl al-ziyaqh wa al-bid’. Masr: Matbacat al-Munir.
al-Asy’ari, Abu al-Hasan ‘Ali ibn Ismail. 1950. Maqalat al-Islamiyyin wa ikhtilaf al-musallin. al-Qahirah: Maktabat al-Nahdah al-Misriyyah.
al-Asy’ari, Abu al-Hasan ‘Ali ibn Ismail. 1985. al-Ibanah can usul al-diyanah. Bayrut: Dar al-Kitab al-‘Arabi.
al-Baghdadi, 1928M/1346H, Kitab usul al-din, Bayrut: Dar al-Kutub al-cIlmiyyah.
al-Baghdadi, Abu Mansur ‘Abd al-Qadir ibn Thahir al-Tamimi. 1928. Kitab usul al-din. Constatinople: Madrasat al- Misriyyah.
al-Baqillani, al-Qadhi Abu Bakr. 1957. Kitab al-tamhil al-awa’il wa talkhis al-dala’il. Bayrut: al-Maktabah al-Sharqiyyah.
al-Baqillani, 1963. al-Inshaf fi ma yajib ictiqaduh wa la yajuz al-jahl bih. Tahqiq Muaammad Dhahib al-Kawthari, al-Qahirah: Mu’assasat al-Khanji.
al-Ghazali, Abu Hamid Muhammad ibn Muhammad ibn Muhammad. 1962. Al-iqtishad fi al-ictiqad. Masr: Maktabat Muhammad Subayh.
al-Ghazali, Abu Hamid Muhammad ibn Muhammad ibn Muhammad. 1966. Tahafut al-falasifah. al-Qahirah: Dar al-Ma’arif.
al-Ghazali, Abu Hamid Muhammad ibn Muhammad ibn Muhammad. 1970. “Iljam al-‘awam can cilm al-kalam” Masr: Maktabat al-Jundi, Jil. 1.
al-Ghazali, Abu Hamid Muhammad ibn Muhammad ibn Muhammad. 1937. al-Mustasfa min cilm al-usul. Masr: Maktabat Muhammad.
al-Ghazali, Abu Hamid Muhammad ibn Muhammad ibn Muhammad. 1960. Maqasid al-falasifah. Masr: Dar al-Macarif, Cet. 2
al-Ghazali, Abu Hamid Muhammad ibn Muhammad ibn Muhammad. t.th. Ihya’ culum al-din. Bayrut: Dar al-Fikr, Jil. 2.
al-Ghazali, Abu Hamid Muhammad ibn Muhammad ibn Muhammad.,1907. Kitab al-mawaqif. 8 Juz, al-Qahirah: Maktabat al-Sacadah,
al-Ghurabah., cAli Mustafa. 1958. Tarikh al-firaq al-Islamiyyah wa nash’at cilm al-kalam. al-Qahirah: Maktabat Muhammad cAli Subaih, Cet. 2.
al-Juwayni, Abu al-Macali Abd al-Malik ibn al-Shaykh Abu Muhammad. 1959. al-Irshad cala qawatic al-adillah wa usul al-ictiqad. Misr: Matbacat al-Sacadah.
al-Juwayni, Abu al-Macali cAbd al-Malik ibn al-Shaykh Abu Muhammad. 1979. al-cAqidah al-nidhamiyyah. al-Qahirah: Maktabat al-Kulliyyah al-Azhariyyah.
al-Shahrastāni. t.th.al-Milal-wa al-nihal, Bayrut: Dār al-Fikr
Ahmad Amin. 1975. Duhr al-Islam. Al-Qahirah: Maktabat al-Nahdah al-Misriyyah, Cet. 4.
Ahmad Amin, 1964, Duha al-Islam, al-Qahirah: al-Nahdah, Jil. 3
cAli Sami al-Nashar. t.th. Nash’ah al-fikr al-falsafi fi al-Islam, Masr: Dar al-Fikr al-cArabi.
D.B. Macdonald, 1903,.Deplopment of Muslim Theologi, Jurisprudence and constitusional Theory, London: George Routledge & Sons Ltd
Fazlur Rahman. 1979. Islam, Chicago and London: University of Chicago Press, Second edition
Ibn cAsakir, Abu al-Qasim cAli ibn al-Hasan ibn Hibatullah al-Dimashqi. 1979. Tabyin kadhb al-muftari fi ma nusiba ila al-Imam Abi al-Hasan al-Ashcari. Bayrut: Dar al-Kitab al-cArabi.
Ibn Taymiyyah. 1980. Dar’ tacarud al-caql wa al-naql, Juz VI, Riyad: Jamicah al-Imam Muhammad bin Sacud al-Islamiyyah,
Jalal Musa. 1975. Nash’at al-Asy’ariyyah wa al-taawwuruha, Bayrut: Dar al-Kitab al-Lubnani.
Nurcholish Masid, 1984. Khasanah Intelektual Islam, Jakarta: Bulan Bintang.
Subhi, Ahmad Mahmad. 1969. Fi cilm al-kalam. al-Qahirah: Dar al-Macarif.
[2] Faham Sunni dalam Islam disebut juga: Ahli Sunah waljamaah, dengan watak utamanya: neutral dalam politik dan moderat dalam faham keagamaan. Lihat Fazlur Rahman, hal. 87.
[3] Jadi, al-Ashcariadalah cucu dari Abu Musa al-Ashcari, yang pernah menjadi delegasi dalam majlis tahkirn dengan delegasi Mucawiyah di Dawmat al-Jandal. Kerana kelicikan Amr ibn al-cash , maka Abu Musa al-Ashcari bersedia menjadi wakil Dari keluarga Muhammad. Sedangkan cAmr bin al-cAsh sendiri bertindak mewakili pihak Mucawiyah. cAmr ibn al-cAsh ketika itu meyakinkan Abu Musa al- Ashcari dengan berkata: untuk kesejahteraan orang Islam, maka perlu menyingkirkan cAli dan Mucawiyah, kemudian mengangkat orang lain menjadi pemimpin Islam. Tipuan itu berhasil; Abu Musa al-Ashcari naik mimbar dan dengan suara, bersungguh-sungguh mengisytiharkan pemecatan cAli. Sesudah pengisytiharan itu ia turun dengan wajah yang berseri-seri, kerana menganggap bahawa dia, telah melakukan suatu perbuatan yang baik dan mulia. Lalu kemudian, cAmr bin al-cAsh dengan senyum naik ke mimbar yang ditinggalkan oleh Abu Musa tersebut. Setelah di atas mimbar, cAmr bin al-cAsh mengumumkan bahawa ia menerima, pemecatan cAli serta mengangkat Mucawiyah sebagai gantinya. Mendengar hal itu, Abu Musa, yang malang itu, tercengang; tapi penipuan itu terlalu jelas dan kaum Fatimah menolak keputusan tersebut sebagai keputusan yang sah. al-Tabari, 1963, Tarikh al-Tabariy, Jil. 5, hal. 7; Imam Munawir, 1985, Mengenal pribadi 30 pendekar dan pemikir Islam dari masa ke masa; Surabaya: Bina 11mu, hal. 206-207.
[12] Menurut Mustafa cabd al-Razik, di dunia Islam kini terdapat dua aliran kalam yang masih menguasai umat, iaitu Ashcariyyah dan Salafiyyah; tetapi yang disebutkan pertama tanpaknya masih dianggapnya dominan. al-Raziq, Tamhid li tarakh al-falsafah al-Islamiyyah, hal. 259.
[13] Faham tradisional dalam Islam disebut juga sebagai faham Ahli Sunah waljamaah, atau faham Sunni; dengan watak utamanya neutral dalam politik dan moderat dalam faham keagamaan. Fazlur Rahman, 1979, Islam, hal. 87; Nurcholish Masid, Khasanah Intelektual Islam, hal.16.
[28] Ibid.
[32] Ibid, 28.
[36] Ibid.
[42] Ibid.
[46] Fawqiyyah adalah salah seorang pengkaji yang berasumsi demikian. Ia mengatakan: Inilah metode Ashcary dalam berinteraksi dengan nas-nas, metode seperti itu adalah metode salaf al-Salih dan metode itu juga yang dianut oleh Imam Ahmad.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar