Metode dan prinsip Aqidah Islamiyah
Metode Pencapaian Aqidah Islam.
Secara fitri manusia memerlukan aqidah guna menopang hidup budayanya, suatu kehidupan tak akan bermakna jika dalam jiwa manusia tak sedikit pun tertanam rasa aqidah yang kuat, kehidupan tidak haya membutuhkan materi tetapi ia juga membutuhkan kepuasan hati nurani. Seseorang yang telah mencapai puncak kejayaan materi belum tentu ia dapat mempertahankan kebahagiaan hidupnya sebab kejayaan materi hanya bersifat relatif dan statis, tidak berkembang. Moment seperti ini mendorong seseorang untuk mencari makna hidup yang abadi. Islam hadir dengan menawarkan konsep keyakinan (aqidah) sebagai lambang makna hidup yang abadi itu.
Untuk mencapai maksud tersebut, maka dibutuhkan metode pencapaian yang khusus, mengingat aqidah Islam tidak hanya dapat dimengerti dengan pendekatan empirik, tetapi juga menggunakan pendekatan supra empirik. Karena itu, metode pencapaian aqidah dapat dilakukan dengan cara :
1. Doktriner yang bersumberkan dari wahyu Ilahi yang disampaikan melalui rasul-Nya dan pesan tuhan tersebut telah diabadikan dalam satu kitab al-Quran yang secara operasional dijelaskan oleh sabda Nabi-Nya. Dengan metode ini maka akidah Islam mampu mencapai kepercayaan yang bersifat “Sam’iyat”, yaitu kejadian-kejadian tertentu yang harus diyakini kebenarannya yang hanya didapat dari sumber wahyu illahi. Misalnya hari kiamat, syurga, neraka, hisab, Malaikat dan segbagainya. Bagi orang yang tidak percaya memandang metode ini dinyatakan tidak signifikan dan tidak kognitif dengan alasan tidak dapat diverivikasikan dan tidak empirik. Untuk itu metode ini harus didasarkan atas (kepercayaan iman) yang apabila akal manusia tidak mampu mengungkapkan sesuatu maka tidak perlu dibahas dan diprdebatkan.[1]
2. Melalui hikmah (filosofik) dimana tuhan mengarahkan kebijaksanaan dan kecerdasan berfikir kepada manusia untuk mengenal adanya tuhan dengan cara memperhatikan fenomena alam sebagai bukti adanya Tuhan malalai pererungan (kontemplasi) yang mendalam .
3. Melalui metode ilmiah, dengan memperhatikan fenomena alam sebagai bukti adanya Allah SWT.
4. Irfaniyah, metode yang menekankan pada intuisi dan perasaan hati seseorang setelah melalui upaya suluk (perbuatan yang biasa dilakukan untuk mencapai tujuan tertuntu ). Metode ini membagi alam menjadi dua katagori. Pertama, alam nyata yang dapat diobservasi dan dieksprimentasi oleh ilmu pengetahuan moderen dengan metode ilmiah. Kedua, alam intuisi yang berkaitan dengan jiwa yang tidak mungkin ditundukkan dengan pengalaman atau analogi. Alam kedua inilah yang hanya mampu ditempuh melalai metode intuisi.[2] Metode Irfaniah banyak dipergunakan oleh kaum sufi yang mencari kebenaran Tuhan atau mencari ma’rifatullah (kenal allah) dengan cara-cara tertentu, melalui pembiasaan penajaman intuisi berdasarkan pengalaman amal ibadahnya.
B. Prinsip-prinsip Aqidah Islamiyah.
Dalam Islam aqidah merupakan masalah asasi yang merupakan misi pokok yang diemban para Nabi, baik tidaknya seseorang dapat ditentukan dari aqidahnya, mengingat amal saleh hanyalah pancaran dari aqidah yang sempurna. Kerena aqidah merupakan masalah asasi maka dalam kehidupan manusia perlu ditetapkan prinsip-prinsip aqidah Islamiah agar dapat menyelamatkan kehidupan manusia di dunia dan akhirat. Prinsip aqidah yang dimaksud:
1. Aqidah didasarkan atas Tauhid yakni mengesakan Allah dari segala dominasi yang lain.Prinsip Tauhid bukan saja mengesakan Allah seperti diyakini oleh kaum monoteis, melainkan juga meyakini kesatuan penciptaan (unity of kreation), kesatuan kemanusiaan (unity of mankind), kesatuan tuntunan hidup (unity of purpose of life), yang semuanya itu merupakan derivasi dari kesatuan ketuhanan (unity of Godhead). Prinsip Tauhid juga tidak mempertentangkan antara dunia dan akhirat, antara yang alami dengan dialami, antara yang immanen dan yang transendental, antara jiwa dan raga dan sebagainya. karena itu semuanya merupakan satu kesatuan (unity of the whole universe). Karena itu prinsip At-Tauhid harus ditopang oleh lima komitmen, yaiyu: a) Memiliki komitmen utuh kepada Tuhan dan menjalankan pesan-Nya. b) Menolak pedoman hidup tidak berasal dari Tuhan. c) Bersikap progresif dengan selalu menekan penilaian kualitas hidup, adat-istiadat, tradisi, faham hidup. d) Tujuan hidupnya amat jelas, yaitu semua aktifitas hanya Allah semata (Q.S.Al-An’am,162), dan e) Mempunyai fisi yang jelas dengan manusia lain, sehingga terjalin keharmonisan antra manusia dan tuhannya, dengan linkungan sekitarnya. [3] Karena itu, aktivitas harus ditauhidkan hanya untuk Allah semata, bahkan Allah SWT tidak akan mengampuni dosa-dosa orang yang menyekutukan-Nya, karena dosa syirik menyalahi prinsip utama dalam Aqidah Islam. Firman Allah yang artinya: “Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa Syirk, dan dia mengampuni segala dosa yang lasin dari (syirk) itu bagi siapa yang dikehendaki-Nya.” (Q.S. An-Nisa’:48)
2. Aqidah harus dipelajari secara terus menerus dan diamalkan sampai akhir hayat kemudian selanjutnya diturunkan (dida’wakan) kepada yang lain. Sumber Aqidah adalah Allah SWT, Dzat yang Maha Benar. Oleh karena itu cara mempelajari aqidah harus melalui wahyu-nya, bukan hanya sekedar bertaqlid (mengikuti tanpa suatu argument) kepada orang lain. Ibnu Taimiyah menyatakan bahwa aqidah (I’tiqad) itu bukanlah diambil dari padanya, bukan pula diambil dari orang-orang yang lebih besar darinya, akan tetapi diambil langsung dari Allah Swt yang Maha luhur dan dari Rasul-Nya serta dari pendapat yang telah disepakati oleh umat terdahulu. Dalam kaitan ini Allah berfirman: “Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya, sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semua itu akan dipertanggung jawabkan.” (Q.S. Al-Isro’36) Sedangkan cara mengamalkan aqidah yang baik dengan mengikuti semua perintah dan menjauhi semua larangan Allah SWT. Oleh karena itu, Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa “al-Imanu yanqush wa yazid” (iman/aqidah itu dapat berkurang dan dapat pula bertambah). Mengurangya aqidah karena aqidah itu tidak membawakan dampak aktifitas baik, bertambahnya aqidah itu karena selalu diiringi dengan amal baik. Nabi SAW bersabda: “Iman (aqidah) itu bukanlah angan-angan dan juga bukan perhiasan, tetapi iman itu adalah sesuatau yang menetap dalam hati dan dibenarkan /direalisasi dengan amal perbuatan. (H.R Dailami). Selanjutnya, aqidah itu diturunkan kepada generasi berikutnya, karena belum diturunkan maka aqidah itu makin lama makin menyempit pemeluknya. Sabda Nabi SAW: “Sampaikan diriku walupun hanya sepatah kata” (H.R. Bukhori).
3. Skop pembahasan aqidah tentang tuhan dibatasi dengan larangan memperbincangkan atau memperdebatkan tentang eksistensi Dzat Tuhan, sebab dalam satu hal ini manusia tidak akan pernah mampu menguasai. Nabi SAW bersabda: “Berfikirlah kamu tentang makhluk Allah SWT, dan jangan memikirkan Dzat Allah, sebab kamu tidak akan mampu melakukannya.” (H.R. Abu Nuaim). Descartes seorang sarjana prancis menyatakan: “Sungguh aku telah merasakan kekurangan diriku, dan disaat itu pula aku merasakan bahwasanya ada Dzat yang sempurna. Dan aku terpaksa meyakini bahwa perasaan ini timbul dalam diriku karena ditambah oleh Dzat yang sempurna yang dimiliki segala kesempurnaan.” Kemudian Isac Newton menyatakan pula: “Jangan anda sekalian ragu tentang adanya Dzat pencipta karena dia termasuk sesuatu yang tidak akan dicari oleh akal dengan sendirinya. Dia adalah Dzat yang menentukan keadaan ini”.
4. Akal dipergunakan manusia untuk memperkuat aqidah, bukan untuk mencari aqidah. Karena aqidah Islamiyah sudah jelas tertuang dalam al- Qur’an dan al-Sunnah. Dalam pendekatan filsafat, sebagian filosof menggunakan teori keraguan (academic Doubt) dalam menemukan suatu kebenaran. Dengan berpangkal dari keraguan sebagai jembatan perantara menuju sebuah kepastian dengan proses dari keraguan itu dijadikan sebagai objek analisis lalu diadukan penyajian sehingga kebenaran dapat dibuktikan dengan dalil. pendekatan ini tidak boleh dipergunakan dalam mencari aqidah, sebab jika manusia tidak mampu menjangkaunya berarti ia telah ilhad (atheis), yakni meniadakan adanya tuhan pencipta, hal itu terjadi karena sarana dan kemampuan seseorang sangat terbatas, sehingga sulit terjangkau Dzat yang serba sempurna. Jika ternyata seseorang belum menerima wahyu, maka pendekatan tersebut dapat diperguankan sebagai cara untuk mendapatkan kebenaran. hal ini pernah dilakukan oleh nabi Ibrahim AS dalam dalam kisahnya mencari Tuhan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar