Jumat, 03 Februari 2012

ILMU TASAWWUF

TAUHID DALAM PERSPEKTIF SUFI (FANA’, BAQA’, ITTIHAD, HULUL DAN WAHDAT AL-WUJUD)


Tauhid atau keesaan Tuhan telah ditafsirkan secara berbeda oleh para ahli. Karena itu, maka kita dapatkan tauhid dalam perspektif teologis, seperti yang tercermin dalam konsep “tanzih al-shifat”-nya Mu’tazilah; tauhid dalam perspektif filosofis yang menyatakan bahwa pada diri Tuhan, esensi dan eksistensi adalah identik. Demikian juga kita peroleh konsep tauhid dalam perspektif sufistik. Yang terakhir inilah yang akan menjadi perhatian pada bagian ini.
Tidak seperti umumnya kita yang mengartikan kalimat “la ilaha illa Allah” sebagai “tidak ada Tuhan selain Allah”, para sufi mengartikan kata “ilah” sebagai realitas, sehingga kalimat syahadat itu bermakna “tidak ada realitas (haqiqah) yang sejati kecuali Allah”. Dari sini mereka memahami hanya Allahlah yang real, yang hakiki, sedangkan yang lainnya adalah semu dan nisbi. Ketika dikaitkan dengan wujud, maka Tuhan adalah satu-satunya yang betul-betul ada; Dialah realitas terakhir, yang berarti wujud yang sejati. Karena itu terdapat identitas antara yang Hak, yaitu Tuhan dan Wujud. Dia adalah satu-satunya wujud yang Hakiki, dan yang Hak adalah satu-satunya yang Wujud. Dalam konteks inilah para sufi berbicara tentang kesatuan wujud (Wihdat al-Wujud), di mana dinyatakan bahwa tiada lain yang wujud kecuali Dia.
Pernyataan tiada yang wujud kecuali Dia bukanlah sekedar permainan kata-kata atau basa-basi, tetapi betul-betul dihayati dan diyakini sebagai suatu kenyataan yang tak bisa diragukan lagi. Bahkan dalam penghayatannya yang terdalam, seorang sufi akan kehilangan kesadaran dirinya. Ia menafikan keberadaan dirinya. Inilah yang dimaksud dengan fana’. Setelah itu hanya kehadiran Tuhanlah yang ia rasakan, dan ia hidup dalam hadirat dan keberadaan Tuhan. Inilah yang mereka sebut baqa’, di mana seorang sufi hanya akan merasakan keberadaan Tuhan, sebagai satu-satunya wujud yang hakiki. Dalam keadaan seperti inilah, al-Hallaj (w. 922 menyatakan: “Ana al-Haqq,” Yang berarti “aku adalah Tuhan (Kebenaran).” Inilah inti tauhid sufistik.
Tanpa mengetahui maksud dan latar belakang munculnya pernyataan al-Hallaj di atas, salah paham terhadapnya sudah bisa dibayangkan. Dalam kenyataan sejarah, al-Hallaj telah membayar pernyataannya itu dengan nyawanya. Orang menuduhnya telah menjadi kafir karena pernyataan itu, sedangkan ucapannya itu ditafsirkan sebagai kesombongan yang tak terampunkan, karena ia telah mengadakan klaim ketuhanan. Ia telah mengaku dirinya sebagai Tuhan.
Tetapi orang yang mengerti apa arti yang sesungguhnya dari ungkapan tersebut, sebuah ungkapan kerendahan dalam hati (tawadhu) Jalal al-Din Rumi (w.1273) menafsirkan peryataan al-Hallaj tersebut dengan mengatakan: “pernyataan aku tuhan, adalah pernyataan yang merendah, karena dalam hal ini, al-Hallaj tela menafikan wujud dirinya yang nisbi di hadapan wujud tuhan yang hakiki. Dalam pandangannya hanya dia wujudnya hakiki, yang betul-betul ada, sedangkan wujud alam yang nisbi tidak lain kecuali bayang-bayang-Nya. Sebaliknya, pernyataan “aku hamba dan Engkau Tuhan” dipandang Rumi sebagai ungkapan yang justru menyombongkan, karena dalam hal ini, seorang sufi telah mengafirmasi wujudnya yang nisbi sebagai yang berhadap-hadapan dengan Wujud yang Mutlak, padahal keberadaannya tidak berarti apa-apa di hadapan Wujud yang Mutlak tersebut.
Pandangan tauhid orang-orang sufi yang seperti itu telah melahirkan konsep-konsep wujud yang berbeda-beda, sekalipun jauh di lubuknya yang terdalam terdapat kesatuan pengertian, kalau saja kita bisa melepaskan diri kita dari perbedaan-perbedaan formalistik doktrin-doktrin tersebut. Dengan demikian maka doktrin sufi yang kita kenal sebagai “Ittihad” (kesatuan mistik), di mana seorang manusia telah berhasil melalui perjalannya yang panjang untuk bersatu dengan Tuhannya, atau doktrin “Hulul,” di mana Tuhan digambarkan mengambil tempat dalam diri manusia, ataupun “Wahdat al-Wujud,” di mana diyakini adanya identitas ontologism antara manusia dan Tuhan, pada dasarnya adalah sama.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

PENULIS BUKU KEKERASAN ATAS NAMA AGAMA

H. HAMZAH HARUN AL-RASYID. Lahir 30 juli 1962. Alumni Universiti Kebangsaan Malaysia (UKM) ini memperoleh gelar: • Sarjana Muda (BA) 1987,...