Aliran-Aliran Teologi Dalam Islam
Khawarij: Tokoh dan Pandangannya
Khawarij termasuk aliran yang pertama kali muncul dalam teologi Islam. Sebutan Khawarij –berasal dari kharaja,[1] yang berarti “keluar” –ditujukan bagi setiap orang yang keluar dari imam yang hak dan telah disepakati para jamaah, baik ia keluar pada masa Al-khulafa Al-Rasyidun maupun masa tabi’in secara baik-baik.[2] Khawarij, sebagai sebuah aliran, terdiri dari pengikut Ali yang meninggalkan berisannya karena tidak setuju terhadap Ali yang menerima tawaran genjatan senjata lewat arbitrase atau takhim dari Muawiyah.
Mereka pada umumnya terdiri dari orang-orang Badui. Kehidupan mereka di padang pasir yang tandus menyebabkan mereka bersifat sederhana, baik dalam cara hidup maupun pemikiran. Namun, mereka keras hati, berani, bersikap merdeka, tidak bergantung kepada orang lain, dan cenderung radikal. Perubahan yang dibawa agama ke dalam diri mereka tadak mampu mengubah sifat-sifat kebadwian mereka. Karena kebadwian itu pula, mereka jauh dari ilmu pengetahuan. Ajaran Islam yang terdapa dalam Al-Qur’an dan hadis, mereka pahami secara literal dan harus dilaksanakan sepenuhnya. Oleh karena itu, dalam paham mereka, iman bercorak sederhana, sempit, fanatik, dan ekstrem. Kefanatikan mereka membuat mereka tidak dapat mentolelir penyimpanan terhadap ajaran Islam menurut pemahaman mereka. Ini pula yang menjadi sebab mereka mudah terpecah belah dan sering melakukan perlawanan terhadap para penguasa Islam di masanya.
Wlaupun pada mulanya merupakan golongan politik, dalam perkembangan selanjutnya, Khawarij beralih menjadi aliran kalam. Berkenaan dengan masalah kepada negara (imam), mereka beranggapan bahwa imam tidak harus berada di tangan orang Quraisy. Seorang imam boleh saja dari kalangan bukan Quraisy selama ia bersifat adil, jujur, dan menjauhi segala sesuatu yang akan merusaknya. Seorang imam yang menyimpang dari ajaran-ajaran Islam, seperti merusak keadilan dan kemaslahatan, wajib dibunuh dan dijatuhkan.[3]
Pada umumnya, Khawarij menyatakan wajib adanya khalifah (imam) dalam masyarakat Islam dan umat Islam wajib tunduk kepadanya, selama khalifah berdiri diatas syariat Islam. Oleh karena itu, wajar jika mereka tunduk dan patuh terhadap Abu Bakar dan Umar. Terhadap Utsman, mereka menolaknya sejak tahun ketujuh masa khalifahannya. Ali mereka tolak karena, menurut mereka, Ali telah melaksanakan takhim.
Adapaun dalam masalah imam dan kufur, pendapat Khawarij, setelah terpecah-pecah, memiliki pendapat yang beragam. Dalam tulisan ini hanya dikemukakan pendapat dari sebagian sektenya saja, yakni Al-Muhakkimah, Al-Azariqah, Al-Najdat, dan Al-Ajaridah.
1. Al-Muhakkimah
Menurut sekte Al-Muhakkimah.[4] Ali Muawiyah, Amr bin Al-Ash, Abu Musa Al-Asy’ari, dan semua orang yang terlibat dalam arbitrase adalah kafir. Dosa-dosa besar, seperti zina, dipandang pelakunya sebagai kafir pula. Demikian pula, orang yang melakukan pembunuhan tanpa alasan yang kuat, mereka pandang kafir.
2. Al-Azariqah
Menurut aliran Al-Azariqah[5], yang termasuk kafir itu adalah orang Islam yang tidak sepaham dengan mereka; mereka kekal selama-lamanya di dalam neraka, walaupun ia masih usia kanak-kanak. Jadi, yang tergolong orang mukmin hanya mereka sendiridan para pendukungnya. Selain mereka, dikategorikannya senagai musyrik dan wajib dibunuh. Dalam pandangan mereka, iman berarti pengakuan dan perbuatan. Secara spesifik, yang menentukan dalam keimanan seseorang adalah hijrah. Golongan mereka sendiri yang tidak bersedia hijrah dalam rangka perjuangan, dianggapnya kafir musyrik.
3. Al-Najdat
Berbeda dengan pendapat Al-Muhakkimah dan Al-Azariqah, Al-Najdat peranggapan bahwa pelaku dosa besar yang menjadikannya kafir dan kekal di dalam neraka berlaku bagi orang Islam yang tidak sepaham dengan golongannya. Sedangkan bagi pengikutnya, jika mengerjakan dosa besar, walaupun akan mendapat siksa, tempatnya bukan dalam neraka; mereka kemudian akan masuk surga. Mereka juga berpendapat bahwa keimanan seseorang ditentukan oleh kewajiban mengimani Allah dan Rasul-Nya, mengetahui haramnya membunuh orang Islam, dan percaya kepada seluruh yang diwahyukan Allah kepada Rasul-Nya. Orang yang tidak peduli terhadap hal tersebut dipandang tidak beriman. Lalu, siapa yang beriman itu? Hanya mereka sendirilah yang benar-benar beriman. Orang mukmin yang tidak segolongan dengan mereka, tidak dipandang sebagai mukmin.
4. Al-Ajaridah
Mereka adalah pengikut dari ’Abd Al-Karim Ibn Ajrad, salah seorang teman Athiah Al-Hanafi. Mereka bersifat lebih lunak ketimbang golongan Khawarij sebelumnya, karena mereka berpendapat berhijrah bagi mereka bukan merupakan kewajiban –sebagaimana yang diajarkan oleh Nafi’ bin Al-Azraq- tetapi hanya merupakan kebajikan. Dengan demikian, mereka boleh tinggal di luar daerah kekuasaan mereka dengan tidak dianggap kafir. Mereka juga berpendapat bahwa anak kecil tidak berdosa, tidak musyrik; mereka mengikuti orangtuanya.[6]
Pandangan Khawarij Al-Ajaridah terhadap perbuatan manusia berbeda-beda. Sekte Maimuniah, yang berpaham Qadariah, menganggap perbuatan manusia, baik dan buruk, timbul dari kemauan dan kekuasaan manusia sendiri. Sedangkan sekte Al-Syu’aibah dan sekte Al-Hazimiah, yang berpaham jabariah, memandang perbuatan manusia, baik dan buruk, timbul dari kemauan dan kekuasaan Tuhan.[7]
[1] Ada pendapat menyatakan bahwa nama khawarij didasrkan pada ayat Surat Al-Nisa ayat 100 tentang kaum yang berhijrah meninggalkan kampung halaman mereka untuk mengabdikan diri kepada Allah dan Rasul-Nya dan untuk memperoleh pahala dari-Nya. Pendapat lain mengatakan bahwa kaum Khawarij menyebut diri mereka kaum Syurah-berasal dari kata yasyri, yang berarti menjual –yang didasarkan pada Surat Al-Baqarah ayat 207. Mereka sering disebut pula Haruriya –berasal dari harura –nama sebuah desa dekat kota Kufah di Irak. Di tempat inilah mereka, sekitar 12.000 0rang, berkumpul stelah memisahkan diri dari Ali. Di tempat ini pula mereka mengangkat Abdullah bin Wahhab Al-Rasibi menjadi imam mereka sebagai pengganti Ali. Lihat Al-Asy’ari, Maqalat Al-Islamiyyin, Jilid I (Kairo: Al-Nahdhah Al-Mishriyyah, 1950, hlm. 156).
[2] Abu Bakar Al-Syahrastani, Al-Milal wa Al-Nihal (Beirut: Dar Al-Fikr, t.t.), hlm. 114. Selanjutnya disebut Al-Syahrastani
[3] Muhammad Abu Zahrah, Al-Madzahib Al-Islamiyyah (Kairo: Maktabah Al-Adab, t.t.), hlm. 105-106.
[4]Al-Muhakkimah adalah mereka yang keluar dari barisan Ali ketika berlangsung peristiwa arbitrase, kemudian berkumpul di Harura, yang dipimpin oleh Al-Rasibi, Abdullah bin Al-Kawwa’, dan lain-lain. Muhakkimah mendasari pemberontakan mereka dengan dua bagian fundamental: inovasi dalam imamah dan inovasi dalam menyepakati Ali bersalah karena menerima arbitrase. Lihat Al-Syahrastani, op. Cit.,115. Lihat juga, Abd Al-Qahir bin Thahir bin Muhammad Al-Baghdadi, Al-Farq baina Al-Firaq (Beirut: Dar Al-Fikr, t.t.), hlm. 51.
[5]Nama sekte ini dinisbatkan kepada pemimpinnya, Nafi’ bin Al-Azraq bin Qays bin Al-Hanafi. Daerah kekuasaan Al-Azariqah terletak diperbatasan Irak dan Iran. Abd Al-Qahir bin Thahir bin Muhammad Al-Baghdadi, ibid., hlm. 56.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar