MAQAMAT DAN AHWAL
Dalam pembicaraan tentang tarekat sebagai perjalanan spiritual, kita tidak bisa mengabaikan dua istilah teknis yang sangat penting “maqamat” dan “ahwal”. Maqamat jamak dari “maqam”, yang berarti tahap-tahap perjalanan atau secara lebih populer diterjemahkan sebagai “stasiun”, tidak ubahnya seperti stasiun kereta api yang harus kita lalui sepanjang perjalanan, dari “titik start” kita sampai kepada “finish” sebagai tujuan akhir perjalanan. Adapun “ahwal” bentuk jamak dari “hal” biasanya diartikan sebagai keadaan mental (mental states) yang dialami oleh para sufi di sela-sela perjalanan spritualnya.
Sekalipun sama-sama dialami dan dicapai selama masa perjalanan spiritual seorang sufi menuju Tuhannya, namun menurut para sufi ada perbedaan yang mendasar antara “maqamat” dan “ahwal” ini baik dari cara mendapatkannya maupun pelangsungnya. Maqamat adalah tahap-tahap perjalanan spiritual yang dengan gigih diusahakn oleh para sufi untuk memperolehnya. Perjuangan ini pada hakekatnya merupakan perjuangan spiritual yang panjang dan melelahkan untuk melawan hawa nafsu, termasuk ego manusia, yang dipandang berhala terbesar-dan karena itu kendala menuju Tuhan. Kerasnya perjuangan spiritual ini misalnya dapat dilihat dari kenyataan bahwa seorang sufi kadang memerlukan waktu puluhan tahun hanya untuk bergeser dari satu stasiun ke stasiun yang lainnya. Sedangkan “ahwal” sering diperoleh secara spontan. Sedangkan “ahwal” sering diperoleh secara spontan sebagai hadiah dari Tuhan . di antara ahwal yang sering disebut adalah takut, syukur, rendah hati, takwa, ikhlas, gembira. Meskipun ada perbedaan di antara para penulis tasawuf, namun kebanyakan mereka mengatakan bahwa ahwal dialami secara spontan dan berlangsung sebentar diperoleh tidak berdasarkan usaha sadar dan perjuangan keras, seperti halnya pada maqamat, melainkan sebagai hadiah berupa kilatan-kilatan Ilahi (Divine Flashes), yang biasa disebut “lama’at”.
Selain soal cara memperoleh dan sifat keberlangsungannya, penting untuk menyinggung sifat pengalaman para sufi dalam pengalaman spritualnya menuju Tuhan, yang pada gilirannya akan memengaruhi jumlah maqamat dan susunannya, bahkan juga cara menyampaikan pengalaman spiritual dalam karya-karya mereka. Perbedaan jumlah, susunan atau modus penyampaiannya – seperti yang akan kita bahas satu per satu pada bab-bab sesudah ini – tidaklah sekali-kali menunjukkan ketidaknyataan pengalaman eksistensial seperti itu- yang memang bersifat subjektif.
Pengalaman subjektif terhadap, atau di dalam dunia spiritual yang objektif inilah kiranya yang telah menyebabkan deskripsi, nama dan urutan-urutan maqamat dari seorang sufi berbeda dari yang lainnya. Ada yang memulainya dengan maqam taubat dan mengakhirinya dengan makrifat, seperti al-Kalabadzi, ada juga yang memulainya dengan taubat dan mengakhirinya dengan ridha seperti Al-Ghazali. Demikian juga jumlah maqamat yang mereka lalui, ada yang menyebutnya 10 maqamat, 7 atau bahkan 6 maqamat. Demikian juga seperti yang digambarkan Ali Nadwi, ada yang menempuhnya seperti secepat kilat seperti burung Rajawail, ada yang lambat seperti semut (diwakili masing-masing oleh Rumi dan Farid al-Din ‘Aththar).
Demikian juga kalau kita baca naskah-naskah sufi, ada yang mengatakan bahwa ridha, misalnya sebagai “maqam” (al-Kalabadzi, al-Ghazali dan Qusyairi), ada juga yang menganggap sebagai “ahwal”, seperti yang diyakini misalnya oleh Abu Utsman al-Hiri. Selain perbedaan tersebut para sufi juga berbeda dalam hal pelangsungan dalam ahwal. Ada yang mengatakan bahwa “beberapa ahwal adalah seperti kilatan. Kalau itu dikatakan menetap, maka menurut seorang guru Al-Qusyari, itu sekadar omongan nafsu”. Tetapi di pihak lain, Abu Utsman al-Hiri justru mengatakan, “Jika hal tidak abadi dan tidak terdelegasikan, maka itu hanyalah kilatan. Dan pelakunya tidak sampai pada hal yang sebenarnya. Hanya apabila sifat tersebut menetap, maka itulah yang dinamakan hal. Sesungguhnya perbedaan persepsi terhadap baik maqamat maupun ahwal adalah akibat pengalaman subjektif masing-masing sufi dalam perjalanan spritualnya. Tidak ubahnya seperti serombongan turis yang mengunjungi sebuah kota juga akan memiliki persepsi dan deskripsi yang berbeda tentang kota itu. Perbedaan-perbedaan itu sama sekali tidak berarti bahwa pengalaman mereka itu halusinasi atau palsu dan menunjukkan ketidak-objektifan dunia yang mereka alami, dengan alasan yang sama bahwa kita tidak bisa begitu saja menolak realitas “kota” yang dikunjungi para turis hanya karena perbedaan yang terdapat dalam laporan masing-masing anggota rombongan tersebut tentang kota yang mereka kunjungi. Jadi, pengalaman spiritual para sufi bisa subjektif tetapi dunia sufi yang mereka alami tetaplah objektif dan real.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar