Ahli Sunnah dan Aliran Sesat
Pengertian Ahli Sunah
Term “Ahli Sunah” sebenarnya bukanlah suatu hal yang baru dalam Islam, bukan juga suatu term yang muncul seiring dengan kemunculan Abu Hasan al-Ash’ary di awal abad ke-4H. Term ini telah menjadi istilah populer di masa sahabat hingga masa-masa berikutnya. Ketika ayat al-Qura'an berbunyi
[1]يوم تبيض وجوه وتسود وجوه
“pada hari yang diwaktu itu ada muka yang putih berseri, dan ada pula muka yang hitam muram”, cAbdullah bin cAbbas, seorang sahabat yang terkenal cerdas memberikan penafsiran, bahwa yang dimaksud dengan wajahnya putih berseri-seri adalah Ahli Sunah sedangkan yang wajahnya hitam muram adalah Ahli bid’ah yang sesat[2].
Berdasarkan kutipan diatas, dapat difahami bahwa term ahli Sunah telah menjadi istilah populer dikalangan ulama salaf untuk menghadapi ahli bid’ah. Ayyub al-Sakhtiyany (67-31H), Sufyan al-Thawry (w.161H), al-Fadhl ibn cIyadh (w. 187 H) Abu cUbayd al-Qashim ibn Salam (158-224 H), dan Imam Ahmad ibn Hanbal adalah sederet tokoh-tokoh salaf yang senantiasa menggunakan term tersebut[3].
Pendapat yang mengatakan bahwa; term ahli Sunah waljamaah pertama kali diidentikkan kepada aliran al-Ashcariyyah masih perlu penyelidikan yang mendalam, sebagaimana disinyalir oleh Mushthafa Shakcah dalam bukunya “Islam bila madhahib”. al-Shakcah menegaskan:
“...Demikianlah kita mendapati term ahli Sunah waljamaah pertama kali diidentikkan kepada aliran al-Ashcariyyah dan yang sejalan dengannya, kemudian term ini diperluas jangkauannya sehingga mencakup tokoh-tokoh aliran Fuqaha semisal Abu Hanifah, Malik, al-Shafici, Ibn Hanbal, al-Awza’i, dan ahli ra’yi dan qiyas...”[4].
Pendapat Shakcah di atas perlu dicermati dan tidak bisa diterima begitu saja, sebab selain tokoh-tokoh yang disebutkan di atas hidup jauh sebelum Ashcari lahir, juga informasi sejarah menyatakan bahwa; setelah Ashcari sampai ke puncak faham Muktazilah, beliau menyempatkan diri menelaah dan merenungi ajaran-ajaran Ahli Sunah,[5] ini berarti bahwa istilah ahli Sunnah memang telah ada sebelum era al-Ash’ari.
Selama ini, ada beberapa pertanyaan yang sering muncul dan memerlukan jawaban yaitu; siapa dan bagaimana sesungguhnya aliran ahli Sunah waljamaah itu.? Apakah aliran ini identik dengan aliran al-Ashcariyyah.? Apabila Hadis Nabi menyangkut “perpecahan umat” menyatakan bahwa yang selamat adalah “al-jamacah”, siapa-siapa sesungguhnya yang berhak masuk dalam kategori al-jamacah tersebut?. Apakah hanya aliran al-Ashcariyah saja ataukah juga termasuk aliran-aliran yang lain?.
Secara etimologi, “al-Sunnah” berarti ‘cara’ atau ‘jalan’, sama halnya cara atau jalan itu benar atau salah, terpuji atau tercela[6]. Hadis Rasulullah dalam pengertian ini, adalah:
“sesiapa yang merintis suatu jalan kebaikan kemudian jalan itu diikuti oleh orang-orang sesudahnya, maka baginya pahala daripada kebaikan yang ia rintis, serta pahala daripada orang-orang yang mengikutinya sehingga hari kiamat tanpa dikurangi sedikit pun pahala orang-orang yang mengikutinya...[7].
Terminologi Sunnah mempunyai beberapa pengertian sesuai dengan disiplin ilmu yang memandangnya. Ulama Hadis misalnya, mengartikan sunnah sebagai segala tindak-tanduk Rasulullah baik berupa perkataan, perbuatan ataupun takrir beliau, demikian pula sifat-sifat kejadian (bentuk tubuhnya), akhlak maupun sejarahnya, sama halnya sebelum kenabian[8] maupun sesudahnya[9]. Sementara ulama Fiqh mendefinisikan Sunah sebagai suatu perbuatan yang apabila dikerjakan mendapat pahala dan bila ditinggalkan tidak mendapat dosa[10]. Sunah juga diidentikkan dengan segala sesuatu yang ditunjuk oleh dalil-dalil shar’i, baik al-Qur’an, Hadits maupun ijtihad para sahabat, seperti pengumpulan mushaf dan pembukuan al-Hadits...[11]. sebagaimana Hadits Rasulullah S.A.W. berbunyi:
عليكم بسنتى وسنة خلفائى الراشدين المهديين[12]
bermaksud “berpegang teguhlah pada sunahku dan sunah khalifah-khalifahku yang cerdas dan mendapat hidayah”. Sunah juga diidentikkan kepada hal-hal yang berlawanan dengan bid’ah. Dikatakan: Si Fulan berada pada Sunnah, apa bila aktifitasnya sesuai dengan prilaku Rasulullah, dan dikatakan si Fulan berada pada bid’ah apabila aktifitasnya bertentangan dengan al-Qur’an dan Hadits[13]
Demikianlah beberapa defenisi “Sunnah” dari berbagai tinjauan. Maka ketika kita membicarakan akidah ahli Sunah, maka tak syak lagi, bahwa yang dimaksud adalah akidah yang telah diajarkan oleh Rasulullah dan para sahabat-Nya. Oleh sebab itu, barang siapa yang berpegang teguh dan komitmen terhadap aqidah tersebut maka ia beraqidah “Ahli Sunnah “, dan hanya aqidah seperti inilah yang disepakati keabsahannya oleh majoriti umat Islam, sehingga kata “ahli Sunnah” dilengkapi dengan kata “al-jamaah” sesudahnya, menjadilah “Akidah ahli Sunah waljamaah”.
Ketika Hadis tentang perpecahan umat dibaca oleh semua aliran dalam Islam, ketika itu, tampillah masing-masing dari mereka mengklaim dirinya sebagai golongan selamat dan berhak memakai label ‘ahli Sunah waljamaah’. Ibn al-Muthahhar misalnya, dalam mengutip statement gurunya, Nasiruddin al-Tusy, tokoh aliran Syiah Imamiyyah, ketika beliau ditanya tentang al-firqah al-najiyah (Aliran yang selamat) sebagaimana yang termaktub dalam Hadis Nabi yang berbunyi:
ستفترق أمتى على ثلاثة وسبعين فرقة واحد منها ناجية والباقى فى النار[14]
Bermaksud “Umatku akan berpecah menjadi tujuh puluh tiga golongan, satu golongan daripadanya selamat dan yang lainnya di neraka”. Ketika itu al-Tusy menjawab dengan mengutip salah satu Hadits yang menurutnya sahih, yaitu:
Yang bermaksud: “Ahli baitku ibarat perahu Nabi Nuh, siapa yang menumpanginya maka dia akan selamat dan yang tidak menumpanginya akan tenggelam”. Hadis tersebut, menurut al-Tusy, memberi indikasi bahwa satu-satunya aliran yang selamat adalah aliran Syi’ah Imamiyyah.
Ibn Taymiyyah, salah seorang tokoh Salaf abad VII H. Dengan tegas menolak pernyataan al-Tusy di atas dalam bukunya Minhaj al-Sunnah. Ibn Taymiyyah dalam mematahkan argumen al-Tusy, meninjaunya dalam delapan aspek dan pada aspek kelima beliau menjelaskan bahwa Hadis Rasulullah s.a.w yang sesungguhnya membicarakan tentang ‘aliran selamat’ itu hanyalah berbunyi:
من كان على مثل ما أنا عليه اليوم وأصحابى
yang bermaksud “sesiapa yang berpegang teguh pada apa yang aku pegangi sekarang dengan para Sahabatku”. Dalam riwayat lain:الجماعة هم bermaksud: “Mereka itu adalah kelompok majoriti”. Bahkan menurut Ibn Taymiyyah, justru Hadits ini jugalah yang menolak eksistensi Syiah Imamiyyah sebagai aliran yang selamat. Sebab mereka dengan tegas keluar dari jalur yang disepakati kaum Muslimin, seperti: menganggap kafir atau fasik Abu Bakar dan Umar, demikian juga halnya kepada tokoh ulama dan orang-orang ahli ibadah daripada majoriti ummat Islam lainnya[16].
Adapun Hadis yang disebutkan oleh al-Tusy sebagai Hadis sahih di atas masih perlu ditinjau keabsahannya, sebab Imam al-Dhahaby[17] dan al-Bany[18] menganggapnya sebagai Hadith dha’if, karena konteks itu populer daripada ungkapan Imam Malik dengan konteks:
السنة مثل سفينة نوح من ركبها نجا ومن تخلف عنها غرق
“Sunnah itu bagaikan perahu Nabi Nuh, siapa saja yang menumpanginya pasti dia selamat dan siapa saja yang berpaling darinya maka dia pasti akan binasa”. Ibn Taymiyyah menjelaskan bahwa konteks ungkapan ini memang benar, sebab orang-orang yang menumpangi perahu Nabi Nuh a.s. hanyalah mereka yang membenarkan dan mengikuti kerasulan Nabi Nuh, sedangkan mereka yang enggan menaiki perahu tersebut adalah mereka yang menolak dan mendustakan kerasulan Nabi Nuh. Oleh sebab itu, mengikuti Sunnah, kata Ibn Taymiyyah, berarti mengakui kerasulan dengan segala konsekwensinya seperti halnya para penumpang perahu Nabi Nuh tersebut[19].
Selanjutnya, aliran Muktazilah juga mengklaim dirinya sebagai “ahl al-haq” dan tergolonng الفرقة الناجية (golongan yang selamat). Seorang tokoh terkemuka Muktazilah, cAmr ibn cUbayd berkata kepada khalifah al-Manshur: إظهر الحق يتبعك أهله bermaksud “tegakkanlah kebenaran niscaya ahli kebenaran itu akan mengikutimu.”[20]. Yang dia maksud dengan kata “أهله” (ahli kebenaran) disini adalah aliran Muktazilah dengan mengambil landasan daripada Hadis yang diriwayatkan oleh Sufyan al-Thawry daripada Ibn Zubayr daripada Jabir ibn cAbdullah daripada Nabi s.a.w, beliau berkata:
ستفترق أمتى على ثلاثة وسبعين فرقة أبرها وأتقاها الفئة المعتزلة[21]
Yang bermaksud “umatku akan berpecah menjadi tujuh puluh dua golongan, golongan yang paling baik dan bertaqwa daripada mereka adalah golongan muktazilah”.
Demikianlah upaya kaum Muktazilah untuk menjustifikasi pendapatnya. Sadar atau tidak, mereka melakukan dua perkara yang kontradiktif yaitu; mereka dengan tegas menolak kebolehan berhujjah dengan menggunakan Hadis-Hadis ahad menyangkut persoalan akidah, pada hal Hadis yang disebutkan diatas tidak ditemukan dalam kitab-kitab Hadis yang muktabar. Setidaknya jika seandainya Hadis tersebut memang benar tentu ia telah diriwayatkan oleh Bukhary dan Muslim, atau paling tidak disebutkan didalam kitab-kitab sunan yang lain. Itu sebabnya, Muhamad Bakraym mengatakan bahwa; “ekses keambisian kaum Muktazilah untuk menjustifikasi pendapat-pendapatnya, akhirnya mereka mengeksploitasi Hadis-hadis nabi selaras dengan keinginan hawa nafsunya, walaupun status Hadis tersebut telah disepakati oleh Imam al-Bukhary dan Muslim”[22].
Demikianlah kondisi objektif aliran-aliran dalam Islam, tidak satupun dari mereka yang ingin ketinggalan, kecuali tampil mengibarkan panji-panji fanatisme (ta’assub) sebagai pemilik autoritas kebenaran. Sebagai konsekwensi logis daripada fanatisme tersebut, teks-teks agama –al-Quran dan Hadis-- diselewengkan demi mempertahankan pendapatnya.
[1]Al-Qur’an, Ali Imran:106
[2]Al-Lalakai Sharh usul I’tiqad ahl al-Sunnah, vol I hal.72
[3]Ibid hal. 60-64. Ibn Jarir al-Tabari, Tahdhib al-athar, vol.11, hal.182 461. Juga Abu Ubayd al Qasim bin Salam, al-Imam, hal. 53. al-Imam Ahmad Ibn Hanbal, al-Sunnah, dalam Kitab (bab): al-Radd ala al- Jahmiyyah, hal. 33-34.
[4] Mustafa al-Shukah, Islam bila madhahib, hal.496
[5] Ahmad Amin, Zuhr al-Islam, Vol. IV, hal. 94.
[6] Ibn Manzur, Lisan al-Arab, vol. VIII, hal. 225.
[7] Hadis riwayat Muslim, Kitab al-zakah, No. Hadits 1017.
[8] seperti kontemplasinya di Gua Hira dan beberapa riwayat hidup beliau sebelum kenabian yang menjadi pendorong utama bagi mengikuti tindak tanduk perjuangan beliau.
[9] Muhammad Jamalaluddin al-Qasimi, Qawaid al-tahdith, hal.64
[10] Qasim al-Qunami, Anis al-fuqaha, hal. 106
[11] Mustafa al-Siba’i, al-Sunnah wa makanatuha fi al-tashri al-Islami, hal.47.
[12] al-Turmudhi, Sunan al-Turmudhi, Kitab al-ilmi , No. Hadits 2676
[13] al-Shatibi, al-Muwafaqat, vol. 4, hal. 3-4.
[14] Ibn al-Athir, al-Nihayah fi-Qharib al-Hadih, vol. VI, hal. 419.
[15] al-Shatibi, al-Muwafaqat, vol.4. hal.3-4.
[16] Ibn Taymiyyah, Minhaj al-Sunnah, vol III, hal.444-484.
[17] al-Mustadrak, vol. II, hal. 343.
[18] al-Jami al-saghir, vol. V hal. 137
[19] al-Khatib al-Baghdadi, Tarikh Baghdad, Vol. XII, hal. 168.
[20] Ibn al-Murtada, al-Munya wa al-amal, hal. 2-3.
[21] Ibid
[22] Muhamad Bakrayn, Wastiyyah ahl al-Sunnah, hal. 53.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar