Kondisi Objektif Sekitar Kemunculan al-Asy’ariyyah
Al-Asy’ari merupakan salah seorang pemikir yang muncul pada masa Islam mecapai puncak kemajuan dari segi dialektika pemikiran. Dia termasuk salah seorang mutakallim besar yang pernah dimiliki dunia Islam. Kebesaran tokoh ini terbukti dari mayoritas umat Islam di dunia, termasuk di Indonesia
dan Malaysia, adalah penganut faham al-Asy’ariyyah, terutama yang bermazhab Syafii. Al-Asy’ari mulanya adalah seorang tokoh penting di kalangan Muktazilah. Ia memperoleh latihan intelektual di bawah “gemblengan” seorang tokoh Muktazilah dizamannya, yaitu Abu> ‘Ali al-Jubba>i. Bahkan kualitasnya sebagai kader Muktazilah telah teruji antara lain dengan kepercayaan yang dilimpahkan oleh al-Jubba>i kepadanya, untuk mewakili sang guru beradu argumenasi dengan lawan-lawan debatnya.
Sebutan “al-Asy’ariyyah”, dinisbahkan kepada salah seorang sahabat Nabi, yaitu Abu> Mu>sa al-Asy’ari. ([1]) Nama dan nasab yang lengkap dari pendiri aliran ini ialah: Abu> al-Hasan Ali Ibn Isma>il ibn Abi> Bishr Isha>q ibn Sa>lim ibn Isma>il ibn ‘Abdillah bin Mu>sa ibn Bila>l ibn Abi Burdah ‘A>mir ibn Abu> Mu>sa al-Asy’ari([2]) Beliau lahir di Basrah pada tahun 260 H, dan wafat di Bagdad pada tahun 324 H. ([3])
Abu> al-Hasan Al-Asy’ari pada mulanya belajar membaca, menulis dan menghafal al-Qur’an dalam asuhan orang tuanya, yang kemudian meninggal dunia ketika ia masih kecil. Selanjutnya dia belajar kepada ulama Hadis, fikih, tafsir dan bahasa antara lain kepada al-Sa>ji>, Abu> Khalafah al-Jumhi>, Sahl Ibn Nuh, Muhammad Ibn Ya’qu>b, ‘Abd Rahma>n Ibn Khayr dan lain-lain. ([4]) Demikian juga ia belajar fikih Syafii kepada seorang Faqih, Abu> Isha>q al-Mawardi (w.340 H), ([5]) seorang tokoh Muktazilah di Basrah Sampai umur empat puluh tahun ia masih merupakan seorang penganut Muktazilah.[6] Al-Asy’ari berguru kepada Abu> ‘Ali al-Jubba>i (w.303H), seorang tokoh terkenal Muktazilah. Dia sering menggantikan gurunya dalam mengajar[7] Tetapi, sewaktu dalam usia kematangan berpikir, dia mengalami konversi. Dia meninggalkan faham Muktazilah dan berbalik menyerangnya dengan alat yang digunakan aliran itu sendiri, dan menetapkan faham baru yang dianutnya.
Dalam sejarah, Muktazilah pernah mengalami dua kali masa kejayaan, yaitu pada masa dinasti Abbasiyyah (198-232 H.) dan pada masa dinasti Buwayh (334-447H.), karena adanya dukungan pihak penguasa. Tetapi setelah dukungan politik tidak diperoleh lagi, dan Muktazilah semakin terdesak oleh kaum Asy’ariyyah, aliran yang lahir di bawah pundaknya sendiri, maka Muktazilah terpaksa menjalin perhubungan dengan pihak Syiah. Pada masa-masa terakhir, ajaran-ajaran Muktazilah hanya dikenal melalui ajaran-ajaran Syiah yang memang banyak mengadopsi doktrin-doktrinnya, terutama di kalangan Syiah Zaydiyyah.
Meskipun metodologi rasional sangat dominan dikalangan Muktazilah, namun sebagai pakar teologi Islam, para tokoh-tokohnya juga tidak melupakan teks-teks wahyu, al-Qur’an dan Hadis, dalam memformulasikan pendapat-pendapatnya. al-Qur’an dan Hadis adalah sumber utama dari pokok-pokok kepercayaan yang mereka yakini kebenarannya. Hanya saja, sesuai dengan metodologi rasional yang mereka pegang teguh, yang sangat menjunjung tinggi kemampuan akal, ayat-ayat al-Qur’an yang sesuai dan dapat diterima akal, mereka jadikan sebagai pendukung pendapat-pendapat mereka; sedangkan yang tidak demikian, mereka berusaha menafsirkannya secara metaforis bahkan melewatkannya begitu saja. ([8])
Begitu pula terhadap Hadis-hadis yang sesuai dengan pendapat akal diterima, tetapi yang dianggap tidak sesuai maka mereka takwilkan, bahkan ditolak sebagian Hadis meskipun dianggap Hadis sahih oleh pakar Hadis. ([9]) Jadi, metodologi rasional yang dipergunakan oleh Muktazilah ini adalah metodologi yang menganggap rasio sebagai alat yang dominan, sehingga teks-teks wahyu harus diterima secara rasional, dan keyakinan orang terhadap kebenaran materi akidah mesti didasarkan atas pengetahuan rasional.
Metodologi berfikir rasional yang dipergunakan oleh kaum Muktazilah, sebagaimana disebutkan di atas, mendapat reaksi keras dari orang-orang yang menamakan diri mereka dengan “Sa1afiyyin”, pengikut aliran Salaf dalam akidah. ([10]) Menurut Abu Zahrah, aliran Salafiyyah baru diformulasikan pada abad ke-4 H., tanpa menyebutkan siapa yang melaksanakan hal itu. Hanya saja dia menjelaskan bahwa golongan Salafiyyah berasal dari kalangan Hana>bilah, yaitu para pengikut Ahmad ibn Hanbal (w.241H/855 M.). Selanjutnya pada abad ke-7 H, aliran Salafiyyah diformulasikan secara lengkap oleh Ibn Taymiyyah (w.729 H/1329 M.), ([11]) lebih dua abad sesudah al-Ghaza>li (w. 505 H/1111 M.).
Pendukung utama golongan Salafiyyah adalah dari kalangan tokoh-tokoh ahli Hadis, karena sesuai dengan ketekunan mereka dalam menjaga kelestarian Hadis dari satu generasi ke generasai berikutnya. Tradisi para sahabat Nabi dalam memahami dan memformulasikan pendapat-pendapat mereka di sekitar akidah, merupakan salah satu yang mereka lestarikan itu. Karena itu, metodologi yang dipergunakan dalam aliran ini ialah metodologi tekstual, dengan berpegang kepada teks-teks wahyu yang diterima, serta bersikap hati-hati terhadap rasionalisasi yang mendalam terhadap masalah-masalah yang berkaitan dengan akidah. ([12])
Tokoh populer aliran ini ialah Ahmad ibn Hanbal, seorang ahli Hadis dan juga pendiri mazhab Hanbali dibidang Fikih. Kepopulerannya sebagai tokoh Salafiyyah, yang juga menamakan diri sebagai ahli Sunnah, adalah karena penderitaannya yang tak terhingga dalam peristiwa “mihnah”, yang dilaksanakan oleh Khalifah al-Makmun (198-218 H.), yang memaksa para ulama waktu itu untuk meyakini kebenaran salah satu doktrin Muktazilah tentang kemakhlukan al-Qur’an. ([13])
Sebenarnya semua pendiri mazhab fikih dapat dikatakan sebagai tokoh Salafiyyah karena di antara mereka sudah ada yang menyerang ulama Kalam karena banyak mempergunakan metodologi rasional, mereka adalah; Jahmiyyah (pengikut Jahm ibn Safwan), Qadariyyah (pengikut faham kebebasan manusia) dan Zana>diqah (orang-orang Zindi>q). Misalnya, Ahmad ibn Hanbal (w. 150 H.) dengan karyanya: Kitab al-radd ‘ala> al-Jahmiyyah wa al-Zana>diqah, al-Bukha>ry (w. 256 H.) dengan karyanya Kitab af’a>l al-‘Iba>d dan al-radd ‘ala> al-Jahmiyyah([14]), dan Malik Ibn Anas (w.179H.) dengan kitabnya Risa>lat fi> al-radd ‘ala al-Qadariyyah ([15]) Begitu juga dengan tokoh tokoh fikih yang lain seperti al-Sya>fii, (w.204H.), Sufya>n at-t}auri (w.161H.), dan al-Awza>’i (w.157H.). Mereka adalah terdiri daripada tokoh-tokoh Salaf. Adapun yang dimaksud dengan Jahmiyyah dan Qadariyyah, yang menjadi sasaran kritik mereka, ialah aliran Muktazilah. ([16])
Memang, dari segi metodologi, Salafiyyah berbeda secara diametral dengan Muktazilah. Kalau yang disebutkan terakhir ini mengutamakan metodologi rasional, sehingga naqal harus tunduk di bawah akal. Sedangkan Salafiyyah mempergunakan metodologi tekstual, yang mengharuskan akal tunduk di bawah naqal.
Namun demikian, dalam penerapannya di kalangan tokoh-tokoh aliran ini sendiri, metodologi ini tidak selalu membuahkan hasil yang sama. Hal ini disebabkan mereka tidak luput dari pengaruh situasi kultural dan struktural pada masanya. Dalam sejarah, di kalangan Salafiyyah terdapat orang-orang yang disebut sebagai: al-Hasyawiyyah, yang cenderung kepada antropomorfisme dalam memformulasikan sifat-sifat Tuhan; al-Kulla>biyyah, para pengikut ibn Kulla>b (w.240H/842M.), seorang tokoh Salaf yang terbawa arus Filsafat;([17]) dan ada beberapa tokoh Salaf yang menuduh tokoh Salaf lainnya sebagai bukan termasuk penganut Salafiyyah. ([18]) Karena itulah, Ibn Taymiyyah, yang dianggap oleh para penganut Salafiyyah di belakang hari, seorang perumus terpercaya Salafiyyah, telah berusaha memisah-misahkan mereka yang berbeda itu dengan menuduh mereka yang tidak sefaham dengannya sebagai bukan penganut Salafiyyah, Ibn Taymiyyah mengeluarkan Hasyawiyyah dari golongan Salafiyyah.([19])
Istilah al-Hashw, al-Tasybi>h, dan al-Tajsi>m merupakan tiga terminologi yang pengertiannya hampir sama. Hasyawiyyah, yang terdiri dari beberapa ahli Hadis yang berpendapat bahwa ayat-ayat al-Qur'an dan Hadis-Hadis yang bersifat mutasya>biha>t ([20]) harus difahami menurut pengertian harfiahnya. Akibatnya, ada kesan bahwa Tuhan mempunyai sifat-sifat seperti: bertangan, bermuka, bermata, datang, turun, marah, senang, dan sebagainya. Adapun al-Musyabihah di kalangan Syiah menggambarkan Tuhan mempunyai kesamaan dengan manusia. Keduanya menjadi bertemu dalam al-Tajsi>m. al-Mujassimah adalah penggambaran Tuhan pasti berjasad seperti manusia, bertempat dan beranggota tubuh badan, seperti tersebut di dalam al-Qura>n dan al-Hadi>s} yang dimengerti secara harfiah ([21])
Menurut al-Syahrsta>ni>, munculnya faham “Tasybih” dan ‘Tajsim’ di kalangan Hasyawiyyah berkaitan erat dengan munculnya Hadis-hadis palsu yang banyak diadopsi dari sumber agama Yahudi, yang bertendensi menggambarkan adanya keserupaan atau kesamaan Tuhan dengan makhluk-Nya. jika pendapat ini benar, berarti penggunaan metodologi tekstual seperti yang dilakukan oleh Hasywiyyah telah dipengaruhi oleh unsur-unsur bukan Islam (Yahudi), sehingga boleh membawa kepada faham yang menyerupakan Tuhan dengan makhluk-Nya. ([22])
Ibn Kulla>b pula adalah seorang tokoh Salaf yang hidup semasa dengan Ahmad ibn Hanbal, dan memihak kepadanya dalam peristiwa “mihnah”. Tetapi kemudian Ahmad ibn Hanbal memisahkannya bersama orang-orang yang sefaham dengan Ibn Kulla>b, dari kalangan Salaf, karena dianggap telah terpengaruh dengan pemikiran Filsafat, yang sangat ditentang oleh Salaf. ([23]) Ibn Kulla>b memang sudah mulai menganalisis masalah sifat dan zat Tuhan, sehingga dia berpendapat bahwa sifat Tuhan bukan zat-Nya dan tidak pula sesuatu yang lain dari zat-Nya. ([24]) Pendapat ini kemudian diambil alih oleh Al-Asy’ari (w. 324 H.) dalam teologinya. Terbawanya Ibn Kulla>b oleh arus pemikiran Filsafat, meskipun sangat sedikit, disebabkan dia sempat berdebat dengan tokoh-tokoh Muktazilah, yang mempergunakan metodologi rasional. Dalam masalah sifat fawqiyyah (Tuhan berada di atas), Ibn Kulla>b dapat menewaskan argumen lawannya yang menolak sifat tersebut, dengan menggunakan argumen rasional, sebagaimana yang digunakan oleh tokoh-tokoh Muktazilah.
Kemampuan dan keberhasilan Ibn Kulla>b dalam perdebatan itu mendapat pujian dari Ibn Taymiyyah, namun ibn Taymiyyah tetap menganggap Ibn Kulla>b sebagai seorang “revisionis” di kalangan Salaf, bahkan dianggap berada di luar garis kebenaran. ([25]) Sebenarnya, bukan saja Ibn Kulla>b yang terpengaruh pemikiran Filsafat, tetapi Ibn Hazm (w. 456 H/1064 M.), seorang tokoh Salaf dari Spanyol, juga mempergunakan hasil pemikiran Filsafat dalam teologinya. Pada waktu menjelaskan sifat tanzih (transendensi) Tuhan, Ibn Hazm menulis antara lain bahwa Tuhan bukan jisim, bukan jawhar (substansi), bukan carad\ (aksiden), bukan ‘adad (angka), bukan jenis, bukan bahagian, bukan gerak, bukan diam, dan seterusnya. ([26]) Semua yang dinafikan itu adalah terminologi-terminologi Filsafat yang berasal daripada Yunani, yang tidak dikenal oleh umat Islam periode pertama yang disebut Salaf. Dengan demikian, penggunaan metodologi tekstual, yang dipegang teguh oleh Salaf, pada sebagian tokohnya juga dipengaruhi oleh pemikiran Filsafat yang banyak dipergunakan oleh kalangan aliran yang mempergunakan metodologi rasional.
Kebangkitan tokoh-tokoh Salaf dengan metodologi tekstualnya adalah merupakan refleksi dari pemakaian metodologi rasional oleh kaum Muktazilah, yang dengan berani mempergunakan akal dalam mentakwilkan ayat-ayat al-Qur'an yang dianggap tidak rasional, terutama ayat-ayat yang disebut “mutasya>biha>t”. Ahmad ibn Hanbal dan sejumlah tokoh-tokoh Salaf mempertahankan metodologi tekstual dalam masalah ini, yaitu mempercayai apa yang diungkapkan oleh al-Qur'an dan al-Hadis tanpa mentakwilkannya, dengan dasar persepsi bahwa Tuhan sama sekali berbeda dari segala sesuatu yang terbayang dalam benak orang, karena semuanya itu adalah makhluk-Nya belaka. Karena itu, kritikan tajam Salaf terhadap Muktazilah terpokus di sekitar ini, yakni mentakwilkan ayat-ayat al-Qur'an dan Hadis dengan rasio, sehingga terkesan menundukkan wahyu di bawah status akal. ([27])
Namun demikian, menurut al-Gaza>li, Ahmad ibn Hanbal meskipun menutup rapat terhadap pentakwilan teks wahyu oleh akal, juga pernah mentakwilkan tiga buah Hadis secara rasional.([28]) Begitu juga Ibn Hazm pernah mentakwilkan ayat mutasya>biha>t secara rasional, yaitu terhadap kalimat “wajh” (muka) Tuhan, yang tersebut dalam surah al-Rahma>n ayat 27. Dia mentakwilkan kata wajh dengan zat Tuhan, karena adanya faktor rasional dan sensual yang membolehkan pentakwilan tersebut. Memang Ibn Hazm tidak seketat tokoh-tokoh Salaf lain dalam masalah takwil ini. ([29]) Dengan demikian, meskipun golongan Salaf dianggap sebagai kaum tekstualis, dalam metodologi pemikiran, sebagian tokohnya, ada juga yang menyerap pemikiran Filsafat yang ditemui di dalam masyarakat, dan ada juga menggunakan pentakwilan terhadap teks-teks wahyu, sebagaimana berlaku di dalam metodologi rasional, meskipun kadarnya hanya sedikit.
Selain itu, tokoh-tokoh Salaf juga banyak terlibat dalam perdebatan dengan lawan-lawan mereka, sehingga metodologi dialektik juga berkembang di kalangan mereka.([30]) Misalnya, Ahmad Ibn Hanbal juga terlibat dalam perdebatan dengan Muhammad ibn Abi> Dua>d (w. 240 H.), seorang tokoh Muktazilah yang menjadi pioner dalam peristiwa “mihnah” tentang “kemakhlukan” al-Qur’an, di mana Ahmad ibn Hanbal tetap kokoh berpegang dengan metodologi tekstual.([31]) Kemudian, ‘Abd al-‘Azi>z al-Makki, seorang ahli debat Salafiyyah terkenal, juga terlibat dalam perdebatannya dengan Bishr al-Ma>risi (w. 218 H.), seorang tokoh Muktazilah, dalam suatu forum yang dihadiri oleh khali>fah al-Ma’mu>n (w.218 H.) tentang pelbagai masalah akidah, terutama mengenai “kemakhlukan” al-Qur'an, sifat Tuhan, dan sebagainya. ([32]) Menurut Mustafa Hilmi, dalam perdebatan itu al-Makki dapat menewaskan lawannya dengan mempergunakan argumen tekstual dan rasional, dengan suatu dasar perdebatan yang sudah disepakati sebelumnya, sehingga al-Makmun langsung memuji kehebatan al-Makki. ([33])
Bersamaan dengan itu, timbul pula dalam Islam dua aliran teologi yang terkenal dengan nama Qadariyyah dan Jabariyyah. Menurut Qadariyyah, manusia mempunyai kemerdekaan dalam kehendak dan perbuatannya yang disebut sebagai free will dan ftee act. ([34])Jabariyyah, sebaliknya, berpendapat bahwa manusia tidak mempunyai kemerdekaan dalam kehendak dan perbuatannya. Manusia dalam segala tingkah lakunya, menurut faham Jabariyyah, bartindak dengan paksaan dari Allah. Segala gerakan yang dilakukan oleh manusia ditentukan oleh Allah. Faham inilah yang disebut faham predestination atau fatalism. ([35])
Pandangan-pandangan Qadariyyah yang diperkuat oleh sistem teologi Muktazilah dengan pendekatan rasional di samping nas-nas al-Qur'an nampaknya berkembang berdasarkan kenyataan yang terjadi baik ditengah masyarakat Islam maupun masyarakat bukan Islam. Interaksi kebudayaan dan pemikiran (Filsafat) yang terjadi antara masyarakat Islam dengan kalangan bukan Islam semakin tinggi intensitasnya, sehingga persoalan-persoalan yang dihadapi umat Islam semakin kompleks pula. Persoalan-persoalan Filsafat yang berkenaan dengan eksistensi manusia dari alam fikiran Yunani menggugat pokok-pokok keyakinan Islam tentang sifat-sifat Allah yang mempunyai kaitan dengan alam semesta dan segala kebaruan yang terdapat di dalamnya, seperti tahu (‘Ilm), kemauan (ira>dah), kuasa (qudrah), sabda (kala>m), mendengar (sama’), dan melihat (bas}ar).
Fakta sejarah menunjukkan, sejak pertengahan abad kedua Hijrah atau akhir abad kelapan Masehi, pokok-pokok keyakinan dalam Islam itu mendapat tentangan yang amat berat dan sukar dicarikan penyelesaiannya. Yang pertama menghadapi tentangan itu dan berusaha menjawabnya adalah kelompok Muktazilah. ([36]) Pemikiran Filsafat Yunani yang dihadapi itu tidak dapat dijawab dengan hanya menunjuk nas al-Qur'an dan Hadis. Muktazilah berusaha menjawabnya dengan pendekatan rasional dan filosofis dengan berlandaskan pada nas-nas yang ada. Dengan kegiatan semacam itu, Ahmad Amin berpendapat bahwa mereka mempunyai peranan yang amat besar dalam melawan pendapat-pendapat yang menolak keyakinan Islam. ([37])
Muktazilah merupakan kelompok yang pertama kali mengembangkan Filsafat Yunani, yang telah disaring melalui proses “Islamisasi”, ([38]) yang pada gilirannya mendorong tumbuhnya ilmu kalam dalam Islam. Filsafat Yunani setelah 'diislamkan' digunakan oleh Muktazilah untuk menangkis serangan-serangan terhadap Islam. Selain itu, banyak pula orang Yahudi, Nasrani, Majusi, Hindu, dan Ateis yang baru memeluk Islam; sementara fikiran-fikiran mereka masih tetap dipengaruhi oleh agama dan kepercayaan mereka yang lama. Orang-orang yang baru Islam ini kemudian membawa persoalan-persoalan yang pernah timbul dalam agama mereka ke dalam Islam, misalnya sikap fatalistis pada agama Hindu dan Budha. Untuk menjawab semua persoalan itu, kelompok Muktazilah tampil dengan menggunakan pendekatan rasional yang merupakan interpretasi mereka terhadap nas-nas al-Qur'an. Mengingat usaha-usaha Muktazilah itu, tidak berlebihan jika Ahmad Amin menyatakan, hanyalah Allah yang mengetahui bahaya apa yang akan menimpa umat Islam ketika itu, sekiranya kaum Muktazilah tidak tampil membela Islam. ([39])
Runtuhnya Muktazilah setelah berkembang demikian pesat, sehingga menjadi aliran teologi resmi, dan memberikan semangat yang cukup penting dalam kejayaan Islam pada masa-masa awal daulat Abbasiyyah([40]) merupakan suatu ironi dan tragedi sejarah. Muktazilah, yang berpegang pada faham Qadariyyah dengan kebebasan memilih, berkehendak, dan melakukan perbuatan, justeru ketika berada pada puncak kejayaannya melalui khalifah al-Ma’mu>n (198 H/813 M) dan al-Mu’tasim Billah (218 W833 M) memaksakan ajaran-ajarannya untuk diterima oleh seluruh umat Islam. Pada masa kekhalifahan itulah dimulai mihnah([41]) yang merupakan awal tumbuhnya kebencian dan dendam dari kalangan umat Islam yang tidak setuju dengan Muktazilah.[42]
Ketika al-Mutawakkil berkuasa sebagai khalifah (232 H./847 M.), bermulalah masa-masa suram Muktazilah. Pemimpin-pemimpin pemerintah, ulama, dan intelektual dari kalangan Muktazilah dipecat dari kedudukannya dan dilarang mengajarkan faham Muktazilah. Khalifah Mu’tazid billah (279 H./892 M.) dengan legitimasi ajaran Jabariyyah, bahwa kekuasaan dan segala tindakannya merupakan ketentuan Tuhan, dengan ganas memburu-buru golongan Muktazilah sehingga sampai mereka terusir dari Baghdad. Muktazilah dinyatakan sebagai bid’ah dan suatu Dewan Ahli Hukum dibentuk untuk meneliti semua faham, aliran, dan buku-buku yang ada. Buku-buku yang ‘berbau’ Muktazilah dimusnahkan, sedangkan pengarangnya ditangkap atau dibunuh.([43]) Inilah tragedi dan ironi sejarah yang dilukiskan oleh Ahmad Amin, sebagai malapetaka terbesar yang menimpa umat Islam yakni dengan lenyapnya Muktazilah. ([44])
Pada masa-masa keruntuhan Muktazilah itulah Al-Asy’ari keluar dari Muktazilah dan mendirikan sistem teologinya sendiri. Sesuai dengan kecenderungan sebagian besar masyarakat Islam yang tidak menyenangi Muktazilah, sementara belum ada suatu sistem teologi yang teratur untuk menggantikannya, kelihatan mendorong Al-Asy’ari pula untuk membentuk teologi baru yang dapat dijadikan pegangan. Di samping itu, pertentangan metodologis yang tajam antara kedua aliran kalam tersebut di atas, Muktazilah dan Salafiyyah, dapat pula mematangkan kelahiran suatu aliran yang mempunyai metodologi yang moderat dalam pemikirannya, yaitu al-Asy’ariyyah.
[1] Jadi, al-Asy’ari adalah cucu dari Abu Musa al-Asy’ari, yang pernah menjadi delegasi dalam majlis tahkirn dengan delegasi Mu’awiyah di Dawmat al-Jandal. Karena kelicikan Amr ibn al-‘As , maka Abu Musa al-Asy’ari bersedia menjadi wakil Dari keluarga Muhammad. Sedangkan ‘Amr bin al-‘As sendiri bertindak mewakili pihak Muawiyah. Amr ibn al-Ash ketika itu meyakinkan Abu Musa al-Asy’ari dengan berkata: untuk kesejahteraan orang Islam, maka perlu menyingkirkan Ali dan Muawiyah, kemudian mengangkat orang lain menjadi pemimpin Islam. Tipuan itu berhasil; Abu Musa al-Asy’ari naik mimbar dan dengan suara, bersungguh-sungguh mengumumkan pemecatan Ali. Sesudah pengumuman itu ia turun dengan wajah yang berseri-seri, karena menganggap bahwa dia, telah melakukan suatu perbuatan yang baik dan mulia. Lalu kemudian, Amr bin al-Ash dengan senyum naik ke mimbar yang ditinggalkan oleh Abu Musa tersebut. Setelah di atas mimbar, Amr bin al-Ash mengumumkan bahwa ia menerima, pemecatan Ali serta mengangkat Muawiyah sebagai gantinya. Mendengar hal itu, Abu Musa, yang malang itu, tercengang; tapi penipuan itu terlalu jelas dan kaum Fatimah menolak keputusan tersebut sebagai keputusan yang sah. al-Tabari, 1963, Tarikh al-Tabari, Jil. 5, hal. 7; Imam Munawir, 1985, Mengenal pribadi 30 pendekar dan pemikir Islam dari masa ke masa; Surabaya: Bina 11mu, hal. 206-207.
[8] Sebagai contoh, Ibn Hazm menunjuk mengenai masalah shafa’at di hari kiamat. Ibn Hazm, al-Fisal fi al-milal wa al-nihal, Jil. 4, hal. 53.
[9] Ahmad Amin, Zuhr al-Islam, hal. 21-22; al-Ghurabi, Tarikh al-firaq, hal. 237; lbrahim Madkur, Fi al-falsafah al -Islamiyyah, hal. 37.
[10] Secara etimologi, Salaf berarti: telah berlalu (salafa) atau terdahulu (salaf al-qawm). Lihat Louis Ma'luf, al-Munjid fi al-lughah, hal. 346. Secara terminologi, golongan Salaf ialah: mereka yang berpegang teguh kepada athar (hadis), lebih mengutamakan riwayah daripada dirayah, dan mengutamakan naql (wahyu) daripada akal. Mereka menganggap golongannya sebagai ahli Sunah waljamaah, karena faham akidah mereka dianggap orginal dari ajaran Islam yang dibawa Nabi Muhammad s.a.w. sebagaimana yang diterima oleh umat Islam pertama. Ibrahim Madkur, Ibid, hal. 30.
[16] Disebut Jahmiyyah karena menafikan sifat-sifat Tuhan; dan disebut Qadariyyah karena pendukung faham kebebasan manusia.
[17] Jalal Musa, Nash’at al-Asy’ariyyah, hal. 86-87; al-Shahrustani, al-Milal, hal. 105; Ibrahim Madkur, Fi al-falsafah al-Islamiyyah, hal. 32. Abu Zahrah, Tarikh al-madhahib, hal. 235-236.
[19] Mustafa Hilmi, al-Salafiyyah, hal.168. Tetapi ada pula sebuah tesis yang menyoroti ke-salaf-an Ibn Taymiyyah, yang berkesimpulan bahwa Ibn Taymiyyah bukan seorang penganut Salafiyyah. Mansur Muhammad Muhammad Uways, 1970, Ibn Taymiyyah lays al-Salafiyyah, Bayrut: Dar al-Nahdah al-cArabiyyah, 1970.
[20] Ayat-ayat mutashabihat ialah ayat-ayat yang sukar dijelaskan karena ada kesamaannya dengan yang lain, baik dari segi lafaz maupun dari segi makna. al-Raghib al-Asfahani, t.th., al-Mufradat fi Gharib al-Qur'an, Masr: Mustafa al-Babi al-Halabi, hal. 254.
[28] a1-Ghazali, Ihya ‘ulum al-din, Jil. 1, hal. 179. Tetapi pernyataan al-Ghazali ini, yang katanya didengar dari pengikut Ahmad ibn Hanbal di Baghdad, ditolak oleh Ibn Taymiyyah karena tidak ada sanadnya. Ibn Taymiyyah, Sharh Hadith al-nuzul, hal. 55. Muhammad Husni al-Zayn, Mantiq ibn Taymiyyah wa manhajuh al-fikr, hal. 298.
[30] Dalam uraian terdahulu telah disebutkan tentang adanya perdebatan antara Ibn Kullab dengan seorang tokoh Muktazilah mengenai sifat 'fawqiyyah" Tuhan, di mana tokoh Salafiyyah ini mempergunakan argumen-argumen rasional di samping argumen tekstual untuk mematahkan argumen lawannya. Mustafa Hilmi, a1-Sa1afiyyah hal. 169.
[38] Ajaran Muktazilah pertama kali berkembang di Basrah atau tepatnya daerah ‘Iraq yang merupakan tempat pertemuan Islam dengan kebudayaan-kebudayaan besar dunia, seperti Yunani, Persia, India, dan Cina. Karenanya, struktur kebudayaan masyarakatnya jauh lebih kompleks dibandingkan dengan tanah Hijaz tempat kelahiran Islam. Di samping itu, ‘Iraq jauh dari tempat sahabat-sahabat utama berkumpul sehingga hadis juga sedikit berkembang di sini. Karena semuanya itu, pengembangan dan penerapan hukum Islam di daerah ini lebih banyak menggunakan pendekatan aqliyyah di samping al-Qur'an dan al-Hadis, seperti dilakukan oleh Imam Abu Hanifah. Selanjutnya, di ‘Iraq dan sekitarnya inilah pertama kali fikiran falsafah dan tamaddun lain itu berinteraksi dengan fikiran Islam. Di sinilah terjadi proses “Islamisasi” pemikiran dari luar tersebut. Bagian-bagian tertentu dari pemikiran falsafah tersebut disaring dan disesuaikan dengan ajaran Islam sehingga menjadi milik Islam. Husein Nasr, 1968, Science and civilization in Islam, hal. 30; Muhammad Iqbal, Membangun kembali fikiran agama dalam Islam, hal. 123-174. Zuhd Jar Allah, 1974, al-Mu’tazilah, hal. 162; Ibrahim Madkur, Fi al-falsafah al-Islamiyyah, hal. 36-37.
[40] Aliran Muktazilah dengan cepat berkembang di seluruh dunia Islam mulai pada masa Khalifah Abu Ja’far al-Mansur. Para khalifah Abbasiyah sampai al-Mu’tasim Billah menyatakan Muktazilah sebagai mazhab teologi resmi. Setelah lumpuhnya Muktazilah di Baghdad, Muktazilah pindah ke Afrika dan menjadi anutan Dawlat Bani ldris dan Dawlat al-Fatimiyyah. Syed Ameer Ali, 1978, Api Islam, hal. 168.
[41] Mihnah adalah semacam pemeriksaan (screening) atau lebih tepat pengadilan untuk memeriksa keyakinan teologis yang dianut oleh setiap pemimpin pemerintah, kaum ulama dan para intelektual Muslim. Mereka yang berbeda pendapat dengan Muktazilah dipecat, dipenjarakan, dan bahkan ada yang dihukum mati. Ahmad Amin, Duha al-Islam, hal. 168.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar