Konsep al-kasb
Manusia atau dalam bahasa Arab al-nās atau al-insān menurut ajaran Islam adalah makhluk terbaik ciptaan Allah.([1]) la merupakan makhluk termulia dibandingkan makhluk atau wujud lain yang terdapat di jagat raya ini. Allah menganugerahkan
keutamaan kepada manusia sebagai pembedanya dengan makhluk lain. Dengan keutamaan itulah manusia, berhak mendapatkan penghormatan daripada makhluk-makhluk lainnya. Sebagai makhluk utama dan ciptaan Allah yang terbaik, manusia diberi tugas menjadi khalifa atau wakil Allah di muka bumi. ([2]) Manusia hidup dan berkembang di bumi dan ditugaskan untuk memakmurkannya. ([3])
Begitu pentingnya kedudukan manusia dalam Islam, sehingga al-Qur’an mengulang-ulang perkataan insa>n sebanyak 65 kali. Penyebutan kata insān dalam al-Qur’an biasanya dalam konteks keduniaan, meskipun bukan tidak ada dalam konteks keakhiratan.([4]) Pada wahyu pertama saja, kata insān itu disebutkan tiga kali. ([5]) Pada wahyu pertama pula dijelaskan oleh Allah akan hakikat insa>n. Secara lebih terperinci diungkapkan proses penciptaan insān agar manusia dapat mengambil hikmah darinya([6]) dan agar dengan kesadaran akan potensinya itu ia dapat berhasil dalam pengembaraannya di muka bumi. ([7]) mengingat tanggung jawab manusia yang sangat berat yang makhluk lain tidak berani memikulnya. ([8])
Manusia pada dasarnya merupakan makhluk teomorfis. ([9]) Artinya, di balik kelemahan dan keterbatasannya, manusia mempunyai "sesuatu" dalam dirinya, yaitu sifat-sifat ketuhanan. Hal ini tidak berarti pemanusiaan Allah, karena zat Allah tetap kekal. Berbeda dengan manusia yang berubah dan tidak abadi. Bahkan, menurut Nasr, dalam tradisi Allah menciptakan Adam, manusia pertama itu merupakan cerminan yang memantulkan nama dan sifatnya secara sadar. Ada sesuatu yang suci (malakūt) di dalam diri manusia. [10] Keadaan manusia seperti itulah yang memungkinkannya menjadi lebih mulia daripada malaikat. Bahkan, sampai pada batas-batas tertentu ia dapat memiliki sifat ke-Tuhan-an dalam kadar yang tinggi. sesebaliknya, pada masa yang sama pula, dengan sifat kemanusiaannya yang dipengaruhi hawa nafsu, ia dapat menjadi "iblis" dan lebih hina daripada binatang, dan dikutuk oleh Allah karena pendurhakaannya.([11])
Islam memberikan keabsahan kepada manusia sebagaimana ia telah diciptakan Allah dengan segala kemungkinan yang terkandung dalam dirinya. Akan tetapi, sejauh manakah manusia mempunyai kemampuan untuk mengembangkan potensi dirinya untuk memenuhi tugasnya sebagai khalifah Allah di muka bumi? Sebatas manakah ruang gerak manusia terbuka untuk memenuhi tanggungjawabnya itu jika dihubungkan dengan kekuasaan Allah sebagai penciptanya? Dalam perkataan lain sejauh mana manusia itu mampu menentukan tindakannya, dan sejauh mana pula ia tidak berdaya dalam menentukan tindakannya itu bila berhadapan dengan kudrat dan iradat Allah. Apakah manusia itu bebas dan merdeka dalam kehendak dan perbuatannya atau ia terikat dan terpaksa oleh kudrat dan iradat Allah.?
Pada dasarnya, terdapat dua pandangan dalam khazanah pemikiran Islam menyangkut masalah perbuatan manusia, dalam teologi Islam dikenal dengan istilah ‘af’a>l al-‘Iba>d. Golongan pertama adalah mereka yang percaya pada karsa bebas dan kemampuan manusia untuk mewujudkan kemauan dan perbuatannya (free will and free act), golongan ini disebut Qadariyyah. Golongan kedua adalah mereka yang berpendapat bahwa manusia pada hakikatnya tidak mempunyai kemampuan apa-apa untuk mewujudkan keinginan dan perbuatannya, karena segala perbuatan manusia telah ditentukan oleh Allah sebagai pencipta manusia. Golongan yang berpaham predestinasi ini disebut Jabariyyah.
Istilah Qadariyyah mengandung dua arti. Pertama, qadariyyah yang berasal dari kata qadara yang berarti berkuasa. Qadariyyah dalam pengertian pertama ini adalah mereka yang memandang manusia berkuasa dan bebas dalam perbuatan-perbuatannya.([12]) Kedua, qadariyyah yang juga berasal dari kata qadara tetapi dengan arti menentukan. ([13]) Qadariyyah dalam pengertian ini adalah orang-orang yang berpendapat bahwa nasib manusia telah ditentukan oleh Allah sejak zaman aza>li. Dalam pembahasan ini, Qadariyyah dengan pengertian pertama. Sedangkan Qadariyyah dengan pengertian kedua dalam sejarah teologi Islam disebut Jabariyyah.[14]
Pendapat-pendapat yang dikemukakan oleh Qadariyyah berkait erat dengan pendapat Muktazilah yang terkenal dengan sistem teologinya yang serba rasional. Al-syihrista>ni menyatakan, Muktazilah tidak berkeberatan disebut sebagai orang Qadariyyah dalam pengertian pertama. ([15]) Sesebaliknya, Muktazilah menolak pengertian Qadariyyah yang kedua dilekatkan kepada mereka. Nama itu lebih tepat diberikan kepada mereka yang percaya mutlak kepada qadā dan takdir Allah. ([16]) Memang, karena sistem teologi seperti itu, Muktazilah memandang manusia mempunyai daya yang besar lagi bebas. Karena itu, sudah barang tentu mereka menganut paham Qadariyyah dan memang mereka disebut juga Qadariyyah. H.A.R Gibb dan Kreamer sepakat menyatakan bahwa Qadariyyah adalah suatu laqab atau julukan bagi Muktazilah. ([17]) Meskipun laqab itu dilekatkan kepada Muktazilah([18]) paham Qadariyyah telah ada sebelum datangnya Islam atau setidak-tidaknya sudah ada pada masa Nabi Muhammad S.a.w. menyampaikan wahyu. ([19]) Indikasi yang dapat dikemukakan dalam masalah ini adalah terdapatnya Hadis Nabi yang mencela Qadariyyah. Salah satu di antaranya:
القدرية مجوس هذه الأمة[20]
Terjemahnya:
Qadariyyah adalah Majusi umat ini (Islam).
Dengan demikian, dapat dipastikan bahwa paham Qadariyyah telah ada sebelum munculnya Muktazilah. Karena, yang terakhir ini justeru timbul sebagai reaksi paham Khawarij dan Murji’ah sebagai akibat kekacauan politik pada masa khalifah Ali bin Abu Talib. Menurut Ahmad Amin, paham Qadariyyah dikembangkan oleh Ma’bad al-Juhani dan Ghaylan al-Dimasyqi. ([21]) Dilekatkannya sebutan Qadariyyah kepada Muktazilah, seperti tulis Gibb, terutama ketika golongan tersebut, dalam sistem teologinya, membicarakan keadilan Allah. ([22])
Sementara itu, Ibn Kahaldun menyebutkan bahwa kelahiran Jabariyyah tidak dapat dilepaskan dari kenyataan wilayah, sosial, dan sejarah bangsa Arab yang hidup di tengah padang pasir yang tandus. Faktor wilayah tersebut mempengaruhi cara berfikir dan tingkat kebudayaan mereka.([23]) Kebudayaan mereka sangat sederhana dan banyak bergantung kepada kehendak alam. Mereka merasa diri lemah dan tidak berdaya menghadapi tantangan yang demikian keras. Hal inilah yang membawa mereka kepada sikap fatalistis yang menganggap Allahlah sebagai pemegang kekuasaan mutlak yang menguasai alam, manusia dan perbuatannya. ([24])
Sikap semacam itulah yang dianggap sebagai Jabariyyah. Nama itu berasal dari kata jabara yang mengandung arti ألزمه بفعله yakni berkewajiban atau terpaksa dalam pekerjaannya. ([25]) Jadi, Jabariyyah adalah golongan dalam Islam, yang berpendapat bahwa manusia tidak mempunyai kemampuan untuk melakukan sesuatu atau meninggalkan suatu perbuatan dengan kemauannya sendiri, tetapi harus menuruti apa yang telah digariskan Allah. ([26]) Manusia tidak mempunyai kemerdekaan dan kebebasan dalam menentukan kehendak atau melakukan perbuatannya. Sebaliknya, ia terpaksa melakukan kehendak atau perbuatannya sebagaimana yang telah ditetapkan oleh Allah sejak zaman azali.
Paham Jabariyyah, menurut Abdul Halim Mahmud, kelihatan pertama kali ditonjolkan dalam teologi Islam oleh al-Ja’ad ibn Dirham. Tetapi yang menyebarkannya adalah Jahm ibn Safwan. ([27]) Paham ini berkembang pesat pada kekuasaan Daulah Umayyah (661-750 M). Dukungan penguasa Bani Umayyah kepada Jabariyyah didasarkan pada pengabsahan teologis yang diberikan kaum Jabariyyah atas kekuasaan Umayyah. Menurut Jabariyyah, khilafah yang dipegang Bani Umayyah adalah ketentuan dan takdir Ilahi yang harus diterima setiap orang.([28]) Meskipun diketahui bahwa kursi kekhalifahan itu diperoleh oleh Bani Umayyah melalui tipu daya yang sangat licik terhadap Ali bin Abu Talib. Namun, bagi Jabariyyah semua itu sudah merupakan ketentuan Allah dan setiap Muslim tidak kuasa menghindarinya.
Qadariyyah, dalam hal ini Muktazilah, sangat menitik beratkan tanggungjawab manusia atas setiap perbuatannya. Mereka menolak paham yang berpendapat bahwa Allah berkuasa mutlak atas setiap perbuatan manusia.([29]) Menurut Muktazilah, dengan akal yang diberikan oleh Allah kepadanya, manusia mampu membedakan (memilih) perbuatan baik dan buruk. ([30]) Dengan kemampuan dan kebebasan itulah manusia berkuasa menciptakan nasibnya sendiri. Dengan demikian, setiap perbuatan manusia, baik atau buruk, beriman atau kufur, ditentukan oleh dirinya sendiri.([31]) Allah tidak boleh dibebani tanggungjawab atas perbuatan manusia. Seperti dinyatakan Ghaylan, bahwa manusia melakukan perbuatan baik atas kehendak dan kekuasaan sendiri, dan melakukan perbuatan jahat atas kemauan dan dayanya sendiri. ([32]) Di sini kelihatan manusia merdeka atas kemauan dan tingkah lakunya, apakah ia mau berbuat baik atau berbuat buruk; beriman atau kufur terhadap Allah. Atas perbuatan yang dilakukannya itu, manusia memperoleh balasan yang sepadan atau setimpal dari Allah. Sesuai dengan sifat keadilan Allah, maka di samping memberikan perintah kepada manusia untuk berbuat sesuatu, Allah membekali manusia dengan daya atau kekuatan untuk berbuat. Allah Yang Maha Adil tidak mungkin mengingkari diri-Nya sendiri dengan berbuat zalim kepada manusia, ([33]) yaitu, tidak memberikan daya dan kekuatan bagi manusia guna mewujudkan perbuatannya yang berkaitan dengan perintah dan larangan-Nya.
Pandangan Qadariyyah tersebut, selain menggunakan pendekatan rasional, juga berpijak pada dalil-dalil al-Qurān. Karena itu, tidak tepat kalau golongan Qadariyyah disebut sebagai kelompok orang yang sudah tidak percaya lagi kepada wahyu, sebagaimana ia sering dituduhkan oleh sebagian golongan dalam Islam. Beberapa ayat al-Qur’an yang sering mereka jadikan sebagai landasan adalah firman Allah s.w.t:
قل الحق من ربكم فمن شاء فليؤمن ومن شاء فليكفر[34]
Terjemahnya:
Kebenaran datang dari Tuhanmu. Siapa yang mau, silahkan beriman dan siapa yang mau menyangkal silakan tidak percaya.
Juga firman Allah :
ان الله لا يغير ما بقوم حتى يغيروا ما بأنفسهم[35]
Terjemahnya:
Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum (umat) kecuali mereka sendiri yang mengubahnya.
Berbeda dengan Qadariyyah, kaum Jabariyyah berpendapat sebaliknya, bahwa manusia tidak mempunyai kemerdekaan atas kehendak dan perbuatannya. ([36]) Mereka yakin, kekuasaan Allah tidak terbatas. Allah adalah Pencipta segala sesuatu, termasuk manusia dan perbuatannya. [37] Jabariyyah menyatakan bahwa setiap gerak dan perbuatan apa pun yang terjadi di alam semesta ini berlangsung atas kudrat dan iradah Ilahi. Jika dikatakan ada kehendak, gerak, atau perbuatan yang terjadi di luar kudrat dan iradat Ilahi, seperti perbuatan manusia, berarti kekuasaan Allah terbatas. Dan mustahil Allah bersifat terbatas. Hal itu, menurut Jabariyyah, berarti mengakui adanya pelaku lain di alam semesta ini selain Allah S.w.t. ([38])
Jabariyyah dalam mengemukakan fikiran-fikirannya, juga mengambil nas-nas al-Qur’an, antara lain: firman Allah:
يخلق ما يشاء[39]
Terjemahnya:
Dialah yang menciptakan apa yang Ia kehendaki.
Juga firman-Nya:
فان الله يضل من يشاء ويهدى من يشاء[40]
Terjemahnya:
Sesungguhnya Allah membiarkan sesat siapa yang dikehendaki-Nya dan dipimpin-Nya siapa yang dikehendaki-Nya.
Ayat lain yang dijadikan sandaran adalah:
ما أصاب من مصيبة في الأرض ولا فى أنفسكم الا فى كتاب من قبل أن نبرأها[41]
Terjemahnya:
Tidak ada bencana yang menimpa bumi dan diri kamu, kecuali yang telah ditentukan di dalam buku sebelum Kami laksanakan terjadinya.
Untuk menengahi pemahaman Jabariyyah dan Qadariyyah tersebut Abu> H}asan al-Asy’ari mengajukan konsep al-kasb, dengan pengertian bahwa yang mewujudkan perbuatan manusia adalah Allah, ([42]) namun manusia diberi daya dan pilihan untuk berbuat atas kehendak Allah. Manusia dalam perbuatannya banyak bergantung kepada kehendak dan kekuasaan Allah. Oleh karena itu, manusia, dalam pandangan al-Asy’ari, bukan Fa>’il tapi Ka>sib. Berdasarkan itulah muncul teori al-kasb. Al-Syihrista>ni memperjelas pengertian al-kasb dengan menyatakan bahwa lahirnya perbuatan manusia adalah dengan jalan Allah memperlakukan sunnah-Nya melalui daya yang baru diciptakan bersama-sama dengan terjadinya perbuatan. Berkaitan dengan itu, lahirlah konsep al-iktisa>b. ([43])
Arti al-iktisa>b, menurut al-Asy’ari, ialah sesuatu terjadi dengan perantaraan daya yang diciptakan dan dengan demikian menjadi perolehan atau kasb bagi orang yang dengan dayanya perbuatan itu timbul. ([44]) Di dalam al-Luma’, al-Asy’ari memberikan penjelasan yang sama. Arti yang sebenarnya dari al-kasb ialah sesuatu timbul dari al-muktasib (acquirer, yang memperoleh) dengan perantaraan daya yang diciptakan. ([45])
Argumen yang dimajukan oleh al-Asy’ari tentang diciptakannya kasb oleh Allah adalah firman Allah:
والله خلقكم وما تعملون[46]
Terjemahnya:
Dan Allah menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat.
Berdasarkan ayat ini, mereka berpendapat bahwa perbuatan-perbuatan manusia diciptakan oleh Allah. [47] Tidak ada pembuat atau fa>’il bagi kasb kecuali Allah.[48] Dengan perkataan lain, yang menentukan wujudnya kasb atau perbuatan manusia, dalam pandangan al-Asy’ari, sebenarnya adalah Allah sendiri.
Dari keterangan di atas dapat dipahami bahwa; sejak masa Asy’ari, polemik dan kontroversi tentang perbuatan manusia, dalam teologi dikenal dengan istilah ‘af’a>l al-‘iba>d, hingga kini tetap hangat diperbincangkan. Terutama kaum Muktazilah, sudah barang tentu selalu memunculkan idea qadariyyah atau free will yang menjadi anutan mereka. Dalam suasana demikian al-Asy’arī, sebagai tokoh kalam sunni, mau tidak mau harus pula mengemukakan ideanya tentang hal tersebut. Dalam hal ini, sejalan dengan metodologi yang dianutnya, maka al-Asy’arī dalam diskusi tentang masalah ini bermaksud menjembatani antara dua kelompok ekstrim, Jabariyyah dan Qadariyyah tersebut([49]) dengan menawarkan konsep ‘teologi poros tengah’ (moderat).
Untuk tujuan tersebut, al-Asy’ari tampil dengan mengajukan konsep al-kasb (perolehan, acquisition). Kalau kaum Qadariyyah berpendapat bahwa manusia bebas menciptakan perbuatannya sendiri; dan bagi kaum Jabariyyah manusia itu tidak mampu menciptakan perbuatannya melainkan serba terpaksa. Maka bagi al-Asy’ari manusia memang tidak dapat menciptakan perbuatannya tetapi ia mampu melakukan kasb. ([50]) AI-Asy’arī menjelaskan arti al-iktisab sebagai sesuatu yang terjadi dengan perantaraan daya yang diciptakan dan dengan demikian menjadi perolehan atau kasb bagi orang yang dengan dayanya perbuatan itu terjadi. ([51])
Dalam kitabnya, al-Luma’, al-Asy’ari memberikan penjelasan yang sama, kasb berarti terjadinya sesuatu dengan perantaraan kekuatan yang diciptakan Allah pada manusia yang memperoleh daya.[52] Jadi dengan kasb inilah manusia bertanggungjawab atas perbuatan-perbuatannya. Jika demikian, berarti term kasb al-Asy’ari adalah sebagai ganti dari term khalq atau fi’l Muktazilah. Namun manusia, menurut al Asy’arī bukanlah Kha>liq (pencipta) atau fā’il (pembuat) dari perbuatannya, tetapi ia adalah ka>sib dari perbuatannya.
Berdasarkan pengertian kasb yang dikemukakan di atas, dapat dipahami bahwa manusia, menurut al-Asy’ari, walaupun tidak berkuasa menciptakan perbuatannya, tetapi ia berkuasa memperoleh daya yang diciptakan Allah. Dan dengan daya yang diperoleh manusia tersebut manusia mewujudkan perbuatannya. Al-Baghdādī memberi contoh tentang hal ini dengan perbuatan mengangkat batu berat. Ada orang yang sama sekali tidak sanggup mengangkat batu berat itu dan ada pula yang sanggup mengangkatnya. Kalau kedua orang tersebut sama-sama mengangkat batu berat itu, perbuatan mengangkat batu dilakukan oleh orang yang sanggup mengangkatnya, tetapi ia tidak berarti bahwa orang yang tidak sanggup itu tidak turut mengangkatnya. Demikian pula perbuatan manusia; perbuatan pada hakikatnya terjadi dengan perantaraan daya Allah, tetapi manusia dalam pada itu tidak kehilangan sifat sebagai pembuat (Ka>sib).([53]) Dengan daya yang diperoleh manusia sebagai syarat yang mesti ada dalam kasb, mengandung arti keaktifan dan manusia bertanggungjawab atas perbuatannya. ([54])
Adapun dalil naql yang dijadikan al-Asy’ari sebagai dasar tentang diciptakannya kasb ([55]) itu adalah firman Allah S.w.t:
والله خلقكم وما تعملون[56]
Terjemahnya:
Allah menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat.
Kata وما تعملون dalam ayat tersebut diartikan oleh al-Asy’ari dengan “apa yang kamu perbuat” dan bukan “apa yang kamu buat”. Hal ini berarti Allah menciptakan kamu dan perbuatan-perbuatan kamu. Jadi, menurut al-Asy’ari, perbuatan-perbuatan manusia adalah diciptakan Allah, dan Dia pulalah yang membuat kasb. ([57]) Dengan kata lain, bahwa Allah yang mewujudkan kasb atas perbuatan manusia. Dengan demikian, berarti Allah sebenarnya yang menjadikan (pembuat) perbuatan manusia, sedangkan manusia hanya merupakan tempat berlakunya perbuatan-perbuatan Allah tersebut.
Selanjutnya, al-Asy’ari menyebutkan bahwa perbuatan atau gerakan manusia terbagi kepada id}t}ira>r (perbuatan tanpa sengaja, di luar kemampuan) dan perbuatan kasb. Masing-masing perbuatan itu, menurut al-Asy’ari, mempunyai dua unsur. Bagi id}t}ira>r memiliki unsur penggerak yang mewujudkan gerak, dan unsur badan yang bergerak. Penggerak adalah Allah, sementara badan yang bergerak adalah manusia, sebab badan yang bergerak menghendaki tempat yang bersifat jasmani. Sedangkan Allah mustahil mempunyai tempat jasmani. ([58]) Adapun unsur bagi kasb, menurut al-Asy’ari, ialah pembuat dan yang memperoleh perbuatan sebagaimana yang terjadi pada gerakan id}t}ira>r. Oleh karena itu, pembuat kasb yang sebenarnya adalah Allah, sedangkan yang memperoleh kasb adalah manusia.([59])
Al-Asy’ari berusaha membedakan antara perbuatan id}t}ira>r dan kasb. Pada perbuatan pertama terdapat unsur ‘keterpaksaan’ manusia melakukan sesuatu tanpa dapat dihindarinya, walaupun ia berusaha semaksimal mungkin untuk melakukan hal itu. Sedangkan dalam perbuatan yang kedua, tidak terdapat unsur ‘paksaan’ di dalamnya. Gerakan manusia seperti berjalan pergi-balik, berbeda dengan gerakan manusia yang menggigil karena demam. Jadi, pada gerakan yang disebutkan pertama terdapat ‘ketidakmampuan’ manusia karena ada unsur keterpaksaan; sedangkan pada yang kedua terdapat daya yang diciptakan, karenanya tidak dapat disebut ‘paksaan’ sebab diberikan kasb. Namun keduanya itu adalah perbuatan Allah. ([60]) Argumen ini, sesuai dengan firman Allah:
وما تشاءون الا أن يشاء الله[61]
Terjemahnya:
Kamu tidak menghendaki kecuali bila dikehendaki oleh Allah.
Maksud ayat ini, menurut al-Asy’ari, adalah bahwa manusia tidak dapat menghendaki sesuatu tanpa dikehendaki oleh Allah. Jika seseorang berkehendak untuk pergi ke Mekkah, maka kehendaknya ini akan terlaksana jika Allah menghendakinya. Jadi kehendak manusia satu dengan kehendak Allah, dan kehendak yang ada dalam diri manusia itu tidak lain adalah kehendak Allah. ([62])
Adapun mengenai daya, menurut al-Asy’ari diciptakan Allah pada diri manusia sewaktu ia melakukan perbuatan dan tertentu untuk satu kali perbuatan saja. ([63]) Jika demikian, berarti orang yang dalam dirinya tidak memperoleh daya ciptaan Allah tidak dapat melakukan perbuatan apa pun, dan daya tersebut tentu selain dari diri manusia. ([64]) Penjelasan ini membawa kepada kesimpulan, bahwa daya untuk mewujudkan perbuatan sebenarnya bukanlah daya manusia melainkan daya Allah Sendiri. ([65])
Penjelasan al-Asy’ari tentang teori kasb tersebut sangat jelas, tidak rumit dan tidak membingungkan sebagaimana yang sering diungkapkan oleh pelbagai pihak yang mengeritiknya([66]) disebabkan mereka tidak memahami teori al-kasb al-Asy’ari. Akibat dari ketidakpemahaman inilah, sehingga banyak orang berkesimpulan bahwa teori kasb al-Asy’ari tersebut tergolong dalam paham Jabariyyah. [67])
Yang jelas dalam konsep kasb itu al-Asy’ari ingin menyatakan bahwa di dalam perbuatan itu terdapat dua fa>’il, yaitu Allah dan manusia. Walaupun manusia itu tidak mempunyai pengaruh yang efektif, namun dapat dipahami bahwa ia tidak mutlak pasif tetapi justeru aktif walau dalam kadar minimum. Jadi, teori kasb al-Asy’ari itu belum dapat dikategorikan sebagai jabari, tetapi tidak pula sebagai qadari. Lagi pula, suatu penilaian hendaknya jangan terfokus atau terbatas pada isi dari teori tersebut, melainkan harus pula dilihat bagaimana latar belakang teori itu diketengahkan.
Al-Asy’ari sebenarnya tidak menginginkan umat terjatuh dalam lingkaran Jabariyyah dan juga Qadariyyah. Oleh sebab itulah dia mengemukakan sebuah ajaran yang mengambil posisi jalan tengah, dalam tulisan ini diistilahkan dengan teologi pertengahan, melalui teori kasb tersebut. Sebagai ajaran pertengahan, tentu yang dimaksudkan oleh al-Asy’ari adalah bahwa manusia, dalam perbuatannya, bebas tapi terikat; terpaksa tapi masih mempunyai kebebasan. Demikianlah maksud al-Asy’ari tersebut. Namun demikian, dapat dikatakan bahwa di sinilah letak keunikan teologi al-Asy’ari. Ia memberi peluang kepada generasi berikutnya untuk memberikan interpretasi dan penjelasan-penjelesan positif, terutama dari tokoh-tokoh al-Asy’ariyyah.
Al-Bāqillāni dan al-Juwaini, misalnya, berpendapat bahwa perbuatan terjadi dengan daya manusia, dengan demikian perbuatan manusia sebenarnya adalah perbuatan manusia itu sendiri. ([68]) Namun, ada perbuatan yang manusia itu terpaksa melakukannya. Misalnya, manusia mampu berdiri, duduk dan bicara dengan keinginannya sendiri, tetapi manusia tidak mampu bergerak ketika ia lumpuh dan Sakit. ([69]) Sehubungan dengan itu, al-Bāqillāni menyatakan bahwa manusia hanya mampu berbuat dengan kudrat yang diciptakan Allah padanya. Ini terlihat bahwa seseorang hanya dapat berbuat sesuatu pada suatu waktu, tetapi tidak dapat berbuat yang serupa pada waktu yang lain. ([70])
Selanjutnya, menurut al-Bāqillāni, manusia tidak mampu berbuat sebelum terjadi perbuatan (iktisa>b). Manusia hanya mampu berbuat ketika terjadi perbuatan (fi> ha>l al-iktisāb), sebab ia tidak diberikan kudrat sebelumnya. ([71]) Berkaitan dengan itu, al-Bāqillāni mengatakan bahwa kudrat yang ada pada manusia tidak tetap. Karena, apabila ia tetap dengan sendirinya mestilah ia tetap ada pada waktu yang sama atau pada waktu yang berlainan, hal ini adalah mustahil. ([72]) Di samping itu, kalau kudrat tetap karena ada sebab mestilah ia merupakan jism atau jawhar, maka hal itu tidak benar. ([73]) Karena itu, kemampuan manusia hanya ada bersamaan dengan perbuatan. Apabila manusia telah mempunyai kemampuan sebelum terjadi perbuatan, maka pada waktu terjadi perbuatan itu ia tidak lagi memerlukan bantuan Allah. Maka yang demikian itu, menurut al-Bāqillāni mustahil. ([74]) Jadi, dapat dikatakan bahwa Allahlah yang menciptakan daya pada manusia dan kebebasan manusia terletak pada penggunaan daya tersebut. Allah S.w.t memberikan kudrat tidak untuk dua perbuatan yang bertentangan atau yang sama, atau yang berbeda. Dengan kata lain, Allah memberikan satu kudrat untuk satu perbuatan. ([75]) Pandangan seperti ini, menurut al-Bāqillāni, tidak menunjukkan seseorang terpaksa dalam perbuatannya. Orang yang terpaksa berbuat adalah orang yang dibebani sesuatu yang tidak disukainya. Sementara orang yang dikatakan mampu berbuat adalah orang yang berbuat dengan kemauannya sendiri. Orang yang terpaksa berbuat dan yang mampu berbuat berbeda dengan orang yang tidak mampu berbuat sama sekali. Maka dalam hal ini, orang yang tidak berbuat apa yang diperintahkan kepadanya adalah orang yang tidak mampu Melakukannya. ([76])
Selain itu, al-Bāqilla>ni mengatakan bahwa Allah memberikan kudrat untuk berbuat kepada manusia yang sebelumnya tidak ada. Kudrat itu ada bersamaan dengan terlaksananya perbuatan. Sebagaimana sebuah cincin bergerak bersamaan dengan kejadian gerakan tangan. Begitu juga seseorang baru mengetahui rasa sakit bersamaan dengan adanya sakit itu sendiri. ([77]) Argumen ini diperkuat dengan firman Allah :
لا يكلف الله نفسا إلا وسعــهــا[78]
Terjemahnya:
Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.
Juga firman Allah:
لا يكلف الله نفســا إلا مــا ءاتاهـــا[79] “
Terjemahnya:
Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekedar apa yang diberikan Allah kepadanya.
Kedua ayat al-Qur’an ini, menurut al-Bāqillani, menunjukkan bahwa tidak ada kudrat sebelum perbuatan. ([80]) Dan dalam al-Qur’an dijelaskan kewajiban bagi orang yang berat menjalankan suatu perbuatan untuk membayar fidyah. ([81]) Hal ini, kata al-Bāqillani jelas menunjukkan tidak adanya kudrat. ([82])
Di samping itu, al-Bāqilla>ni mengatakan bahwa taklīf mā lā yut}āq itu ada sebagaimana perintah Allah untuk berbuat adil kepada sesama manusia, walaupun Dia sendiri mengatakan manusia itu tidak mampu berbuat demikian.([83]) Sebagaimana diisyaratkan dalam firman Allah:
ولن تستطيعوا أن تعدلوا بين النساء ولو حرصتم[84]
Terjemahnya:
Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara isteri-isteri kamu, walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian.
Jadi, menurut al-Bāqillānī, kudrat manusia itu tidak tetap dan bukan merupakan sebab terjadinya perbuatan. Satu kudrat tidak boleh untuk beberapa perbuatan yang serupa, berbeda atau bertentangan, karena satu kudrat hanya untuk satu perbuatan. Kudrat itu hanya ada pada masa terjadinya perbuatan. Karena itu, tidak ada kudrat sebelum maupun setelah terjadinya perbuatan. ([85])
Dari keterangan di atas, dapat dikatakan bahwa al-Asy’ari dan al-Bāqillāni sependapat dalam memandang perbuatan manusia sebagai ciptaan Allah, namun al-Bāqillāni telah menyempurnakan pendapat gurunya, al-Asy’ari, dengan mengatakan bahwa manusia mempunyai kebebasan di dalam perbuatannya. al-Bāqillāni memandang al-kasb sebagai gerakan orang yang disertai kudrat pada waktu terjadinya perbuatan, berbeda dengan orang yang lumpuh, yang tidak dapat bergerak. Ia membedakan antara gerakan tangan orang yang sehat, sebagai gerakan yang tidak terpaksa, dengan gerakan orang yang gemetar karena sakit, yaitu yang bergerak karena terpaksa. Oleh karena al-kasb merupakan perbuatan melalui jalan ikhtiar, maka al-kasb bukan perbuatan yang terpaksa.[86] Dengan demikian, konsep al-kasb al-Bāqillāni mengandung paham kebebasan. Dalam arti kata lain, bagi al-Bāqillāni, manusia mempunyai sumbangan yang efektif di dalam perbuatannya, Allah hanya menciptakan gerak di dalam diri manusia, sedangkan bentuk dari gerakan itu, yang kemudian disebut perbuatan seperti duduk, berdiri, berbicara dan sebagainya, adalah perbuatan manusia. ([87])
Sebagaimana al-Bāqillāni al-Juwaini juga berpendapat bahwa manusia mempunyai sumbangan yang efektif dalam mewujudkan perbuatannya, ([88]) karena ia diberi hak untuk menentukan pilihan, mempergunakan daya yang telah diciptakan Allah di dalam dirinya dan mengamalkan pengetahuan yang diberikan Allah secara global kepadanya supaya direalisasikan dalam bentuk perbuatan. Selanjutnya, al-Juwaini menyatakan bahwa Allah menciptakan daya di dalam diri manusia sebelum terjadinya perbuatan. Daya itu bersifat ‘arad} dan setiap ‘arad} tidak kekal. Jadi, karena ‘arad} sifatnya tidak kekal (al-‘arad} la> Yabqa>), tidak boleh digunakan untuk mewujudkan berbagai macam perbuatan.([89]) Untuk terwujudnya suatu perbuatan, mesti ada daya Allah yang menyertai manusia. Oleh karena itu, manusia bebas mengarahkan daya yang diciptakan oleh Allah itu untuk mewujudkan perbuatan perbuatannya sesuai dengan kehendak dan kemauannya. Jadi, jelas bahwa manusia, menurut al-Juwaini, mempunyai peranan efektif untuk mengarahkan daya dan mewujudkan perbuatan-perbuatan yang dikehendakinya, sedangkan daya untuk mewujudkan perbuatan itu dengan menggunakan daya Allah. Hal ini terjadi karena Allah sentiasa memberikan tambahan energi kepada manusia. ([90])
Al-Ghaza>li juga memberikan keterangan yang sama. Menurutnya, Allahlah yang menciptakan perbuatan manusia dan kudrat untuk berbuat dalam diri manusia. ([91]) Perbuatan manusia terjadi dengan kudrat Allah dan bukan dengan kudrat manusia, sungguhpun yang disebutkan terakhir ini erat hubungannya dengan perbuatan itu. Oleh karena itu, tidak dapat dikatakan bahwa manusialah yang menciptakan perbuatannya. Untuk itu, kata al-Ghazālī, sesuai dengan apa yang disebutkan dalam al-Qur'an, perbuatan manusia itu disebut al-kasb. ([92])
Selanjutnya, Al-Ghaza>li mengakui adanya kemungkinan dua kudrat dalam satu perbuatan, yaitu kudrat Allah dan kudrat manusia. Alasan yang diberikannya ialah, karena keterkaitan antara kedua qudrah itu dengan perbuatan manusia berbeda. Qudrah Allah berkaitan dengan al-khalq (penciptaan), sementara qudrah manusia berkaitan dengan al-kasb. AI-KhaIq berasal dari Allah sedangkan al-kasb berasal daripada manusia. Karena itu, perbuatan manusia disebut al-kasb. ([93])
[1] Al-Qur’an, al-Tin 95:4; Q.S. al-Isrā' 17:70.
[2] Al-Qur’an, al-An’ām 6:165.
[3] Al-Qur’an, Hūd 11:61
[4] Sesuai dengan maksud al-Qur’an, al-Isrā' 17:13; al-Qiyāmah 75:10-14; al-Nāzi'at 79:35; al-Fajr 89:23; dan al-Zilzalah 99:3.
[5] Al-Qur’an, al-‘Alaq 96:1-5.
[6] Al-Qur’an, al-Haj 22:5.
[7] Sesuai dengan maksud Al-Qur’an, al-‘Ankabūt 29:20; al-Zumar 39:62; al-An’ām 6:125.
[8] Sesuai dengan maksud Al-Qur’an, al-Mu'minūn 23:72.
[9] Sesuai dengan maksud Al-Qur’an, al-Furqān 25:29.
[10] S. H. Nasr, 1981, Islam dalam cita dan fakta, hal, 4.
[11] Di sinilah letak keagungan dan kengerian keadaan manusia. Setiap makhluk di dunia tetap menjadi dirinya sendiri, karena ia telah ditetapkan pada tingkat eksistensi tertentu. Hanya manusialah yang dapat berhenti menjadi manusia. la dapat naik ke tingkat eksistensi duniawi tertinggi atau pada masa yang sama jatuh di bawah tingkat makhluk yang paling rendah. Alternatif surga-neraka yang diberikan kepadanya manunjukkan kondisi manusia yang unik. Dilahirkan sebagai manusia, ia memiliki keuntungan yang tidak dimiliki oleh makhluk-makhluk lain. Ibid., hal. 10.
[12] al-Syihristani, hal. 43.
[13] Ibid.
[14] Memang Muktazilah juga disebut kaum Qadariyyah. Apakah sebabnya mereka diberi nama Qadariyyah, dijelaskan oleh al-Asy’ari sebagai berikut: kaum Qadariyyah adalah kaum yang memandang perbuatan-perbuatan mereka diwujudkan oleh daya mereka sendiri dan bukan oleh Tuhan. al-Asy’ari, al-Ibanah, hal. 54.
[15] al-Syihristani, hal. 43.
[16] HAR Gibb and J.H. Kreamer, Shorter encyclopaedia of Islam, hal. 200.
[17] Tidak diketahui persis tahun berapa Muktazilah lahir. Yang jelas, aliran ini muncul dari lingkungan halaqah Imam Hasan al-Basri, seorang ulama besar dan sufi terkenal di Basrah (642-728 M). Alkisah, pada suatu halaqah berdebat antara Wasil ibn ‘Ata' dan Amr al-‘Ubayd tentang masalah status orang berdosa besar; apakah tergolong kafir atau mukmin. Ketika Hasan al-Basri masih berfikir, Wasil mengeluarkan pendapatnya bahwa orang berdosa besar bukanlah mukmin dan bukan pula kafir, tetapi mengambil posisi di antara keduanya. Setelah mengeluarkan pernyataannya itu, Wasil memisahkan diri (I’tizal) dari halaqah Hasan Basri. Melihat peristiwa ini, Hasan al-Basri berkomentar: "Wasil telah menjauhkan diri dari kita" (I’tazala ‘anna). Belakangan Wasil dan Amr al-‘Ubayd benar-benar memisahkan diri dari halaqah gurunya, Hasan al-Basri, dan membangun halaqah sendiri. Wasi1 dan teman-temannya serta para pengikutnya kemudian disebut Muktazilah. al-Syihristani, hal. 48.
[18] HAR Gibb and J.H. Kreamer, Shorter Encyclopaedia of Islam, hal. 200.
[19] Ini dapat dilihat dari pandangan Mabad al-Juhani, yaitu orang yang pertama kali mencetuskan pendapat bahwa manusia mempunyai kebebasan mutlak dalam perbuatannya, karena manusia mempunyai kemampuan untuk itu. Menurut Ibn 'Asakir, Ma’bad mengambil pendapatnya itu dari seorang Kristian Irak, bernama Saus; Ibn Nabatah berpendapat bahwa dia mengambil dari seorang Kristian yang memeluk Islam dan kemudian murtad kembali; dan al-Maqrizi menulis bahwa Ma’bad mengambilnya dari seorang bernama Abu Yunus Sansaswiyyah. Lihat ‘Ali Mustafa al-Ghurabi, Tarikh al-firaq al-Islamiyyah, hal. 35. Tetapi menurut ‘Abd al-Rahman Badawi, semua pendapat tersebut tidak beralasan, karena tidak ada fakta sejarah tentang adanya tokoh-tokoh tersebut. Menurut Badawi, pendapat Ma’bad tentang kebebasan mutlak manusia dalam berbuat memang berasal dari pengaruh Kristian; yaitu tatkala Ma’bad bersama seorang temannya yang sefaham, Ghaylan al-Dimashqi yang sama-sama hidup di Damaskus, di sana ada seorang Pendeta Kristian bernama Yohanna al-Dimashqi, yang sering bertukar fikiran dengan para intetektual Islam di kota tersebut. Dalam sebuah karya tulisnya yang berisi tentang perdebatan antara seorang Kristian dan Islam, terdapat banyak persamaan pendapat antara ajaran Kristian dengan faham Qadariyyah yang dikemukakan oleh Ma’bad. ‘Abd al-Rahman Badawi, 1971, Madhahib al-Islamiyyin, Jilid 1, hat. 112-120.
[20] al-Hafiz Ibn Majah, Sunan Ibn Majah; Jil. 2, Hadis no. 1070, hal. 81.
[21] Ahmad Amin, Fajr al-Islam, hal. 225.
[22] H.A.R Gibb, hal. 201.
[23] Ibn Khaldun, Muqaddimah, Jil. 1, hal. 151-159.
[24] Ibid, hal. 153. Bandingkan Harun Nasution, Teologi Islam, hat. 49.
[25] Syed Ameer Ali, The spirit of Islam, hal. 600.
[26] ‘Ali Mustafa al-Ghurabi, Tarikh al-firaq al-lslamiyyah, hal. 24-25.
[27] ‘Abd al-Hallim Mahmud, Tarikh al-falsafi fi al-Islam, hal. 209-210.
[28] ‘Ali Mustafa al-Ghurabi, hal. 33.
[29] ‘Abd al-Jabbar, Sharh al-usul al-khamsah hal. 132, 361, 362.
[30] Ibid, hal. 564; al-Syihristani, al-Milal wa al-nihal, Jil. 1, hal. 59, 63.
[31] Al-Khayyat, hal. 86-87. 198.
[32] Ahmad Amin, Duha al-Islam, hal. 53-54.
[33] Ibid; lihat juga, ‘Abd al-Jabbar, hal. 301.
[34] Al-Qur’an, al-Kahf (18):29.
[35] Al-Qur’an, al-Ra’d (13):11. juga Fussilat 41:41; al-Bara'ah 9:70, 111; dan Yunus 10:30.
[36] al-Ghurabi, Tarikh al-firaq al-Islamiyyah, hal. 2930.
[37] lbrahim Madkur, Fi al-falsafah al-Islamiyyah, hal. 27. al-Syihristani, al-Milal, hal. 86-88.
[38] Demikianlah pandangan dasar kaum Jabariyyah, yang dalam perkembangan seterusnya terpilah-pilah dalam beberapa hal kecil. Tetapi, perbedaan-perbedaan yang terjadi di kalangan Jabariyyah itu tidak mengubah konsepsi dasarnya. Sebab, pada prinsipnya, mereka tetap tidak menerima adanya kemauan dan perbutan bebas manusia.
[39] Al-Qur’an, Rum 30:54.
[40] Al-Qur’an, Fatir 35:8.
[41] Al-Qur’an, al-Hadid 57:22. al-Anbiya' 21:23; al-Anfal 8:17.
[42] al-Asy’ari, Maqalat al-Islamiyyin, Jil. 1, hal. 315. Al-Bazdawi, Usul al-din, hal. 100.
[43] al-Syihristani, al-Milal wa al-nihal, hal. 97.
[44] al-Asy’ari, Maqalat al-Islamiyyin, Jil. 2, hal. 221.
[45] al-Asy’ari,al-Luma’, hal. 76.
[46] al-Qurān, al-Saffat 37: 96.
[47] al-Asy’ari,al-Luma’, hal. 70.
[48] Ibid hal. 72.
[49] Abū Zahrah, Tarikh al-madhahib al-Islāmiyyah, Jil. 1, hal. 187.
[50] Ibid.
[51] al-Asy’arī, Maqālāt al-Islāmiyyīn, Jil. 2, hal. 199.
[52] al-Asy’arī,al-Luma’, hal. 76.
[53] al-Baghdādī, Usūl al-dīn, hal. 133-134.
[54] Ibid, hal. 107.
[55] al-Asy’arī, al-Ibānah, hal. 243
[56] al-Qurān, al-Saffat 37: 96.
[57] al-Asy’arī,al-Luma’, hal. 70, 72.
[58] Ibid, hal. 73-74.
[59] Ibid.
[60] Ibid., hal. 75-76.
[61] Al-Qur’an, al-Insan 76:30
[62] al-Asy’ari, al-Luma', hal. 93.
[63] Ibid, hal. 93, 96
[64] Ibid
[65] al-Asy’arī, al-Ibānah, hal. 54.
[66] Ahmad Amin, Zuhr al-IsIām, Jil. 4, hal. 83; JaIāl Musa, Nash'at al-Asy’ariyyah, hal. 238.
[67] Ahmad Amin, hal. 83.
[68] al-Bāqillānī, al-Tamhid, hal. 346; al-Juwaynī, al-Aqīdah al-nizamiyyah, hal. 34. Pada masa silam, keyakinan semacam itu memupuk keberanian dan kesabaran dalam jiwa umat Islam untuk menghadapi segala macam tantangan dan kesukaran karena inilah umat Islam di zaman silam bersifat dinamis dan dapat mewujudkan peradaban yang tinggi. Lihat Harun Nasution, hal. 155.
[69] al-Bāqillānī mengakui adanya andil manusia di dalam perbuatannya. Karena itu, manusia memiliki kebebasan di dalam menentukan perbuatan yang diinginkannya. al-Bāqillānī, , hal. 323.
[70] Ibid., hal. 324,
[71] Ibid.
[72] Ibid., hal. 324
[73] Ibid, hal. 325.
[74] Ibid.
[75] lbid, hal. 326.
[76] Ibid., hal. 331-332.
[77] Ibid., hal. 328.
[78] Al-Qur’an, al-Baqarah (2):286.
[79] Al-Qur’an, al-Talāq (65):7.
[80] Ibid., hal. 239,
[81] Al-Qur’an, al-Baqarah 2:184
[82] Al-Bāqillānī, hal. 239.
[83] Ibid., hal. 333.
[84] Al-Qur’an, al-Nisā’ (4):129.
[85] Ibid, hal. 336
[86] Ibid, hal. 347
[87] al-Syihristani, hal. 97-98.
[88] al-Juwaynī, al-‘Aqīdah al-nizāmiyyah, hal. 34.
[89] al-Juwaynī, al-Irsyad, hal. 217.
[90]Tuhan adalah pencipta perbuatan manusia. Artinya Tuhan benar-benar mengetahui perbuatan manusia secara terperinci. Manusia tidak dikatakan sebagai pencipta perbuatannya, karena, kadang-kadang, manusia tidak mengetahui dan tidak menyadari adanya perbuatan yang sedang diperbuatnya. Misalnya, ia makan dan minum sewaktu sedang mabuk atau ia membalikkan tubuhnya ketika sedang tidur, ia berbicara semasa sedang 'ngigau' sakit dan sebagainya. Perbuatan-perbuatan seperti itu jelas bukan manusia sendiri yang menciptakannya, tetapi Tuhanlah yang menciptakannya, sebab Ia mengetahui segala perbuatan yang diperbuat oleh hamba-Nya. Lihat Ibid, hal 190. Al-Juwayni, al-‘Aqīdah al-nizāmiyyah, hal. 33.
[91] al-Ghazālī, al-Iqtisād fī al-i’tiqād, hal. 49.
[92] Ibid 314
[93] al-Ghazali, al-Iqtisad fi al-I’tiqad, hal. 49.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar