Konsep al-Asmā’ wa al- s}ifāt
Persoalan sifat-sifat Allah, merupakan masalah yang banyak dibicarakan oleh ahli teologi Islam. Berkaitan dengan itu berkembang dua teori yaitu: teori is}ba>t al-S}ifa>t dan Nafy al-S}ifa>t.
Teori pertama mengajarkan bahwa Allah memiliki sifat-sifat, seperti mendengar, melihat dan berbicara. Teori itu dianut oleh kaum al-Asy’ariyyah, Maturidiyyah dan ahli Hadis. Sementara teori kedua mengajarkan, bahwa Allah tidak memiliki sifat-sifat. Teori tersebut dianut oleh para ahli falsafah dan kaum Muktazilah.
Penganut teori is}ba>t al-S}ifa>t menegaskan, bahwa Allah mesti mempunyai sifat. Di samping itu, karena Allah qadim maka sifat-sifat-Nya juga mesti qadim. ([1]) Masalah keqadiman sifat-sifat Allah menjadi polemik berkepanjangan antara al-Asy’ariyyah dan Muktazilah. Masalahnya adalah baik Muktazilah maupun al-Asy’ariyyah sama-sama berkeyakinan bahwa Allah qadim dengan pengertian bahwa Ia esa dalam segala-galanya, termasuk esa dalam keqadiman-Nya. Karena itu, apabila dikatakan bahwa sifat-sifat Allah qadim, menurut Muktazilah, memberi kesan bahwa ada yang qadim selain Allah, karena itu Muktazilah menafikan sifat-sifat Allah. Dalam menanggapi pernyataan Muktazilah tersebut, al-Asy’ariyyah menegaskan bahwa, mesti ada perbedaan antara keqadiman Allah dengan keqadiman selain Allah.
Namun demikian, persoalan yang dimunculkan oleh kaum Muktazilah, yang menafikan sifat-sifat Allah, mengundang pemikiran tokoh-tokoh al-Asy’ariyyah untuk membincangkannya. Abu> H}asan al-Asy’ari menyatakan bahwa Allah mempunyai sifat-sifat seperti al-‘ilm dan al-qudrat([2]). Menurutnya, Allah mempunyai ilmu karena alam yang diciptakan demikian teratur, alam tidak akan wujud kecuali diciptakan oleh Allah yang memiliki ilmu. Argumen ini, antara lain, diperkuat oleh firman Allah S.w.t yang berbunyi:
لكن الله يشهد بما أنزل اليك أنزله بعلمه[3]
Terjemahnya:
Allah menjadikan saksi-saksi dari apa yang diturunkan-Nya kepada engkau, yang diturunkan-Nya dengan i1mu-Nya.
Menurut al-Asy’ari, ayat al-Qur’an (4:166) tersebut menunjukkan bahwa Allah S.w.t mengetahui dengan ilmu. Oleh karena itu, mustahil ilmu Allah itu zat-Nya. Jika Allah mengetahui dengan zat-Nya, maka zat-Nya itu merupakan pengetahuan.([4]) Dan mustahil al-‘ilm (pengetahuan) merupakan ‘ālim (yang mengetahui), atau al-‘ālim (yang mengetahui) merupakan al-‘ilm (pengetahuan), atau zat Allah diartikan sebagai sifat-sifat. Oleh karena mustahil Allah mengetahui dengan zat-Nya sendiri, karena dengan demikian zat-Nya adalah pengetahuan dan Allah sendiri adalah pengetahuan. Allah bukan pengetahuan (‘i1m) tetapi Yang Mengetahui (‘a>lim). Dengan demikian, menurut al-Asy’ari, Allah mengetahui dengan pengetahuan dan pengetahuan-Nya bukanlah zat-Nya. ([5])
Demikian juga, kata al-Asy’ari, Allah mempunyai sifat al-qudrah,([6]) Ini berdasarkan firman Allah:
لوا من أشد منا قوة أولم يروا أن الله الذى خلقهم هو أشد منهم قوة[7] وقا
Terjemahnya:
Siapakah yang lebih besar kekuatannya dari Kami? Tiadakah mereka melihat bahwa Allah yang menciptakan mereka lebih besar kekuatan-Nya dari pada mereka.
Ayat al-Qur’an (41:15) ini, menurut al-Asy’ari, menunjukan bahwa Allah S.w.t memiliki sifat al-qudrat.([8]) Selain itu, al-Asy’ari juga menyebutkan sifat-sifat sama’, bas}ar, kala>m, haya>h, dan ira>dah.[9] Sifat-sifat ini berdasarkan kepada dalil qiya>s yaitu menganalogikan antara yang tidak dilihat (al-ghayb) dengan masalah yang boleh dilihat (al-sya>hid). Karena bentuk dalil tidak berbeda antara yang ghayb dengan yang sya>hid, dan juga tidak ada artinya seseorang itu ‘a>lim dengan sebenarya melainkan ada ilmu. ([10])
Selanjutnya, al-Asy’ari mengatakan bahwa nama Allah itu termanifestasi dari sifat-sifat-Nya. Karena itu, mestilah menetapkan sifat-sifat itu kepada-Nya, seperti dikatakan bahwa Allah itu ‘a>lim maka ia adalah diambil dari perkataan ‘ilmi; apabila kita katakan bahwa Allah itu qadi>r maka ia diambil dari perkataan qudrah; begitu juga dengan sebutan hayy, maka ia adalah dari perkataan hayah; demikian pula dengan sifat muri>d, ia merupakan manifestasi dari perkataan ira>dah. ([11]) Begitulah seterusnya dengan sifat-sifat Allah yang lain seperti sifat sami> adalah diambil dari perkataan sama’, sifat bas}i>r dari perkataan bas}ar. ([12])
Selain dari sifat-sifat tersebut di atas, al-Asy’ari juga menyebutkan sifat-sifat yang lain bagi Allah, yaitu sifat al-baqa>’ dan mukha>lafatuh Ta’a>la lil H}awa>dis\ ([13]) Al-Asy’arimenyatakan bahwa al-baqa>’ adalah sifat yang za>id daripada zat, sama halnya dengan sifat ‘ilm. Begitu pula dengan sifat mukha>lafatuh Ta’a>la lil H}awa>dis\, al-Asy’ari menyatakan bahwa Allah S.w.t tidak diserupai oleh sesuatu dan tidak menyerupai sesuatu pula; sekiranya Ia menyerupai sesuatu maka hukumnya akan serupa dengan yang baru, dan sekiranya menyerupainya, maka tidak sunyi dari pada yang baru, baik menyerupai semua segi ataupun sebagiannya. Karena itu, mustahil yang baru akan jadi qadi>m.[14]
Di samping itu, al-Asy’ari juga memasukkan perkataan al-Wahda>niyyah ke dalam pembahasan sifat Allah. Di antara alasan-alasan yang dikemukakannya ialah firman Allah:
لو كان فيهما آلهة الا الله لفسدتا[15]
Terjemahnya:
Kalau sekiranya di langit dan di bumi ada Allah-Allah selain daripada Allah, sudah tentu keduanya menjadi rusak binasa...
Menurut al-Asy’ari, sifat-sifat Allah itu adalah berdiri sendiri (qa>imah bi Z|a>tih).([16]) Karena itu, kata al-Asy’ari Allah mempunyai wajah, ([17]) seperti yang terlihat dalam firman Allah s.w.t yang berbunyi:
و يبقى وجه ربك ذو الجلال والاكرام[18]
Terjemahnya:
Dan wajah Allah engkau akan tinggal tetap (selamanya), yang Besar dan Mulia.
Seterusnya, al-Asy’ari menyatakan bahwa Allah juga mempunyai tangan dan mata, yang semuanya itu tidak akan hancur. ([19]) Argumen ini berdasarkan kepada firman Allah s.w.t kepada Iblis:
ما منعك أن تسجد لما خلقت بيدى[20]
Terjemahnya:
Apakah yang menghalangi engkau tiada mau tunduk kepada orang yang telah Aku ciptakan dengan tangan-Ku.
Demikian juga Firman Allah S.w.t:
الفلك بأعيينا ووحينا[21] واصنع
Terjemahnya:
Dan buatlah kapal, dengan pengawasan (penglihatan) dan wahyu Kami.
Pandangan al-Asy’ari tersebut merupakan bantahan terhadap pendapat Jahmiyah dan Muktazilah yang menolak untuk menetapkan Allah mempunyai wajah, pendengaran, penglihatan, dan mata. Karena, menurut mereka, Allah tidak dapat disifati dengan sifat-sifat yang terdapat pada ciptaan-Nya, sebab, yang demikian merupakan tasybi>h. ([22]) Oleh karena itu, mereka mengartikan kata “ yad” seperti yang terdapat dalam surah S}a>d 38:75 dengan al-ni’mah dan al-qudrat bukan dengan tangan. Sebagai penentang Muktazilah, sudah tentu al-Asy’ari menolak pendapat yang demikian.
Al-Asy’ari berpendapat, mengartikan “yad” dengan al-ni’mah tidak sesuai dengan kaedah bahasa Arab dan bertentangan dengan ijmak kaum Muslimin. ([23]) Di samping itu, mengartikan “yad” dengan qudrat maka ia kontradiksi dengan paham Muktazilah sendiri yang tidak mau menetapkan Allah mempunyai satu qudrat, apalagi dua qudrat. Demikian juga jika kata “biyadayya”, yang terdapat dalam surah S}a>d 38:75, diartikan dengan qudrat bermakna tidak ada lagi keistimewaan (al-maziyyah) Adam daripada Iblis, sedangkan Allah Terjemahnya mengistimewakan Adam, bukan Iblis, tatkala Allah menciptakan Adam dengan tangan-Nya([24]). Di antara alasan-alasan yang dikemukakan oleh al-Asy’ari ialah bahwa al-Qur’an diturunkan dengan bahasa Arab dan bukan dengan bahasa lain, selain bahasa Arab. ([25]) Hal ini diperkuat oleh firman Allah s.w.t:
أرسلنا من رسول الا بلسان قومه[26] وما
Terjemahnya:
Dan Kami tiadalah mengutus seorang Rasul, melainkan dengan bahasa kaumnya (bahasa Arab).
Juga firman Allah:
لسان الذى يلحدون اليه أعجمى وهذا لسان عربي مبين[27]
Terjemahnya:
Padahal bahasa orang yang mereka tuduhkan itu ialah bahasa lain, sedangkan al-Qur’ān ini dalam bahasa Arab yang terang.
Dari uraian di atas, dapat diambil suatu ketegasan bahwa, dalam paham al-Asy’ari sifat-sifat Allah adalah sebagaimana, yang tertera dalam al-Qur’an dan Hadis. Sifat-sifat tersebut merupakan sifat-sifat yang sesuai dengan zat Allah sendiri dan sekali-kali tidak menyerupai sifat-sifat makhluk. Allah melihat tidak seperti makhluk. Begitu pula Allah mendengar, juga tidak seperti makhluk, bahkan al-Asy’ari berpendapat bahwa Allah mempunyai muka, tangan, mata dan sebagainya tanpa ditentukan bagaimana (bilā kayf).
Al-Ba>qila>ni seorang tokoh al-Asy’ariyyah, membagi sifat Allah kepada dua yaitu sifat zat dan sifat perbuatan[28]. Sifat Zat ialah sifat yang menunjukkan kepada zat Allah, yaitu; al-h}aya>h, al-qudrah, al-‘ilm, al-ira>dah, al-sama’, al-bas}ar, al-kalām dan al-baqā’.([29]) Begitu juga sifat al-wajh, al-‘ayna>yn, al-yadayn. ([30]) Manakala sifat-sifat al-sakhiy’, muh}ib, mubghid, ra>d}in, muwa>li, mua>di, rah}i>m dan rahma>n, adalah sifat-sifat yang kembali kepada sifat irādah.([31])
Sifat fi’il ialah sifat yang menunjukkan kepada perbuatan Allah, ([32]) yaitu terdiri dari al-khalq, al-rāziq, al-‘adl, al-ih}sa>n, al-tafad}d}ul, al-ni’am, al-tawwāb, al-‘iqāb, al-h}asyr, al-nashr dan sebagainya.([33]) Keberadaan Sifat-sifat ini, tergantung kepada keberadaan Allah. Hanya tas}awwur sifa-sifat itu bagi diri-Nya adalah qadīm, karena kalam Allah adalah qadīm. ([34])
Dalam menentukan sifat zāid bagi Allah, al-Ba>qilla>ni> menolak pendapat Abī Hāshim yang menetapkan al-h}a>l, bahkan beliau menjelaskan bahwa Allah h}ayy, ‘’a>lim, qadīr, murīd, samī’, basīr, dan mutakallim dengan adanya h}ayah, ‘ilm, qudrah, irādah, bas}ar, sama’ dan kalām, berdasarkan qiya>s dari yang shāhid kepada yang ghayb, ([35]) dan dalil-dalil lain yang telah diutarakannya dalam kitab “al-Tamhīd”.([36])
Al-Ba>qillāni dalam membincangkan sifat al-wujud, beliau membagi al-wujud kepada dua bagian yaitu: Pertama, wujud kekal yang sentiasa qadi>m, yakni Allah dan sifat-sifat zat-Nya yang terdapat pada zat-Nya dan sentiasa menyifati-Nya. Kedua, wujud baru (muhdas\), menurut al-Baqilla>ni>, adalah wujud yang pada mulanya tidak ada kemudian ada. Kemudian al-Baqilla>ni> membagi wujud baru kepada tiga bagian, yaitu jism, jawhar dan ‘arad}. Menurut al-Ba>qilla>ni>, alam ini adalah baru karena terdiri dari jism, jawhar dan ‘arad}, yang bergerak setelah diam, terpisah setelah berkumpul, berubah keadaannya dan sifat-sifatnya. ([37]) Kebaruan alam ini, menurut al- Ba>qilla>ni, berhajat kepada yang menjadikannya dan yang menjadikan alam ini bukanlah sesuatu yang berasal daripada alam, ia bahkan berlainan daripada alam, dan ia mestilah bersifat qadīm([38]) Menurut al- Ba>qilla>ni, Allah tidak mempunyai persamaan dengan alam, baik jenis maupun bentuknya, karena apabila Ia mempunyai persamaan dengan alam, berarti hanya ada dua kemungkinan, yaitu, Allah baru atau alam qadīm seperti Dia. Manakala kedua kemungkinan itu mustahil kejadiannya, karena itu, semua yang mawjud selain daripada Allah adalah baru. ([39])
Menurut al- Ba>qilla>ni, Allah dikatakan hayy karena Ia hidup, dikatakan qadīr karena Ia berkuasa, dan dikatakan ‘a>lim karena Ia mengetahui. Begitu pula Allah dikatakan fā>’il karena Ia berbuat, murīd karena la berkehendak. Allah tidak dikatakan fā’il murīd apabila Ia tidak ada perbuatan dan kehendaknya. Menurut al- Ba>qilla>ni, Sifat-sifat Allah, seperti ‘ilm dan qudrah dapat diketahui melalui perbuatan-Nya yang menunjukan bahwa la mengetahui dan berkuasa, tidak bodoh dan tidak lemah.([40])
Sifat-sifat Allah bukan merupakan tambahan terhadap zat-Nya. Oleh sebab itu, menurut al- Ba>qilla>ni, sifat-sifat Allah bukanlah merupakan sesuatu yang lain daripada zat-Nya. ([41]) Sifat adalah sesuatu yang terdapat pada yang disifati. Sifat-sifat Allah itu qadīm, tidak baru. Apabila sifat-Nya baru maka termasuk jenis sifat-sifat makhluk.([42]) Selanjutnya, al- Ba>qilla>ni tidak membedakan antara asma' (nama-nama) Allah dan sifat-sifat-Nya. Dalam al-Qur’an, Allah memiliki beberapa nama. Ini berarti Allah mempunyai sifat yang bermacam-macam, sebagian mengenai zat-Nya, dan sebabagian mengenai perbuatan-Nya. Karena itu, ada sifat zat dan ada sifat perbuatan([43])
Selanjutnya, al- Ba>qilla>ni menyatakan bahwa asma' Allah terbagi kepada dua. Pertama, Asma' yang kembali kepada zat-Nya, seperti mawjūd, qadīm, wa>h}id dan yang seumpamanya. Kedua, Asma' yang merupakan sifat zat dan sifat perbuatan bagi-Nya. Sifat zat seperti al-‘ilm, al- qudrah dan al-haya>h. Manakala Sifat perbuatan seperti al- ‘adl, al-muh}sin, dan al-mutafa>’il([44]). Menurut al- Ba>qilla>ni, al-ism berasal dari kata samā, yasmū, yang berarti nama atau panggilan bagi sesuatu zat, atau sifat yang berhubungan dengan zat. Dengan demikian, memberikan nama atau sifat kepada Allah, menurut al- Ba>qilla>ni bukanlah berarti al-tasmiyyat (penamaan) seperti yang diakui oleh Muktazilah. ([45])
Kemudian, al- Ba>qilla>ni mengatakan bahwa Allah adalah wāh}id, artinya tidak ada tuhan selain Allah; tidak ada yang patut disembah selain Dia. Wāh}id tidak dalam pengertian bilangan. Allah dikatakan wāh}id, maksudnya tidak ada yang menyerupai-Nya dan tidak ada yang setara dengan-Nya. dengan kata lain, tidak ada yang patut dijadikan tuhan selain Allah s.w.t ([46]) sesuai dengan firman Allah S.w.t yang berbunyi:
انما الله اله واحد[47]
Terjemahnya:
Sesungguhnya Allah itu adalah Allah Yang Maha Esa.
Begitu juga dengan firman Allah S.w.t:
لو كان فيهما آلهة الا الله لفسدتا[48]
Terjemahnya:
Sekiranya ada di langit dan di bumi Allah selain Allah, tentulah keduanya itu telah rusak binasa.
Di samping itu, al- Ba>qilla>ni menyatakan bahwa Allah menyifati diri-Nya sendiri dengan al-h}ayāh sesuai dengan firman-Nya:
هو الحي القيوم[49]
Terjemahnya:
Dia yang hidup kekal lagi terus menerus mengurus makhluk-Nya.
Menurut al- Ba>qilla>ni, suatu perbuatan mustahil terjadi dari sesuatu yang mati. Allah S.w.t berbuat dan menghendaki sesuatu. Oleh karena itu, mestilah Ia hidup.([50]) Allah juga berkuasa terhadap semua yang ada, sesuai dengan firman-Nya yang berbunyi:
وهو على كل شيئ قدير[51]
Terjemahnya:
Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu.
Karena itu, Allah, menurut al- Ba>qilla>ni, mampu menciptakan segala yang ada dan mengetahui semua yang terjadi.[52] al- Ba>qilla>ni juga menyatakan bahwa Allah menghendaki semua yang terjadi[53] dan yang terjadi itu mestilah dapat diterima akal, berdasarkan keteraturan-Nya dari segi waktu, tempat dan masa, sehingga perbuatan A terjadi sebelum perbuatan B, perbuatan C terjadi setelah perbuatan B. Perbuatan A terjadi di suatu tempat sedangkan perbuatan B terjadi di tempat yang lain dan seterusnya. ([54]) Selain itu, Allah juga Maha Mendengar dan Maha Melihat. Menurut al- Ba>qilla>ni, jika Allah tidak bersifat mendengar dan melihat mestilah Allah tuli dan buta. Namun, Allah S.w.t terhindar dari sifat yang demikian ([55]) dengan Firman-Nya:
وهو السميع البصير[56]
Terjemahnya:
Dan Dialah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat.
Di samping itu, menurut al- Ba>qilla>ni, Allah Mutakallim (berkata-kata). Perkataan-Nya bukan makhluk dan tidak muh}das\ (baru). ([57]) Rasulullah S.a.w. menegaskan dalam sabdanya:
([58])فضل كلام الله على كلام الخلق كفضل الخالق على المخلوق
Terjemahnya:
Keutamaan kalam Allah atas kalam-kalam yang lain seperti keutamaan Allah atas ciptaan-Nya.
Allah S.w.t juga bersifat qidam dan al-baqā'. Menurut al-Ba>qilla>ni, Allah adalah yang pertama sebelum ada segala makhluk dan kekal sesudah semua makhluk binasa. Pendapatnya ini didasarkan pada ayat al-Qur’ān:
كل شيئ هالك الا وجهه[59]
Terjemahnya:
Tiap-tiap sesuatu pasti binasa kecuali Allah.
Hal ini semakin jelas ketika al-ba>qilla>ni memperkuat pendapatnya dengan ayat yang berbunyi:
ويبقى وجه ربك ذو الجلال والإكرام[60]
Terjemahnya:
Dan tetap kekal zat Tuhanmu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan.
Menurut al-Ba>qilla>ni, sifat al-Baqā' dimasukkan ke dalam sifat Zat.([61]) al- Ba>qilla>ni mengatakan bahwa Allah S.w.t mengetahui dengan ilmu-Nya yang qadi>m. Ilmu Allah tidak bersifat d}aru>ri> sebab yang demikian adalah sifat dari ilmu manusia. ([62]) Demikian pula Allah mampu berbuat dengan qudrah-Nya yang qadi>m. Qudrah Allah tidak bersifat istit}ā’ah, sebab yang demikian juga merupakan sifat manusia. Allah juga mendengar dengan pendengaran-Nya yang qadi>m. Pendengaran Allah tidak melalui anggota tubuh seperti manusia. Penglihatan-Nya tidak seperti manusia, dan kalam-Nya juga tidak dengan anggota tubuh, sebab yang demikian adalah sifat manusia. Ringkasnya, sifat-sifat Allah adalah qadi>m, selalu menyifati-Nya dan tidak sama dengan sifat-sifat makhluk. ([63]) Permyataan ini berdasarkan firman Allah S.w.t yang Terjemahnya “Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia”[64].
Dari uraian di atas dapat ditegaskan bahwa sifat-sifat Allah, menurut al-Ba>qilla>ni, bukanlah sesuatu yang berada di luar zat-Nya atau sesuatu yang melekat pada zat-Nya. Beliau menyamakan sifat dengan nama sehingga tidak membawa pengertian yang merusak keesaan Allah. Dalam konteks ini, al- Ba>qilla>ni memandang bahwa Allah mengetahui dan berkuasa dengan zat-Nya karena baginya sifat tidak terpisah dari zat.([65]) Dengan demikian, pemahaman al- Ba>qilla>ni tentang sifat-sifat Allah tidak lagi seperti pendapat al-Asy’ari yang menyatakan bahwa; karena Allah ‘a>lim, qadi>r, murīd, qā’il, maka Allah mempunyai ‘i1m, qudrat, irādah, dan qawl yang merupakan sifat-sifat bagi-Nya. Sifat-sifat-Nya qadīm. ([66]) dan berada pada zat ([67]). Menurut al- Asy’ari, Allah tidak mengetahui kecuali dengan ilmu-Nya. Demikian pula Allah tidak berkuasa kecuali dengan kudrat-Nya. Allah tidak berkehendak kecuali dengan ira>dah-Nya. Pandangan yang demikian, menurut al- Ba>qilla>ni, membawa kepada paham ta’addud al-qudamā', sehingga ada beberapa yang qadīm selain Allah[68].
Selanjutnya, al-Juwaini, dikenal dengan sebutan Ima>m al-h}aramayn, seorang tokoh al-Asy’ariyyah dan salah seorang guru Imam al-Ghaza>li>, juga tidak ketinggalan dalam membincangkan masalah sifat Allah. Dalam bukunya al-Irsya>d, beliau memulakan pembahasannya tentang sifat-sifat Allah dengan membagikan sifat Allah kepada yang wajib, mustahil dan jaiz bagi Allah. Beliau mengatakan bahwa yang menjadikan alam adalah bersifat Berkuasa Memilih, bukannya bersifat wajib. ([69]) Manakala masalah yang mustahil bagi Allah ialah segala sifat yang ada pada makhluk Allah. ([70]) Sedangkan masalah yang wajib bagi Allah ialah sifat qadīr, murīd, 'alīm, dan hayy, ([71]) demikian pula sifat al-kalām dan mutakallim, samī’, bas}īr, baqā' dan qidam. ([72]) Selanjutnya, Al-Juwaini membagikan Sifat-sifat wajib bagi Allah kepada dua bagian yaitu: Sifat-sifat nafsiyyah dan sifat-sifat ma’nawiyyah.
Yang dimaksud dengan sifat-sifat nafsiyyah ialah sifat-sifat yang ada pada diri (nafs), yang ada karena adanya diri tersebut. Sifat-sifat itu bukanlah terjadi akibat dari sesuatu sebab yang ada pada maws}ūf (yang disifati).([73]) Adapun yang termasuk sifat-sifat nafsiyah ini, menurut al-Juwaini> adalah al-wuju>d. Status alam yang baru membawa pengertian bahwa pasti ada pembuatnya. Pembuat alam yang berstatus baru ini tidak mungkin tidak ada. Sesuatu yang tidak ada mustahil menyebabkan adanya alam. Sesuatu yang tidak ada ialah tidak ada secara murni. Karena alam ini ada, maka pastilah pembuatnya juga ada (mawjūd). Wujud, menurut al-Juwaini> bukan dianggap sifat tetapi zat itu sendiri. ([74])
Selanjutnya, sifat al-qidam. Menurut al-Juwaini, pembuat alam itu tidaklah baru tetapi qadim yang berarti tidak ada permulaan bagi wujudnya. ([75]) Jika Pembuat (Allah) itu baru maka la akan memerlukan kepada pembuat yang lainnya. Untuk menghindari hal semacam ini, maka mestilah ada pembuat yang qadim. Pembuat yang qadim ini adalah zat yang tidak memerlukan pada pembuat yang lain. Dialah Allah, karena Ia tidak memerlukan apapun termasuk pembuat dan tempat, maka Ia pasti berdiri sendiri (Qiyāmuh bi nafsih). Artinya Allah sama sekali tidak memerlukan pada sesuatu apapun jua. ([76]) Karena Allah tidak memerlukan pada apapun jua, maka pastilah Ia tidak sama dengan yang baru (al-mukha>lafah li al-h}awa>dis\). ([77]) Jadi, sifat zat yang ada pada Allah berbeda sama sekali dengan sifat yang ada pada makhluk. Wujud Allah qadim, sedangkan wujud makhluk baru. Allah baqā' (kekal), sedangkan makhluk fanā' (binasa) dan seterusnya.
Sifat Allah lainnya ialah al-wahdāniyyah. Artinya Allah itu benar-benar Esa. Tidak menerima pembagian dan juga tidak ada yang menyamainya sama sekali. Allah tidak terdiri dari sebuah susunan (laisa bi mucallaf). Jika Allah terdiri dari suatu susunan, masing-masing bagian dari susunan itu berdiri sendiri dan mempunyai sifat mengetahui, berkuasa dan hidup, maka hal itu menyebabkan terdapatnya Allah lebih dari satu. ([78]) Dengan demikian, Allah tidak lagi Esa tetapi banyak. Karena itu, tidak mungkin Allah terdiri dari bagian-bagian yang tidak bersifat ke-Tuhan-an.
Seterusnya, sifat nafsiyah lainnya ialah baqā' (kekal). Artinya ialah wujud Allah itu ada secara terus menerus (mustamir al-wuju>d). Segala sesuatu yang menunjukkan akan qidam-Nya Allah, mustahil ketiadaan Allah dan wajib adanya Allah, semuanya itu menandakan bahwa Allah itu kekal (baqā). ([79]) Semua sifat Allah tersebut di atas, yakni wujud, qidam, mukha>lafatuh li al-h}a>wādis\, aI-qiyam bi nafsih, dan al-wah}da>niyyah, merupakan sifat-sifat yang tergolong kepada sifat nafsiyah Allah. Sifat-sifat tersebut, menurut al-Juwaini, bukan termasuk sifat-sifat ma’nawiyyah. Sifat-sifat nafsiyyah ini pada hakikatnya adalah zat Allah itu sendiri. Sedangkan sifat-sifat ma’nawiyyah adalah sifat-sifat yang berupa makna yang bertambah pada zat Allah. ([80])
Selain dari sifat-sifat tersebut, al-Juwaini juga menerangkan masalah-masalah yang mustahil bagi Allah. Di antaranya, beliau mengatakan bahwa Allah tidak ber-tah}ayyūz dan ber-takhas}s}us} di sesuatu jihhah, Allah bukan jisim, dan Allah tidak boleh menerima ‘arad}, dan tidak menerima sesuatu yang baru dan mustahil Allah sebagai jawhar. ([81])
Dalam membincangkan sifat ma’nawiyyah, beliau membagikan kepada dua bagian yaitu: Pertama, menetapkan tentang hukum sifat, ([82]) yakni apa yang dinamakan dengan sifat ma’nawiyyah. Kedua, menetapkan pengetahuan tentang sifat yang mewajibkan bagi hukum-hukum sifat itu, ([83]) yakni apa yang dinamakan dengan sifat ma’a>ni. Dalam menetapkan sifat-sifat ma’nawiyyah, al-Juwaini membawakan dalil-dalil secara akal di samping dalil dari al-Qur'an. ([84]) Sifat Yang dikategorikan ke dalam sifat ma’nawiyyah ialah qadīr, ‘ali>m, h}ayy, murīd, samī’ bas}i>r, dan mutakallim.[85]
Menurut al-Juwaini, sifat-sifat ma’nawiyyah ialah hukum-hukum yang terdapat pada maus}u>f. Hukum-hukum itu ada sebagai akibat dari sebab yang terdapat pada maus}u>f seperti keadaan mengetahui bagi orang yang mengetahui merupakan akibat daripada pengetahuan yang terdapat pada orang yang mengetahui tersebut. ([86]) Demikian pula halnya dengan sifat-sifat ma’nawiyyah lainnya seperti berkuasa, berkehendak, hidup, berbicara, mendengar dan melihat.
Dalam membahas sifat-sifat ma’nawiyyah Allah, al-Juwaini memulai dengan sifat berkuasa. Beliau mengatakan bahwa Allah itu Berkuasa. Ini dapat dilihat pada keteraturan, keseimbangan dan keserasian alam yang diciptakan, penuh dengan hikmah, sehingga akal berkesimpulan bahwa pengatur yang demikian itu pasti berkuasa dan pandai. Tidak mungkin semua ini timbul dari pengatur alam yang lemah dan bodoh. Pengatur alam yang pandai dan berkuasa itu pasti hidup dan tidak mungkin Ia mati sebab yang mati tidak dapat berkuasa. Selanjutnya, pengatur alam yang berkuasa, pandai dan hidup itu pasti mempunyai kehendak. Ia tidak mungkin boleh mengatur alam sedemikian rupa tanpa memiliki kehendak. Setiap sesuatu yang berkuasa pasti berbuat menurut kehendaknya. ([87]) Demikian juga halnya dengan Allah, karena Ia berkuasa maka sudah pasti Allah berbuat menurut kehendak-Nya.
Selanjutnya, dalam menetapkan sifat-sifat al-ma’a>ni>, Al-Juwayni terlebih dahulu menetapkan al-ah}wa>l, karena dengan menetapkan al-ahwāl ini akan menetapkan sifat-sifat al-ma’a>ni> ([88]). Al-Ah}wa>l ialah sifat yang ada pada mawjūd, tetapi tidak disifati dengan wujud dan juga bukan ma’dūm, bukan yang diketahui (ma’lūm) dan juga bukan yang tidak diketahui (majhūl). ([89]) Al-ahw}a>l ini sebagai hasil dari interpretasinya tentang “Allah mengetahui melalui essensi-Nya”, dalam pengertian bahwa Allah mempunyai keadaan (ahwa>l). Keadaan ini merupakan sifat yang diketahui ada di balik keberadaan-Nya secara zat mawjūd. Sifat ini baru dapat diketahui apabila berada bersama dengan zat dan tidak boleh diketahui bila bersendiri. Dengan kata lain, tidak dapat diketahui kecuali bersama dengan zat.([90])
Menurut al-Juwaini, al-ah}wa>l itu ada dua macam, yaitu; Pertama, al-ah}wa>l yang boleh menimbulkan akibat pada zat. Artinya, setiap sifat yang timbul pada zat akibat adanya makna yang ada padanya. Seperti keadaan hidup hayyan) mengakibatkan orang yang berada dalam keadaan itu disebut dengan orang hidup (h}ayy). Keadaan berkuasa (qadi>ran) mengakibatkan orang yang berada dalam keadaan berkuasa itu disebut sebagai orang yang berkuasa (qādir). ([91])
Kedua, al-ah}wāl yang tidak menimbulkan akibat, yakni setiap sifat is\ba>t bagi zat yang tidak menjadi sebab bertambahnya sifat pada zat. Seperti keadaan hitam, tidak selalu menyebabkan orang yang berada dalam keadaan hitam disebut dengan si hitam. ([92]) Demikian pula sesebaliknya.
Yang termasuk di dalam sifat ma’ani>, menurut al-Juwaini adalah ahwāl bentuk pertama. Dalam hal ini, al-Juwaini menganalogikan antara yang ghayb, yakni Allah dan yang Syāhid, makhluk. Ah}wāl ini tidak dapat diketahui tanpa adanya zat, ia tidak berdiri sendiri dan tidak mempunyai wujud tersendiri. Akan tetapi, pengertian yang ada pada ahwāl tidak sama dengan pengertian yang ada pada zat. Jadi, dapat dikatakan bahwa sifat-sifat Allah itu bukanlah Allah, tetapi juga bukan lain dari Allah, sebab keberadaannya bergantung kepada keberadaan Allah dan tidak mempunyai wujud tersendiri.
Hubungan antara Allah dan sifat-sifat-Nya, oleh al-Juwaini, dikatakan seperti hubungan antara suatu Z|at dan ahwāl, dan boleh dianologikan dengan keadaan hubungan antara jawhar dan ‘arad}. Menurut al-Juwaini, sebuah jawhar wujud, dan wujud tersebut tidak dapat diketahui dengan indera. Karena itu, konsep tentang jawhar pada hakikatnya hanya ada dalam fikiran. Jawhar baru boleh terwujud dalam kenyataan setelah ada ‘arad} yang menempel padanya. ‘arad} tidak berdiri sendiri, karena tidak mempunyai substansi dan wujud tersendiri. ‘arad} baru dapat diketahui ketika menempel pada jawhar. Wujud jawhar tidak mendahului ‘arad} dan wujud ‘arad} juga tidak mendahului jawhar. Keduanya wujud secara bersamaan dan tidak saling mendahului satu sama lain. Karena wujud keduanya bersamaan, maka sifat yang ada pada keduanya juga sama. Meskipun keduanya terwujud bersamaan, namun jawhar tidak boleh disebut sebagai ‘arad}, dan ‘arad} tidak juga boleh disebut sebagai jawhar.
Dari keterangan di atas dapat dipahami bahwa, Allah secara essensi wujud; wujud Allah ada sejak qidam. Sifat-sifat Allah merupakan makna yang ada pada zat Allah. Sifat-sifat itu tidak wujud sendiri, maka keberadaannya bergantung pada wujud Allah. Sifat-sifat itu ada bersamaan dengan wujud Allah. Karena Allah qadim maka keadaan sifat itu juga qadim. Essensi Allah dan sifat itu bukanlah dua buah wujud yang berasingan menjadi satu, juga bukan dua wujud yang berasingan sehingga boleh terpisah satu sama lain. Karena sifat itu qadim, maka tidak sama dengan ‘arad} yang ada pada jawhar. Sifat-sifat itu tidak pernah berubah, karena ada sejak azali. Makna itu tidak pernah terlepas dari zat Allah, maka tidak boleh dikatakan terpisah dari Allah. Begitu juga sesebaliknya, karena makna itu bukan merupakan sebuah unsur yang berdiri sendiri dan berasingan dari zat Allah, tetapi juga tidak dapat disebut sebagai Allah.
Selanjutnya, al-Ghaza>li menjelaskan sifat-sifat Allah dalam sepuluh prinsip dasar[93] dan pada perinsip pertama al-Ghaza>li menjelaskan tentang sifat kemahakuasaan Allah S.w.t dengan menggunakan dalil naqli dan aqli. Dalil naqli yang digunakan al-Ghaza>li adalah firman Allah s.w.t yang Terjemahnya “Dan dia Mahakuasa atas segala sesuatu”.[94]
Secara aqli, menurut al-Ghaza>li, apa yang difirmankan Allah tersebut adalah benar karena alam raya ini ditentukan oleh kebijakan ciptaan-Nya. Barang siapa melihat pakaian dengan tenunan yang sangat baik dan halus, dengan model yang indah dan menarik, kemudian ia mengira bahwa baju yang cukup baik ini hasil produksi orang mati yang tidak memiliki kekuatan apapun atau hasil produksi yang tidak memiliki hasil keahlian sama sekali, berarti ia telah lepas dari jalur fikiran sehat dan terpola dalam perilaku orang-orang bodoh dan dungu.[95]
Kedua, Mengetahui bahwa Allah S.w.t. Maha Mengetahui segala apa yang ada dan memahami secara terperinci dan menyeluruh terhadap segala makhluk-Nya. Dalam hal ini al-Ghaza>li mengutip ayat al-Qur’an:
وما يعزب عن ربك من مثقال ذرة فى الأرض ولا فى السماء[96]
Terjemahnya:
Tidak ada yang luput dari pengetahuan Tuhanmu biarpun sebesar zarrah (atom) di bumi ataupun di langit.
Ketiga, Mengetahui bahwa Allah S.w.t. Maha Hidup. siapa yang telah menetapkan bahwa Allah Maha Mengetahui, maka sudah pasti ia menetapkan akan Hidup-Nya yang Maha Kuasa. Sebab, apabila diasumsikan bahwa zat yang Maha Kuasa, Maha Mengetahui, Pembuat dan Pengatur itu tidak hidup, nescaya hewan yang berkeliaran akan diragukan kalau mereka itu hidup, bahkan akan meragukan hidupnya orang-orang yang boleh bekerja dan boleh membuat. al-Ghaza>li kemudian menegaskan bahwa pemikiran yang demikian itu berarti “tenggelam dalam gemilang kebodohan dan kesesatan”.[97]
Keempat, Mengetahui bahwa Allah S.w.t. Berkehendak terhadap segala perbuatan-Nya. Karena itu, menurut al-Ghaza>li, segala yang diwujudkan Allah ini adalah tergantung pada kehendak-Nya dan muncul dari keinginan-Nya, sebab Dialah Yang Maha Pencipta pertama, Yang mengembalikan, Maha melakukan segala yang dikehendaki.
Kelima, Mengetahui bahwa Allah S.w.t. Maha Mendengar lagi Maha Melihat. Karena itu, Menurut al-Ghaza>li, Tidak pernah ada sesuatu yang luput dari Penglihatan Allah, sekalipun itu hanya suara hati nurani, obsesi, fantasi dan fikiran. Tidak ada sesuatu yang terlewat dari Pendengaran Allah, sekalipun hanya suara dari gerakan semut hitam yang sedang merayap di atas bebatuan yang keras dan halus di tengah malam yang gelap-gulita.[98]
Keenam, Bahwa Allah S.w.t. Maha Berbicara dengan sifat kalam-Nya, yang merupakan sifat yang terkait dengan zat-Nya. Menurut al-Ghaza>li, Allah berbicara dengan tanpa suara dan huruf, bahkan pembicaraan-Nya tidak menyerupai dan tidak sama dengan perbincangan makhluk-Nya. Sebagaimana Wujud-Nya juga tidak sama dengan wujud yang lain-Nya.
Pada hakikatnya, sebuah perbincangan merupakan ekspresi isi jiwa. Manakala suara yang kemudian ditulis dengan huruf sebagai lambang bunyi (ujaran) hanyalah sebagai indikator-indikator yang menunjukkan isi jiwa tersebut. Sebagaimana terkadang isi jiwa itu diekspresikan dengan gerakan-gerakan dan isyarat-isyarat. Hal ini, bersesuaian dengan sebuah syair yang berbunyi:
[99]ان الكلام لفى الفؤاد وانما . جعل اللسان على الفؤاد دليلا
Artinya:
Pembicaraan itu ada pada hati nurani, lidah hanyalah bukti apa yang ada dalam hati.
Ketujuh, Bahwa Kalam Allah itu secara esensial adalah Qadim, demikian pula dengan seluruh Sifat-sifat-Nya, karena mustahil Dia ditempati oleh sifat-sifat baru yang boleh berubah. Bahkan, menurut al-Ghaza>li, sudah seharusnya sifat-sifat itu secara esensial juga qadim sebagaimana zat-Nya yang qadim. Oleh sebab itu, Allah mesti tersucikan dari segala perubahan kondisi, karena segala sesuatu yang ditempati oleh hal-hal baru, ia tidak akan dapat lepas dari segala yang bersifat baru, sementara segala yang tidak boleh lepas dari sifat baru tentu ia juga baru.[100] Sifat-sifat baru itu, menurut al-Ghaza>li, hanya boleh dimiliki oleh segala bentuk jisim, karena mereka boleh berubah-ubah, sehingga sifatnya juga akan ikut berubah. Atas dasar ini, menurut al-Ghaza>li, Kalam Allah yang terkait dengan z\at-Nya adalah Qadim, manakala yang bersifat baru hanyalah suara bacaan yang menunjukkan Kalam Allah.[101]
Kelapan: Bahwa ilmu Allah adalah qadim. menurut al-Ghaza>li, Allah senantiasa mengetahui zat, sifat, dan segala yang diciptakan-Nya. Dengan demikian, meskipun makhluk-makhluk itu baru, namun ilmu Allah tidak menjadi baru karena keterkaitan dengan pengetahuan tentang makhluk yang baru terjadi itu. Akan tetapi, menurut al al-Ghaza>li, pengetahuan tentang makhluk itu sudah diketahui terlebih dahulu dengan ilmu-Nya yang azali. Al-ghaza>li memberi contoh yaitu kalau kita diberi kemampuan untuk mengetahui kedatangan si zaid pada saat terbitnya matahari misalnya, manakala peristiwa ini belum terjadi, kemudian ilmu pengetahuan tentang kedatangan si zaid itu masih terus ada pada diri kita, maka kedatangan Zaid ketika terbitnya matahari adalah sudah kita ketahui sebelumnya tanpa harus muncul pengetahuan baru, karena kedatangannya . Maka, menurut al-Ghaza>li demikian sayogianya keqadiman Ilmu Allah harus dipahami[102].
Kesembilan: Sifat ira>dah (Kehendak) Allah adalah qadim. Keqadiman ira>dah Allah, menurut al-Ghaza>li, terkait dengan penciptaan seluruh makhluk-Nya tepat pada waktunya masing-masing sesuai dengan ira>dah dan Ilmu-Nya yang azali.
Kesepuluh: Allah S.w.t Maha Mengetahui dengan Sifat ilmu, Maha hidup dengan Sifat h}aya>h, Maha kuasa dengan sifat qudrah, Maha Berkehendak dengan sifat ira>dah, Maha Berbicara dengan sifat kala>m, Maha Mendengar dengan sifat sama’, Maha Melihat dengan Sifat bas}ar. Sifat-sifat ini, menurut al-Ghaza>li, adalah qadim.[103] Manakala pendapat yang menyatakan bahwa “Allah Maha Mengetahui dengan tanpa harus adanya sifat ‘ilmu”, menurut al-Ghaza>li, adalah sama dengan pernyataan, “Kaya dengan tanpa harta, ilmu tanpa ada orang yang pandai, dan orang pandai tanpa harus ada objek yang perlu diketahui.” [104]
Sesungguhnya ilmu pengetahuan, objek ilmu pengetahuan dan orang yang berpengetahuan, menurut al-Ghaza>li, adalah saling terkait. Seperti pembunuhan, sasaran yang dibunuh atau korban dan orang yang membunuh adalah tiga hal yang saling terkait. Maka tidak boleh dibayangkan bagaimana terjadi ada pihak yang membunuh tanpa ada korban pembunuhan. Tidak pula boleh digambarkan ada korban pembunuhan tanpa ada pihak yang membunuh dan terjadinya pembunuhan.
Demikian pula, kata al-Ghaza>li, tidak boleh dibayangkan, ada orang pandai tanpa ilmu pengetahuan, dan ada ilmu pengetahuan tanpa ada objek ilmu pengetahuan, ada objek ilmu pengetahuan tanpa ada orang pandai. Bahkan ketiga-tiga unsur ini, menurut al-Ghaza>li, saling terkait dan merupakan keharusan menurut akal, karena sebagian tidak boleh terlepas dari yang lain.[105]
Dari keterangan di atas dapat dipahami bahwa uraian-uraian al-Ghaza>li tentang sifat-sifat Allah terinspirasi dari fikiran-fikiran pendahulunya dari kalangan al-Asy’ariyyah terutama menyangkut keqadiman sifat-sifat Allah S.w.t
Pembahasan mengenai sifat-sifat Allah ini terus menjadi isu krusial di kalangan tokoh-tokoh al-Asy’ariyyah di kemudian hari, ia tidak pernah luput dari setiap perbincangan yang diketengahkan oleh para penerus al-Asy’ariyyah, seperti Fakhr al-Di>n al-Ra>zi>(w.606 H.) dan Abd al-Rahmān al-I>ji>(w.756 H.).
Pada kurun kesembilan terdapat pembatasan persoalan sifat kepada Dua Puluh sifat. Kitab yang pertama dalam membicarakan sifat Dua Puluh ialah Kitab “Umm al-Barāhi>n”, yang dikarang oleh Abu> Abd Allah Muhammad Yūsuf al-Sanūsi> (w.895 H)([106]) seorang tokoh al-Asy’ariyyah. Di dalam kitab tersebut terdapat nas yang jelas menunjukkan kepada sifat ‘dua puluh’. Walaupun demikian, beliau tidaklah berpendapat bahwa sifat Allah itu hanya terbatas kepada dua puluh sifat itu saja, karena sifat ‘dua puluh’ hanyalah merupakan sebagian di antara sifat-sifat Allah yang wajib diketahui oleh orang Islam. [107]
Adapun dua puluh sifat yang wajib bagi Allah dapat dibagi kepada empat bagian yaitu: Pertama, sifat Nafsiyyah yaitu al-wuju>d. Kedua, sifat salbiyyah yaitu qidam, baqa>, mukha>lafatuh li al-hawa>dis\, qiya>muh bi nafsih, wahda>niyyah. Ketiga, sifat al-ma’a>ni> yaitu qudrah, ira>dah, ‘ilm, haya>h, sama’, bas}ar, dan kala>m. Keempat, sifat ma’nawiyyah, yaitu kaunuh ta’a>la qa>diran, kaunuh ta’a>la muri>dan, kaunuh ta’a>la> ‘a>liman, kaunuh ta’a>la> hayyan, kaunuh ta’a>la> sami>an, kaunuh ta’a>la> bas}i>ran, kaunuh ta’a>la> mutakalliman ([108])
Selanjutnya, setelah al-Sanu>si membincangkan sifat-sifat wajib bagi Allah, al-Sanūsī juga membincangkan sifat-sifat mustahil bagi Allah sebanyak dua puluh sifat, sebagai lawan daripada sifat-sifat yang wajib itu, kemudian ditambah satu lagi sifat yang disebut dengan sifat jaiz bagi Allah.([109])
[1] al-Asy’ari,al-Luma’, hal. 34. Juga al-Ghazali, a1-Iqtisad, hal. 198.
[2] al-Asy’ari, 1985, al-lbanah, hal. 88-95; juga, Maqalāt al-Islamiyyin, Jil. 1, hal. 244-245.
[3] Al-Qur’an, al-Nisā’ (4):166.
[4] al-Asy’ari,al-Luma’, hal. 30-31; Maqalat Islamiyyin, hal. 244.
[5] al-Asy’ari,al-Luma’, hal. 30-31;
[6] Ibid
[7] Al-Qur’an, Fussilat 41:15.
[8] al-Asy’ari,al-Luma’, hal. 4.
[9] Ibid, hal. 30-31.
[10] al-Syihristani, al-Milal, hal. 94.
[11] al-Asy’ari, al-Ibanah, hal. 151.
[12] Ibid, hal. 143.
[13] al-Asy’ari,al-Luma’, hal. 7-8.
[14] Ibid.
[15] Al-Qur’an, al-Anbiya' (21):22.
[16] Berbeda dengan pendapat kaum Muktazilah yang menyatakan bahwa sifat-sifat Tuhan tersebut adalah zat-Nya bukan sesuatu yang berdiri sendiri di belakang zat-Nya. al-Syihristani, hal. 82.
[17] al-Asy’ari, al-Ibanah, hal. 77-78.
[18] Al-Qur’an, al-Rahman (55):27. Wajah Tuhan, maksudnya adalah kebesaran, kemuliaan, kekuasaan Tuhan dan sifat-sifat Tuhan yang baik (al-asmā’ al-husna). Zainuddin Hamidi, 1987,al-Qur'ān dan terjemahan, Pulau Pinang, Nahdi, 789.
[19] al-Asy’ari, al-Ibanah hal. 77-78.
[20] Al-Qur’an, Sad 38:75.
[21] Al-Qur’an, Hud 11:37.
[22] al-Asy’ari, al-Ibanah hal. 78
[23] Ibid., hal. 80.
[24]Apabila Allah menciptakan Iblis seperti menciptakan Adam berarti Tuhan tidak mengistimewakan Adam. Sedangkan Allah, kata al-Asy’ari, mengistimewakan Adam dengan mencela Iblis atas kesombongannya yang tidak mau sujud kepada Adam. Ibid, hal. 81-85.
[25] Ibid, hal. 85.
[26] Al-Qur’an, Ibrahim 14: 4.
[27] Al-Qur’an, al-Nahl 16: 103.
[28] al-Bāqillāni, al-Tamhīd, hal. 262
[29] al-Baqillqni, 1963, al-Insāf, hal 23. juga, al-Tamhid, hal.263.
[30] Ibid., hal. 24.
[31] Ibid., hal.23
[32] al-Badawi, Madhāhib al-Islāmiyyīn, Jilid 1, hal. 612
[33] al-Bāqillāni, al-Tamhīd, hal. 262-263.
[34] Ibid., hal. 263.
[35] Ibid., hal. 197
[36] Ibid., hal. 197-199.
[37] Ibid., hal. 15.
[38] Ibid., hal. 23-25.
[39] Ibid., hal. 28.
[40] Ibid, hal. 227.
[41] Ibid.
[42] Ibid., hal. 245.
[43] Ibid., hal. 263.
[44] Ibid., hal. 261.
[45] Ibid., hal. 258.
[46] al-Bāqillāni, al-Insāf, hal. 30.
[47] Al-Qur’an, al- Nisā' (4) 171
[48] Al-Qur’an, al- Anbiyā’ (21) 22
[49] Al-Qur’an, al-Baqarah 2: 255.
[50] Al-Bāqillāni, al-Insāf, hal. 31
[51] Al-Qur’an, al-Mā’idah 5: 120
[52] Al-Bāqillāni, al-Insāf, hal. 31
[53] Sesuai dengan maksud Al-Qur’an, al-Burūj 85:16; al-Baqarah 2:185; al-Anfāl 8:67 dan. al-Nisā' 4:28. al-Bāqillāni, al-Insaf, hal. 32. 55
[54] al-Bāqillāni, Ibid, hal. 32.
[55] Ibid, hal. 33.
[56] Al-Qur’an, al-Shūrā 42: 11
[57] Sesuai dengan maksud al-Qur’an, al-Baqarah 2:253; al-Nisā' 4:164; al-An’ām 6:115;
[58] al-Tirmizi, Sunan al-Tirmizi, Bayrut: Dar al-Fikr, Jil.5, 1988, hal. 169.
[59] Al-Qur’an, al-Qasas 28: 88.
[60] Al-Qur’an, al-Rahman 55: 27
[61] al-Bāqillāni, al-Tamhīd, hal. 263.
[62] aI-BāqiIIāni, al-Insaf, hal. 33.
[63] Ibid.
[64]Al-Qur’an, al-Shūra 42:11.
[65] Lihat al-Shahrastāni, hal. 69.
[66] al-Asy’ari, al-Ibanah, hal. 69.
[67] al-Shahrastāni, hal. 82.
[68] al-Shahrastāni, hal. 82-83.
[69] al-Juwayni, al-‘Aqidah al-nizāmiyyah, hal. 13.
[70] Ibid., hal. 14.
[71] Ibid., hal. 17.
[72] Ibid., hal. 18-23.
[73] al-Juwayni, al-Irsyad hal. 30.
[74] al-Juwaini, al-Irsyad, hal. 31.
[75] Ibid., hal. 32.
[76] Ibid., hal. 33.
[77] Ibid, hal. 34-35.
[78] Ibid., hal. 52.
[79] Ibid., hal. 78. 130
[80] Ibid., hal. 31.
[81] Ibid., hal. 39-46.
[82] Ibid., hal. 61.
[83] Ibid.
[84] Penjelasan lebih lanjut, rujuk Mudasir bin Rosder, 1981, Isu-isu sifat dalam ilmu kalam dengan penumpuan khusus sifat dua puluh, hal. 174-178.
[85] Ibid., hal. 174
[86] al-Juwayni, al-Irsyad, hal. 30.
[87] Ibid., hal. 63-67.
[88] Mudasir bin Rosder, hal. 175.
[89] al-Syihristani, al-Milal wa al-nihal, hal. 82.
[90] Ibid.
[91] al-Juwayni, al-Irsyad, hal. 80. al-Shāmil fi usul al-din, hal. 630.
[92] Ibid.
[93] al-Ghazali, “al-Risalah al-qudsiyyah” hal. 35
[94] Al-Qur’an, al-Mulk: 1.
[95] al-Ghazali, al-Risalah, hal. 35.
[96] Al-Qur’an,Yunus 10: 61.
[97] al-Ghazali, al-Risalah, hal. 36. Juga Qawa’id al-‘aqa’id, hal. 162.
[98] Ibid.
[99] al-Ghazali, hal. 38. Qawa’id al-aqa’id, hal. 163. al-Iqtisad fi al-i’tiqad, hal. 90.
[100] al-Ghazali, al-Risalah, hal. 40. al-Iqtisad, hal. 28. Qawa’id, hal. 162
[101] al-Ghazali, Qawa’id, hal. 163
[102] al-Ghazali, al-Risalah, hal. 41. Qawa’id al-aqa’id, hal. 163
[103] al-Ghazali, al-Risalah, hal. 42. Qawa’id, hal. 163
[104] al-Ghazali, al-Risalah, hal. 42.
[105] Ibid.
[106] Nama lengkapnya ialah: Abū ‘Abdillah Muhammad ibn Yūsuf ibn ‘Umar ibn Shu’ayb al-Sanūsi. Di antara karya-karya beliau adalah: 1) Aqidat ahl al-tawhīd, al-mukhrij min zulumāt al-jahl wa ribkat al-taqlīd. 2) ‘Umdah ahl al-tawfiq wa al-tasdid 3) Aqīdah ahl al-tawhīd al-sughrā (Umm al-barāhin). 4) Sharh umm al-barāhin. 5) al-‘Aqidat al-wustā atau al-Sanusiyyah al-wustā dan syarh ‘aqidat al-wustā.
[107] Penjelasan lebih lengkap dan terperinci mengenai sifat dua puluh, rujuk Mudasir bin Rosder, Isu-isu sifat dalam ilmu kalam dengan penumpuan khusus sifat dua puluh, (Tesis Master), Jabatan Usuluddin, Universiti Kebangsaan Malaysia, 1981.
[108] Abu ‘Abdillah Muhammad Yūsuf al-Sanūsi, t.th., Syarh umm al-barāhin, di dalam Kitab Hāshiyat al-Dasūqi ‘alā umm al-barāhin, oleh Muhammad al-Dasūqi, hal. 72-119..
[109] Ibid, hal. 120.
[110]Dalam konteks ini, aI-Bāqillāni agak dekat dengan pendapat Abū Hashim dari kalangan Muktazilah, yang memandang Tuhan mengetahui dan berkuasa dengan zat-Nya, karena sifat tidak terpisah dari zat. al-Syihristani, hal. 122.
[94] Al-Qur’an, al-Mulk: 1.
[95] al-Ghazali, al-Risalah, hal. 35.
[96] Al-Qur’an,Yunus 10: 61.
[97] al-Ghazali, al-Risalah, hal. 36. Juga Qawa’id al-‘aqa’id, hal. 162.
[98] Ibid.
[99] al-Ghazali, hal. 38. Qawa’id al-aqa’id, hal. 163. al-Iqtisad fi al-i’tiqad, hal. 90.
[100] al-Ghazali, al-Risalah, hal. 40. al-Iqtisad, hal. 28. Qawa’id, hal. 162
[101] al-Ghazali, Qawa’id, hal. 163
[102] al-Ghazali, al-Risalah, hal. 41. Qawa’id al-aqa’id, hal. 163
[103] al-Ghazali, al-Risalah, hal. 42. Qawa’id, hal. 163
[104] al-Ghazali, al-Risalah, hal. 42.
[105] Ibid.
[106] Nama lengkapnya ialah: Abū ‘Abdillah Muhammad ibn Yūsuf ibn ‘Umar ibn Shu’ayb al-Sanūsi. Di antara karya-karya beliau adalah: 1) Aqidat ahl al-tawhīd, al-mukhrij min zulumāt al-jahl wa ribkat al-taqlīd. 2) ‘Umdah ahl al-tawfiq wa al-tasdid 3) Aqīdah ahl al-tawhīd al-sughrā (Umm al-barāhin). 4) Sharh umm al-barāhin. 5) al-‘Aqidat al-wustā atau al-Sanusiyyah al-wustā dan syarh ‘aqidat al-wustā.
[107] Penjelasan lebih lengkap dan terperinci mengenai sifat dua puluh, rujuk Mudasir bin Rosder, Isu-isu sifat dalam ilmu kalam dengan penumpuan khusus sifat dua puluh, (Tesis Master), Jabatan Usuluddin, Universiti Kebangsaan Malaysia, 1981.
[108] Abu ‘Abdillah Muhammad Yūsuf al-Sanūsi, t.th., Syarh umm al-barāhin, di dalam Kitab Hāshiyat al-Dasūqi ‘alā umm al-barāhin, oleh Muhammad al-Dasūqi, hal. 72-119..
[109] Ibid, hal. 120.
[110]Dalam konteks ini, aI-Bāqillāni agak dekat dengan pendapat Abū Hashim dari kalangan Muktazilah, yang memandang Tuhan mengetahui dan berkuasa dengan zat-Nya, karena sifat tidak terpisah dari zat. al-Syihristani, hal. 122.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar