Al- Al-Asy’ari dan metodologi moderat.
Banyak dari kalangan pengkaji mengatakan bahwa metodologi Al-Asy’ari adalah metodologi moderat diantara metodologi aliran-aliran yang ada dan berkembang masa itu.[1] Faktor pendorong atas moderasi metodologi Al-Asy’ari adalah kondisi aliran-aliran yang ada di masa itu selalu konflik antara satu aliran dengan yang lainnya dan oleh Al-Asy’ari menganggapnya sebagai suatu masalah yang sangat berbahaya.
Untuk membuktikan kesimpulan ini, para pengkaji mengajak untuk merujuk ke isu-isu teologi yang diangkat oleh Al-Asy’ari. Isu “kalamullah” misalnya, Al-Asy’ari memilih bahwa kalam Allah ada yang nafsi ada juga yang lafzi. Pilihannya ini sebagai jalan tengah dari dua pilihan yang berbeda yang diyakini oleh dua mainstream yang berkembang saat itu, Hana>bilah dan Muktazilah. Yang pertama mengatakan bahwa “kalamullah” adalah ghayr makhlu>q, sedangkan yang kedua mengatakan bahwa kalamullah adalah makhlu>q. [2]
Dalam isu perbuatan manusia (af’a>lul ‘Iba>d), menurut mereka, Al-Asy’ari juga menentukan opsi jalan tengah antara Jabariyyah yang meyakini manusia tidak mencipta perbuatannya dan Muktazilah yang meyakini manusia menciptakan perbuatan-perbuatannya yang bersifat ikhtiya>riyyah. Al-Asy’ari mengatakan: “Manusia tidak menciptakan perbuatan-perbuatannya, namun perbuatan itu adalah sesuatu yang terjadi atas kudrat Allah. Tapi, manusia punya andil dalam proses penciptaan perbuatan itu yang kemudian dinamai dengan istilah al-kasb. Al-kasb itulah yang berada di bawah kudrat manusia, karena al-kasb itu juga yang membuat manusia layak untuk mendapat siksaan atau pahala.” [3]
Begitu pula halnya dengan isu sifat-sifat khabariyyah, Al-‘Asy’ari berada pada posisi tengah antara kalangan al-musyabbihah yang telah melampaui batas dalam hal menerima makna-makna literal nas. Keterlaluan itu menjadi penyebab mereka memaknai kata-kata seperti al-istiwa>, al-yadayn, al-wajhu dengan makna lahir, dan Muktazilah yang menafikan adanya sifat-sifat khabariyyah. Al-Asy’ari dalam masalah ini, memilih untuk menetapkan sifat-sifat khabariyyah tanpa harus mempertanyakan kaifiyahnya. [4]
Sama halnya isu murtakib al-kaba>ir ( pelaku dosa besar), Al-Asy’ari juga memilih jalan tengah antara aliran Murjiah dan Muktazilah. Yang pertama mengatakan bahwa perbuatan maksiat tidak mempengaruhi hakikat keimanan, sama halnya ketaatan sama sekali tidak mempengaruhi hakikat kekafiran, dengan arti, bila mana seseorang telah beriman, maka dosa yang ia perbuat tidak boleh menggeser statusnya dari beriman menjadi tidak beriman, begitu pun sebaliknya. Menurut Murjiah, pelaku dosa besar akan disiksa hanya untuk sementara waktu saja selepas itu ia adalah ahli syurga. Sedangkan Muktazilah mengatakan bahwa ia berada di antara dua posisi, antara keimanan dan kekafiran, ia bukan beriman bukan juga orang kafir. Akibatnya, kalau ia meninggal sebelum bertaubat, maka ia akan masuk neraka selamanya. Al-Asy’ari mengambil jalan tengah dan mengatakan: “sesungguhnya pelaku dosa besar adalah orang mukmin yang berdosa, bila ia meninggal sebelum bertaubat, maka statusnya akan diserahkan kepada Allah, bila Allah memaafkannya maka ia akan bebas, dan apa bila Allah menghendaki maka ia akan disiksa. [5]
Sikap-sikap yang nampaknya moderat seperti ini banyak ditemukan dari Asy’ari. Namun yang menarik untuk dikemukakan disini adalah apakah sikap Asy’ari yang diasumsikan moderat itu mendapat apresiasi dari aliran-aliran lain. Jawabannya adalah apabila kita melirik sikap aliran-aliran lain ternyata mereka menyatakan antipati kepada Imam Al-Asy’ari.[6] Hal itu disebabkan oleh karena Asy’ari tidak menerima secara maksimal metodologi masing-masing dari aliran-aliran itu. Ia hanya mengambil atau menyeleksi apa yang sesuai dengan pandangannya.
Hal yang tidak kalah pentingnya untuk diketengahkan disini adalah bahwa disana ada lagi sekelompok peneliti yang mengatakan bahwa sebenarnya Asy’ari bukanlah mengembangkan metodologi moderat, namun ia adalah salafi tulen.[7] Untuk mengukuhkan asumsinya, kelompok ini justru merujuk kepada pernyataan Al-Asy’ari sendiri. Dalam karyanya al-Iba>nah, Asy’ari mengatakan: “pendapat yang kami yakini, agama yang kami anut adalah berpegang teguh dengan al-Quran dan Sunah Rasul, begitu pula menghormati apa yang diriwayatkan dari sahabat, tabiin dan Imam-imam Hadis. Kesemuanya itu kami pegangi, kami juga pegangi pendapat Imam Ahmad ibn Hanbal, dan kami tidak sependapat dengan orang yang menyalahi pendapat-pendapat Imam Ahmad”. [8]
Tapi menurut hemat penulis, apa yang diasumsikan oleh masing-masing kelompok diatas tidak boleh diterima secara mutlak, sebab metodologi moderat yang orang fahami dari metodologi Al-Asy’ari dalam berbagai isu teologi terdapat perbedaan mendasar yang ditemukan dalam substansi metodologi Al-Asy’ari itu sendiri dengan metodologi lainnya.
Dari peninjauan yang seksama atas aliran-aliran ini, misalnya, ditemukan adanya metodologi Salaf mengutamakan nas dari pada akal bukan dalam arti mereka menolak akal, namun ia menjadikannya sebagai sesuatu yang sekunder. Metodologi ini sangat berbeda dengan metodologi yang dianut kalangan Muktazilah yang mengutamakan akal dari pada nas. Juga sangat berbeda dengan kalangan Hana>bilah yang memberi apresiasi yang berlebihan kepada nas yang menjadikan akal dilepas dari fungsi utamanya.
Kalau kita berasumsi bahwa Al-Asy’ari memiliki sikap moderat diantara sikap-sikap tadi, maka kita tidak proporsional. Sebab bagi yang mencermati pendapat-pendapatnya dalam aqidah, ia pasti tidak selamanya menemukannya menempuh jalan tengah diantara aliran-aliran yang ada.
Dalam masalah perbuatan manusia misalnya, pendapat Al-Asy’ari lebih mendekati pendapat Salaf, karena pendapat Al-Asy’ari pada akhirnya menerima atau menetapkan bahwa semua perbuatan manusia itu adalah ciptaan Allah.[9] Teori al-Kasb yang ia yakini tidak membuatnya mendekati madzhab Muktazilah yang mengatakan bahwa perbuatan manusia dicipta oleh qudrah manusia itu sendiri. [10] Sebab, antara teori al-Kasb dengan substansi madzhab Muktazilah berbeda. Yang pertama mengisyaratkan sebuah makna yaitu bahwa kudrat manusia hanya mengiringi terjadinya perbuatan itu, karena itulah pengaruh kudrat disini hampir tidak ada. Sementara yang kedua, mengindikasikan sebuah makna bahwa pengaruh kurdrat manusia itu adalah dengan arti mengadakannya, karena itu pengaruh qudrah atas perbuatan itu sangat signifikan.
Begitu juga halnya masalah sifat-sifat khabariyyah. Tidak ada alasan untuk mengklaim Al-Asy’ari berada pada posisi tengah antara dua aliran, Musyabbihah dan Muktazilah. Yang pertama menetapkan bagi Allah tangan dan wajah dengan pengeritian panca indera. Sementara yang kedua menafikan sifat-sifat khabariyyah dan menakwilkan nas-nas yang menunjukkan sifat-sifat itu. Al-Asy’ari tidak boleh dikatakan moderat dalam masalah ini, sebab pada pendapatnya yang pertama dimana ia tidak menerima takwil tidak menyamai sama sekali aliran Musyabbihah, karena penetapan sifat tanpa menentukan bentuk berbeda dengan penetapan sifat yang menentukan bentuk. Tidak sama juga dengan aliran Muktazilah yang menafikan adanya sifat-sifat khabariyyah itu.
Tetapi kalau tidak ada jalan kecuali harus menyerupakan maka aliran yang hampir sama dengan madzhab Al-Asy’ari adalah madzhab salaf, sebab madzhab salaf memilih untuk tafwi>d pada nas-nas mutasya>biha>t. Tafwi>d artinya menerima nas-nas itu sebagaimana adanya, tanpa melakukan penakwilan. Dan ini tentu sangat menyerupai madzhab Al-Asy’ari yang menetapkan adanya sifat-sifat itu tanpa menentukan bentuknya.
Begitu juga halnya pada pendapatnya yang kedua yaitu menerima takwil. Dalam konteks ini pun Al-Asy’ari tidak boleh dianggap berada pada posisi tengah di antara ketiga-tiga aliran yaitu aliran salaf yang memilih tafwi>d dan aliran Musyabbihah yang menetapkan adanya sifat itu dengan pengertian panca indera serta aliran Muktazilah yang menafikan adanya sifat-sifat khabariyyah. Meskipun menurut pandangan penulis, dalam masalah ini ia lebih mendekati aliran Salaf.
Pada sisi yang lain, pandangan yang mengatakan bahwa sikap Al-Asy’ari adalah salafi yang berasas pada pendapat-pendapat Ahmad Ibn Hanbal, juga tidak boleh diterima secara mutlak. Alasan penolakannya adalah karena Al-Asy’ari terbukti telah melakukan penambahan metodologi pada metodologi salaf berupa pendekatan-pendekatan akal yang sama sekali tidak ditemukan pada metodologi salaf sebelumnya. Apa lagi ia telah memilih memasuki kajian kalam bahkan menganggapnya sebagai sesuatu yang baik, sementara ini adalah sesuatu yang dibenci oleh tokoh-tokoh salaf sebelumnya.
Dengan demikian, apabila analisis ini benar, maka metodologi Al-Asy’ari bukan metodologi yang moderat secara mutlak bukan juga Salafiyyah tulen. Yang dapat penulis simpulkan, setelah mengungkap semua data-data yang dianggap perlu, bahwa metologi yang dibangun oleh Al-Asy’ari hanyalah mendekat kepada Salaf tetapi ia bukanlah salafi tulen sebagaimana yang diasumsikan sebagian pengkaji.
Sebelum mengakhiri bahasan ini, penulis menemukan sebuah perkara yang boleh mengeruhkan kesimpulan tadi, dan ini tidak boleh dibiarkan begitu saja, yaitu bahwa kalau memang Al-Asy’ari bukan salafi tulen dan ia hanya mendekati metodologi salaf, lalu mengapa dia terang-terangan memberikan pernyataan dalam karyanya al-Iba>nah, bahwa metodologi yang ia adopsi adalah metodologi al-Qur’an dan Sunah serta Ijma para sahabat, dan ia menganut aqidah Imam Ahmad bin Hanbal?. Apakah pernyataan ini dapat dianggap pernyataan yang palsu seperti yang dituduhkan oleh kalangan Hana>bilah ataukah ia benar-benar telah menganut metodologi itu lalu meninggalkannya?
Berdasarkan fakta dan data-data yang sudah terungkap, maka bisa dinyatakan bahwa kedua-dua kemungkinan itu tidak benar. Namun yang benar adalah bahwa prinsip-prinsip dasar metodologi Al-Asy’ari sama sekali tidak menyalahi metodologi salaf. Kesamaan itu membuat orang tidak melihat adanya perbedaan dengan metodologi salaf, tidak seperti perbedaan yang mencolok antara metodologi-metodologi aliran yang lain dengan metodologi salaf.
Begitu juga halnya pernyataan Al-Asy’ari bahwa ia telah mengadopsi akidah Ahmad bin Hanbal. Pernyataan ini sama sekali tidak bertentangan dengan kesimpulan tadi yang mengatakan bahwa metodologinya hanyalah mendekati metodologi Ahmad, bukan persis sama dengannya. Karena yang harus difahami dari pernyataan Al-Asy’ari tadi adalah bahwa ia tidak keluar dari kerangka yang telah diletakkan oleh salaf termasuk Imam Ahmad bin Hanbal.
Demikian hasil pembacaan yang dilakukan tentang metodologi pemikiran Al-Asy’ari, berikut ini akan dikemukakan metodologi pemikiran ketiga-tiga tokoh sebagai generasi pelanjut Al-Asy’ari yang dapat mengekspresikan tiga fase perkembangan metodologi yang dialami oleh aliran al-Asy’ariyyah.
[1] Ibn 'Asakir, Tabyin kadhb al- muftari, h. 15 dst.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar