Jumat, 10 Februari 2012

PEMIKIRAN FRITJHOF SCHUON


1.     Filsafat perennial (Sophia Perennis).
Schuon mengakui bahwa ada satu realitas yang absolut, transenden, dan tidak dapat dicapai melalui panca indera. Ia berada di balik ruang dan waktu. Namun, dapat diketahui dengan intelek
murni, yang dapat membuatNya hadir dalam diri kita. Ia bersifat mutlak, yang memunculkan dimensi kesementaraan dan relativitas agar dapat menyadari misteri pemancarannya. Ini berarti, Tuhan ingin dikenal tidak hanya dalam dirinya sendiri, tetapi ‘dari luar dirinya’ dan dimulai dari ‘yang lain dari Dia.’ Semua itu adalah substansi dasar dari Ketuhanan yang meliputi segala sesuatu. Dengan demikian, intelegensia manusia—karena ia mampu mencapai esensi dan totalitas—dalam substansinya terdapat dua mental mengenai Sophia perennis, yaitu realitas absolut yang secara definif menjadi kebajikan palingbesar. Dalam pandangan Schuon, Shopia Perennis adalah ”to know the total Truth and, consequently, to will the Good and love Beauty; and this in conformity to this Truth, hence with full awareness of the reasons for doing so.” Sophia Perennis adalah filsafat untuk mengetahui kebenaran absolute, sebagai konsekuensi untuk menginginkan kebaikan dan mencintai keindahan. Dan, kesepahaman kebenaran ini dilakukan dengan penuh kesadaran untuk melaksanakannya.
Doktrin Sophia, di satu sisi berkenaan dengan “Prinsip Surgawi” dan di sisi lain berkaitan dengan manifestasi universalnya, yaitu Tuhan, Dunia dan Jiwa, ketika membedakan perwujudan antara jagad besar (makro kosmos) dan jagad kecil (mikro kosmos). Hal ini membawa implikasi bahwa Tuhan di dalam diriNya—secara ekstrinsik—terdapat tingkatan-tingkatan dan bentuk-bentuk. Seolah-olah, Dia ingin  membatasi diriNya dalam gambaran dari PerwujudanNya. Di sinilah terletak seluruh misteri dari ‘Dunia Maya.’
Misteri pertama adalah ‘Baik.’ Merupakan sebuah priori, yakni prinsip tertinggi sebagai teladan dan sebab dari setiap kemungkinan baik. Di satu sisi, hal ini adalah sebuah posteori dalam prinsip manifestasi universal. Dan, di sisi lain menuntun kembali kepada prinsip. Dengan kata lain, kebaikan adalah yang utama dari Tuhan itu sendiri.
Kemudian, “proyeksi” Tuhan dalam eksistensi dan akhirnya terjadi penyatuan kembali pengeksistensian pada Tuhan.
Misteri kedua ’Kebaikan.’ Bagiannya adalah pancaran suci dari Keindahan. Bagi Keindahan, ia adalah serupa panas bagi cahaya. Menjadi Indah, Tuhan berarti kebaikan. Dapat juga dikatakan dalam keindahan, Tuhan meminjamkan sesuatu dari Surga. Keindahan adalah utusan, tidak hanya dari keabadian dan harmoni, tapi seperti juga pelangi dari rekonsiliasi dan pengampunan. Dari seluruh pijakan, Kebaikan dan indah dalam hal ini adalah “sisi dalam” dan “luar” dari Keindahan, di mana dari perbedaan pijakan kita sebelumnya. Indah itu intrinsic. Dalam kaitannya dengan Esensi, di mana Kebaikan itu ekstrinsik ketika dalam kaitannya dengan kejadian-kejadian, khususnya terhadap makhluk.
Misteri ketiga, ’Keteraturan.’ Cabangnya berasal dari Yang Absolut, tak dapat dihilangkan. Secara intrinsik, ini adalah kemurnian tetap dari Surgawi dan Yang Suci. Sedangkan secara ekstrinsik, ia adalah batas pengampunan, pinjaman atas penerimaan yang terberi. Hal ini karena dunia terjalin atas dua dimensi utama, yakni keteraturan matematik dan irama kelembutan. Keduanya bersatu dalam kesamaan Superior yang berkaitan dengan kebesaran Surgawi.
Dus, dengan tegas dikatakan Schoun bahwa hanya ada satu filosofi, yakni The Sophia Perennis yang digambarkan dalam bersatunya semua agama. Sophia mempunyai dua asal, satu abadi dan yang lain sesaat (temporal). Yang pertama bersifat “vertikal” dan terputus, dan yang kedua bersifat “horisontal” dan bersambung. Dengan kata lain, yang pertama seperti hujan yang hanya sesekali turun dari langit. Dan yang kedua, seperti sebuah arus yang mengalir dari satu mata air. Keduanya mencontohkan pertemuan dan perpaduan. Keduanya bertemu dan bersatu dalam Wahyu metafisik (metaphysical revelation) yang mengaktualkan wilayah intelektual. Dan begitu intelek ini bangkit, ia memunculkan satu pemikiran spontan dan independen.
Dalam hal ini, dialektika Sophia Perennis adalah “deskriptif” dan bukan “silogistik.” Bisa dikatakan bahwa penegasan-penegasan bukanlah hasil dari satu ”pembuktian” yang riil maupun yang imajiner, meskipun masih mungkin memakai bukti-bukti—yang dalam hal ini riil—dengan cara “ilustrasi” tanpa harus mempedulikan terhadap kejelasan yang masuk akal. Namun, kata Sophia berada di atas semua simbolisme dalam segala bentuknya, sehingga keterbukaan akan pesan simbol-simbol adalah pemberian yang sesuai bagi manusia primordial dan warisan-warisannya di segala zaman.
Intinya, apakah the Sophia Perennis adalah suatu “humanisme,” secara prinsip jawabannya adalah “ya.” Namun, dalam faktanya ini bisa jadi “tidak,” mengingat humanisme dalam pengertian konvensional dari term de facto ditujukan bagi manusia tertentu bukan manusia seluruhnya. Humanisme, bagi manusia modern adalah praktik utilitarianisme yang ditujukan pada golongan tertentu. Ia adalah kehendak untuk menjadikan seseorang mungkin bermanfaat bagi kemanusiaan, namun sia-sia.[1]
2.     Titik temu esetoris agama-agama.
Dari pengembaraan spiritual dan intelektualnya, Schuon menemukan bahwa dalam kesadaran purbanya, manusia senantiasa akan merindukan Dia yang Absolut. NamaNya bisa ditemukan dalam setiap bahasa, namun seringkali samar oleh berbagai ritual manusia dalam memujaNya. Itulah yang disebut Schuon sebagai dimensi Eksoterik. Yaitu sisi agama di mana ritual, dogma, ajaran dan tradisi yang membedakan agama satu dengan lainnya. Sementara, inti dari agama itu sendiri adalah dimensi Esoteris. Yaitu inti spiritualisme untuk menemukan Dia Yang Abadi. Tapi, sisi ini sering terlupakan oleh hiruk-pikuk keberagamaan manusia. Nah, pada level inilah menurut Schuon, agama-agama itu menemukan titik temunya.
Mengutip salah satu pengagum Schuon, yakni Seyyed Hossein Nasr dalam Knowledge and the Sacred (1989), memaparkan wacana-wacana metafisik yang mempertemukan agama-agama dan tradisi spiritual yang otentik pada satu titik kesatuan transenden. Yakni, Tuhan, yang dicari (umat beragama) melalui beragam agama (sebagai jalan-jalan menuju Tuhan). Inilah inti dasar perspektif filsafat perennial. Maka, bila disebut perennial religion (agama dan atau tradisi perennial), maksudnya adalah ada hakikat yang sama dalam setiap agama. Rumusan filosofisnya: the heart of religion is the religion of heart. Inilah wilayah terdalam dari setiap agama. Artinya, terdapat substansi yang sama dalam agama-agama, meskipun terbungkus dalam bentuk yang berbeda.
Secara filosofis dapat dirumuskan bahwa substansi agama itu satu. Tetapi, bentuknya beraneka ragam. Ada (agama) Yahudi, Kristen, Islam dan seterusnya. Perumusan ini, menjadikan filsafat perennial memasuki wilayah jantungnya agama-agama, yang secara substantif hanya satu, tetapi terbungkus dalam bentuk (wadah, jalan) yangberbeda.Untuk menguak misteri dari jantung agama yang menjadi titik temu agama-agama, dapat diilustrasikan dengan air, yang substansinya adalah satu. Tetapi, bisa saja kehadirannya mengambil bentuk berupa sungai, danau, lautan, uap, mendung, hujan, kolam, embun dan sebagainya. Menurut Hazrat Inayat Khan (1980), kebenaran substansial agama hanyalah satu, tetapi aspek-aspeknya berbeda. Ilustrasi tersebut dengan demikian bisa diaplikasikan ke dalam wacana pluralitas agama. Ibarat agama, yang secara substansial satu sebagai jantung dari setiap agama, tetapi menjadi beragam dan plural ketika diturunkan dalam ’atmosfir bumi,’ atau ’alam eksoterik.’ Tetapi, meskipun agama itu plural, semua (agama) itu pada dasarnya dapat membawa manusia ke Sumber Asalnya, yakni Tuhan.
Namun, sejauh manakah batas-batas diametral antara letak ’jantungnya agama’ dengan pluralitas agama? Dalam kerangka inilah, Frithjof Schuon memberikan sumbangan pemikiran yang sangat orisinal dalam memberikan penekanan (secara diametral) antara eksoterisme (wilayah pluralitas agama) dan esoterisme (wilayah jantungnya agama-agama).[2]
Dalam kata pengantar buku The Transcendent Unity of Religions karya Frithjof Schuon (1975), Huston Smith mengatakan bahwa, “…Bagi Frithjof Schuon, hidup ini ada tingkat-tingkatannya (the great chain of being). Hirarki eksistensi ini, mulai dari Tuhan yang menempati peringkat tertinggi, sampai manusia dan atau benda-benda mati pada peringkat terendah. Nah, dari segi metafisik, hanya pada Tuhanlah terdapat titik temu berbagai agama. Sedang di tingkat bawahnya, agama-agama itu saling berbeda. Sehubungan dengan realitas metafisik ini, dari segi epistemologis dapat pula dikatakan bahwa perbedaan antara agama yang satu dengan agama yang lain, semakin mengecil dan bersatu di tingkat tertinggi, sedangkan di tingkat bawahnya, berbagai agama itu terpecah belah.”


[1]http//.maulanusantara.wordpress.com/2010/11/13/memahami-frithjof-Schuon/ diakses 03 April 2011
[2]http://www.2lisancom/biografi/tokoh-islam/biografi-sigkat-para-tokoh-tokoh/diakses 03 April 2011.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

PENULIS BUKU KEKERASAN ATAS NAMA AGAMA

H. HAMZAH HARUN AL-RASYID. Lahir 30 juli 1962. Alumni Universiti Kebangsaan Malaysia (UKM) ini memperoleh gelar: • Sarjana Muda (BA) 1987,...