Kalam Allah
Kalam Allah atau al-Qur’ān memperkenalkan dirinya dengan berbagai ciri dan sifat. Salah satu di antaranya adalah bahwa ia merupakan kitab yang keautentikannya dijamin oleh Allah S.w.t, dan ia adalah kitab yang selalu terpelihara. Allah S.w.t berfirman:
[1]انا نحن نزلنا الذكر وانا له لحافظون
Terjemahnya:
Sesungguhnya Kami yang menurunkan al-Qur’ān dan Kamilah Pemelihara-pemelihara-Nya
Demikianlah Allah S.w.t menjamin keautentikan al-Qur’an yang diberikan atas dasar Kemahakuasaan dan Kemahatahuan Allah. Dengan jaminan ayat al-Qur’an 15:9 tersebut, setiap Muslim percaya bahwa apa yang dibaca dan didengarkannya sebagai al-Qur’an tidak berbeda sedikitpun dengan apa yang pernah dibaca oleh Rasulullah S.a.w., dan yang didengar serta dibaca oleh para sahabat Nabi S.a.w.
Persoalannya dalam teologi ialah: Kalau Kalam Allah itu merupakan sifat, maka ia mesti kekal, di samping itu, kalau kalam Allah itu tersusun maka ia mestilah diciptakan dan tidak boleh kekal.
Dalam al-Iba>nah, Abu> H}asan al-Asy’ari menyatakan bahwa, secara hakiki, kalam Allah itu adalah apa yang dapat dihafal dalam hati, diucapkan dan dibaca dengan lidah, ditulis dalam kitab, bukan dalam arti kiasan, dan bukan sesuatu hal yang terjadi pada selain Allah, karena jika kalam Allah terjadi pada selain-Nya berarti Dia tidak berkata-kata, tidak memerintah, tidak melarang, dan tidak memberi penjelasan dengan kalam-Nya. ([2]) Pandangan yang demikian, menurut al-Asy’ari, tidak sesuai dengan ayat al-Qur’an yang berbunyi:
اننى أنا الله لآ اله الا انا فاعبدنى وأقم الصلاة لذكرى[3]
Terjemahnya:
Sesungguhnya Aku ini adalah Allah, tidak ada Allah selain Aku, maka sembahlah Aku.
Selanjutnya, sebagai reaksi atas pandangan Muktazilah, yang mengatakan bahwa kalam Allah bukanlah bersifat kekal tetapi bersifat baru dan diciptakan Allah, ia adalah makhluk, ([4]) maka al-Asy’ari sesebaliknya, berpendapat bahwa kalam Allah tidaklah diciptakan sebab kalau ia diciptakan, maka bertentangan dengan firman Allah:
إنما قولنا لشيئ اذا أردناه أن نقول له كن فيكون[5]
Terjemahnya:
Sesungguhnya apabila Kami menghendaki sesuatu, Kami hanya mengatakan kepadanya: Jadilah! lalu jadi.
Menurut al-Asy’ari, ayat al-Quran (16:40) tersebut menegaskan bahwa untuk penciptaan itu perlu kata ‘kun’, dan untuk terciptanya ‘kun’ ini perlu pula kata ‘kun’ yang lain; begitulah seterusnya sehingga terdapat rentetan kata-kata ‘kun’ yang tidak berkesudahan. ([6]) Ini, menurut al-Asy’ari, tidak mungkin. Oleh karena itu, al-Qur’ān tidak mungkin diciptakan.[7] Argumen ini berdasar:
ومن ءايته أن تقوم السماء والأرض بأمره[8]
Terjemahnya:
Di antara tanda-tanda-Nya ialah terjadinya langit dan bumi atas perintah-Nya.
Dalam ayat al-Qur’an (30:25) diatas disebutkan bahwa langit dan bumi terjadi dengan perintah Allah. Perintah mempunyai wujud dalam bentuk kalam Allah. Dengan demikian, kata al-Asy’ari, perintah Allah adalah kalam Allah. ([9]) Selanjutnya, al-Asy’ari mengatakan bahwa kalam merupakan sifat, dan sebagai sifat Allah maka mestilah ia kekal. Dalam arti kata lain, al-Qur’an bukan makhluk. ([10]) Untuk membuktikan bahwa perintah Allah itu adalah kekal, al-Asy’ari mengemukakan ayat al-Qur’an yang berbunyi:
ألا له الخلق والأمر[11]
Terjemahnya:
Bukankah penciptaan dan perintah itu kepunyaan-Nya.
Dalam ayat al-Qur’an (7:54) ini, kata al-Asy’ari, perintah dan ciptaan dipisahkan dan ini mengandung arti bahwa perintah bukanlah ciptaan. Dengan kata lain, perintah atau kalam Allah bukanlah dijadikan tetapi bersifat kekal.([12]) Selanjutnya, al-Asy’ari menyatakan bahwa kalam itu adalah sebagai sifat yang lain daripada zat-Nya. Karena, menurut al-Asy’ari, jika Allah S.w.t tidak mempunyai kalam berarti Ia bisu. Sifat bisu menunjukan kekurangan; mustahil Allah memiliki sifat kekurangan.([13])
Muktazilah menetapkan al-Qur’an sebagai makhluk dengan alasan bahwa dengan melegalkan keqadiman al-Qur’an berarti melegalkan konsep trinitas Kristian yang menyatakan bahwa Isa adalah Kalamullah lalu dipahami sebagai Allah. Selain itu, menurut Muktazilah, aliran al-Hasyawiyyah berpendapat bahwa baik suara maupun huruf-huruf yang ditulis dan dibaca pada ayat-ayat al-Qur’an juga qadi>m.[14] Abu> H}asan al-Asy’ari membantah pandangan Muktazilah tersebut dengan mengemukakan dua aspek tinjauan dari Kalam Allah. Pertama, kala>m Nafsi> dan yang Kedua, kala>m lafz}i>. kala>m Nafsi> dimaksudkan sebagai sesuatu kalam yang berada pada zat Allah, sedangkan kala>m lafsi> dimaksudkan sebagai indikator-indikator yang menunjukkan kepada zat Allah tersebut, termasuk di antaranya lafaz-lafaz dan huruf-huruf serta suara-suara yang diturunkan Allah kepada nabi-nabi-Nya. Menurut al-Asy’ari> kala>m Nafsi> adalah qadim sedangkan kala>m lafsi> adalah baru.[15]
Pandangan al-Asy’ari ini diterima baik oleh para pengikutnya. Al-Bāqillāni misalnya, dalam memperkuat pendapat al-Asy’ari tersebut, menyatakan bahwa tidak setiap huruf الفاء bermakna akibat (للتعقيب). Menurutnya, ([16])الفاء pada lafaz فيكون dalam al-Qur’an (16:40) adalah untuk الاخبار (memberitakan) bukan للتعقيب sebagaimana Allah berfirman:
ومن عاد فينتقم الله منه
Terjemahnya:
Barang siapa yang mengulang mengerjakannya nescaya Allah akan menyiksanya.
الفاء pada ayat al-Qur’an (5:95) tersebut bukan للتعقيب . Begitu pula dengan الفاء pada ayat yang berbunyi: فيسحتكم بعذاب “Maka Dia membinasakan kamu dengan seksaan”([17]) الفاء yang terdapat pada jawab al-amr atau jawab al-jumlah tidak berfungsi sebagai makna akibat (للتعقيب (. ([18])
Selanjutnya al-Bāqillāni mengemukakan firman Allah yang berbunyi:
يا أيها االذين آمنوا اذا قمتم الى الصلوة فاغسلوا وجوهكم وأيديكم الى المرافق[19]
Terjemahnya:
Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan salat, Maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku.
Ayat al-Qur’an (20:61) tersebut membicarakan tentang perkataan membasuh muka dan tangan sampai siku bukanlah bermakna akibat daripada mendirikan salat. Juga firman Allah:
قولنا لشيئ اذا أردناه أن نقول له كن فيكون انما
Terjemahnya:
Sesungguhnya Perkataan Kami terhadap sesuatu apabila Kami menghendakinya, Kami hanya mengatakan kepadanya: "kun (jadilah)", Maka jadilah ia.
Menurut al-Ba>qilla>ni, lafaz كن pada ayat al-Qur’an (16:40) di atas adalah al-amr. Maka الفاء pada lafaz فيكون itu adalah jawab al-amr, bukan للتعقيب ([20]) Kesimpulan الفاء dalam ayat al-Qur'an tersebut tidak menunjukkan kebaruan al-Qur'an, sebab lafaz 'أن' apabila masuk pada فعل ماضى maka berkedudukan sebagai mas}dar untuk masa lalu, dan apabila masuk pada فعل مضارع berkedudukan sebagai mas}dar untuk masa datang. Dengan demikian, ayat al-Qur'an (16:40) tersebut di atas menunjukan pada kejadian masa datang. ([21])
Selanjutnya, al-Ba>qilla>ni mengemukakan firman Allah yang berbunyi:
ما يأتيهم من ذكر من ربهم محدث الا استمعوه وهم يلعبون[22]
Terjemahnya:
Tidak datang kepada mereka suatu ayat al-Qur’an pun yang baru (diturunkan) dari Tuhan mereka, melainkan mereka mendengarnya, sedangkan mereka bermain-main.
Menurut al-Ba>qilla>ni, maksud ayat al-Qur'an (21:2) ini adalah “tidak datang kepada mereka nasehat, janji, dan ancaman, kecuali mereka mendengarnya, sedangkan mereka bemain-main”. Argumen ini diperjelas oleh ungkapan bahwa nasehat, janji dan peringatan Nabi adalah al-Zikr. ([23]) Hal ini, menurut al-Ba>qilla>ni, sesuai dengan penjelasan al-Qur’an yang berbunyi:
[24] فذ كر فانما أنت مذ كر.
Terjemahnya:
Sebab itu, berikanlah peringatan, karena engkau hanya seorang pemberi peringatan.
Dengan demikian, menurut al-Ba>qilla>ni, ayat al-Qur'an (21:2) di atas, tidak menunjukan bahwa al-Qur’an itu baru. Allah tidak mengatakan: “ما يأتيهم من ذكر من ربهم الا كان محدثا ([25]) Begitu juga dengan ayat al-Qur'an yang berbunyi:
انا جعلنه قرءانا عربيا لعلكم تعقلون[26]
Terjemahnya:
Sesungguhnya Kami mejadikan al-Qur’an dalam bahasa Arab supaya kamu memahami(nya).
Juga, menurut al-Ba>qilla>ni, tidak menunjukkan bahwa al-Qur’an itu makhluk sebab berdasarkan penggunaannya, lafaz الجعل adakalanya bermakna التسميات والحكم dan adakalanya berarti الفعل. Lafaz الجعل yang diikuti dua مفعول, menurut al-Ba>qilla>ni, bermakna التسميات والحكم. ([27]) Misalnya dalam firman Allah:
وجعلوا الملئكة اللذين هم عباد الرحمن اناثا[28]
Terjemahnya:
Dan mereka menjadikan malaikat-malaikat yang mereka itu adalah hamba-hamba Allah yang Maha Pemurah sebagai orang-orang perempuan.
Menurut al-Ba>qilla>ni, Ayat al-Qur'an (43:19) tersebut mengandung pengertian, bahwa orang Arab mekah menamakan atau menetapkan malaikat-malaikat itu sebagai perempuan. Bukan berarti mereka yang menciptakan perempuan.[29] Dengan demikian, ayat al-Qur'an (43:3) di atas, bermakna: bahwa Allah menjadikan bacaan al-Qur’an itu berdasarkan bahasa Arab, dan itu berguna untuk membedakannya dengan kitab Taurat dan Injil karena bacaan kedua kitab itu dengan bahasa ‘ibra>ni dan Suryāni. ([30]) Selanjutnya, al-Ba>qilla>ni menyatakan bahwa ayat al-Qur'an (43:3) tidak mengandung pengertian bahwa Allah membuat al-Qur’an berbahasa Arab, tetapi Dia menetapkannya berbahasa Arab. Oleh karena al-Qur’an bukan merupakan perbuatan bagi Allah, maka al-Qur'an bukanlah makhluk. ([31])
Menurut al-Ba>qilla>ni, seperti yang dikutip al-Syahrusta>ni, bahwa kalam Allah tidak merupakan jism, jawhar, atau ‘arad}, sebab jika demikian kalam Allah termasuk jenis kalam manusia dan baru. Allah tidak berkata-kata dengan kalam makhluk. ([32]) Kalām Allah juga tidak berubah-ubah. Kalam-Nya adalah sifat bagi-Nya karena merupakan perkataan-Nya. Tidak ada yang menyerupai sifat sifat-Nya. ([33]) Allah mempunyai kata-kata. Oleh karena itu Ia Mutakallim. Kalam-Nya adalah salah satu dari sifat-sifat zat-Nya, seperti ‘ilm, irādah, qudrah-Nya dan sebagainya. ([34])
Seterusnya, kalam Allah, menurut al-Ba>qilla>ni, tidak boleh disamakan dengan ‘iba>rah atau Hika>yah. Juga tidak boleh diserupakan dengan sifat-sifat manusia. Demikian pula lafaz al-Qur'an, tidak boleh dikatakan makhluk atau bukan yang lain dari makhluk.[35] KaIam Allah qadim, bukan makhluk. Dengan demikian, kalam-Nya tidak baru, sebagaimana diisyaratkan dalam ayat al-Qur’an:
ألا له الخلق والأمر
Terjemahnya:
Ingatlah, menciptakan dan memerintah hanyalah hak Allah.
Menurut al-Ba>qilla>ni, terdapat perbedaan antara الخلق (ciptaan) dan الأمر (perintah). الأمر (perintah) bukan makhluk. KaIam-Nya terdiri dari perintah (الأمر), larangan ( النهى) dan berita (الخبر). Berkaitan dengan itu, al-Ba>qilla>ni mengutip ayat al-Qur’an (33:4) yang artinya: “Dan Allah mengatakan yang sebenarnya”. ([36]) Juga ayat al-Qur,an (16:40) “Sesungguhnya bila Kami menghendaki sesuatu Kami hanya mengatakan kepadanya: كن maka jadilah ia”.[37] Dengan demikian, menurut al-Ba>qilla>ni, sekiranya kalām Allah adalah makhluk, maka di dalam penciptaannya, Allah memerlukan kata كن yang tiada terhingga, dan itu, menurut al-Ba>qilla>ni, adalah sesuatu hal yang mustahil.([38])
Al-Juwaini, seorang tokoh al-Asy’ariyyah, mengajukan argumenasi lain. Kalam Allah merupakan sifat atau makna yang ada pada Allah dan bukan merupakan sifat perbuatan Allah.([39]) Karena itu, Kalam Allah bersifat qadim seperti sifat Allah lainnya. Al-Juwayni mengkategorikan kalam Allah ke dalam kelompok sifat-sifat ma’nawiyyah Allah. Selanjutnya, Al-Juwaini menyatakan bahwa kalam Allah itu ialah perkataan yang ada di dalam diri Allah. ([40]) Maksudnya, perkataan yang berkisar di dalam fikiran Allah. ([41]) Bukti yang menunjukkan bahwa di dalam diri terdapat kalam ialah jika seseorang berakal memerintahkan seseorang lain berbuat sesuatu, di dalam dirinya timbul suatu ketetapan atas ketaatan yang dituntut secara spontan. ([42]) Bukti lainnya menunjukkan bahwa jika seseorang berkata: “kerjakan”, maka perintah itu mengandung arti kecenderungan (istih}ba>b), kewajiban (ija>b) atau keharusan (ibāh}ah) untuk dikerjakan. ([43]) Semua maksud dan tujuan yang terkandung dalam perintah itu dapat disampaikan dalam satu bentuk perintah “kerjakan”. Namun, orang yang diperintah tidak mengetahui maksud sebenarnya dari orang yang memerintah, apakah perintah itu bermakna harus, wajib atau hanya sebagai keharusan untuk mengerjakan. Dalam hal ini, yang paling mengetahui maksud dari ucapan itu hanya si pemberi perintah. Karenanya, hanya Allah Yang Maha Mengetahui maksud dan tujuan dari ucapan-Nya. ([44]) al-Juwaini juga mengatakan bahwa “orang yang disebut sebagai “pengucap” bukanlah orang yang menciptakan ucapan, tetapi tempat ucapan itu berada. Dengan kata lain, orang yang berada dalam keadaan ‘mengucap’.([45])
Sesebaliknya, jika kalam Allah itu merupakan sifat perbuatan Allah (sifāt fi’liyyah) dan ciptaan Allah, seperti yang didakwakan oleh kaum Muktazilah, ([46]) maka Allah tidaklah disebut sebagai mutakallim, tetapi disebut sebagai Pencipta kalam. Jika Allah itu pembuat kalam, maka hukum tidak akan kembali kepada zat-Nya. Artinya Ia tidak disebut Mutakallim, sebab ‘pembuat’ berarti timbulnya suatu perbuatan darinya. ([47]) Di samping itu, al-Juwaini berargumenasi bahwa Allah adalah pembuat perkataan (ucapan) makhluk, namun demikian, Allah tidak disebut sebagai mutakallim (pengucap) ucapan makhluk, tetapi disebut sebagai pencipta ucapan makhluk.([48]) Lebih lanjut al-Juwaini mengatakan, apabila ada seseorang membaca ayat al Qur'ān, kemudian ia mengatakan bahwa yang dibacanya itu adalah firman Allah, maka ucapan orang itu benar adanya dan tidak diingkari kebenarannya. Al-Qur'an disebut kalam Allah hanya sekadar istilah bahasa dan penamaan saja. Al-Qur’an boleh disebut sebagai firman Allah dalam arti Allah yang menciptakannya dalam bentuk kata-kata dan susunan kalimat. Akan tetapi, dalam hal ini, Allah tidak boleh disebut mutakallim (pengucap). Jadi, yang disebut dengan kalam Allah yang disifati dengan qadim itu adalah makna atau arti yang ada dibalik kata-kata yang tersusun dan terdiri dari suara bila dibaca.[49] Pandangan seperti ini sama dengan pendapat pendahulunya, Abu> H}asan al-Asy’ari.
Abu> Hamid al-Ghaza>li, merumuskan pandangannya tentang kalam Allah dengan menyatakan bahwa; “Sesungguhnya Allah S.w.t. Maha Berbicara (al-mutakallim), Maha Memerintah dan Melarang, memberi janji (yang menyenangkan) dan memberi ancaman”[50]. Menurut al-Ghaza>li, semua itu dilakukan dengan Kalam-Nya yang Azali lagi Qadim, yang terkait dengan Zat Allah, yang tidak sama atau mirip dengan pembicaraan makhluk. Sebab Kalam-Nya tidak menggunakan suara yang muncul dari getaran udara atau akibat perbenturan atau pergesekan antara benda yang satu dengan yang lain, tidak pula dengan huruf yang boleh dituturkan dengan gerakan bibir dan lidah.[51]
Sesungguhnya al-Qur'an, Taurat, Injil dan Zabur, menurut al-Ghaza>li, adalah Kitab-kitab-Nya yang diturunkan kepada para Rasul-Nya. Dan sesungguhnya al-Qur'an yang dibaca dengan lisan, yang tertulis dalam mushaf dan yang dihafal dalam hati adalah Qadim karena terkait dengan Zat Allah yang Qadim, yang tidak dapat dipisah-pisahkan dengan memindahkan pada hati dan kertas. Menurut al-Ghaza>li, sesungguhnya Musa a.s. mendengar Kalam Allah dengan tanpa suara dan huruf, sebagaimana orang-orang bijak di akhirat nanti akan melihat zat Allah dengan tanpa terdiri dari elemen (jawhar) maupun sifat yang ada pada jisim (‘arad})[52].
Al-Ghaza>li memberikan analogi terhadap bolehnya mendengar Kalam Allah yang tanpa suara dan tanpa huruf, dengan bolehnya melihat Zat Yang Wujud dengan tanpa jisim dan warna, tidak dapat diukur dengan bentuk atau ukuran apa pun.[53] Demikian juga, apabila kita berfikir tentang tujuh lapis langit, syurga, neraka, bahwa itu semua boleh ditulis pada secarik kertas, dan boleh dihafal dalam memori yang hanya perlu tempat yang sangat sedikit, boleh dilihat dengan lensa mata kita yang sangat kecil, dengan tanpa harus menempatkan zat atau objek yang dilihat atau yang dihafal dari langit, bumi, neraka, syurga di dalam lensa mata atau dalam memori atau di dalam secarik kertas. Oleh sebab itu, menurut al-Ghaza>li, secara rasional, kalam Allah yang dibaca dengan lisan, yang ditulis pada lembaran mushaf, yang dihafal dalam hati (memori), tidaklah mesti menempatkan zat atau esensi dari kalam itu sendiri ke dalam sarana-sarana tersebut. Karena itu, menurut al-Ghaza>li, sekiranya esensi dari Kalam itu harus bertempat dalam Kitab Allah yang tertulis di dalam lembaran kertas, tentu Zat Allah juga akan bertempat pada kertas ketika nama Allah ditulis dalam lembaran kertas itu, zat atau esensi api juga akan bertempat pada kertas ketika lembaran kertas itu tertulis kata “api”, sehingga kertas itu akan terbakar.[54]
Dari uraian-uraian yang telah dikemukakan di atas, dapat disimpulkan bahwa kalam Allah, menurut aliran al-Asy’ariyyah, adalah sifat, dan sebagai sifat Allah, maka mestilah ia kekal. Untuk mengatasi persoalan bahwa yang tersusun tidak boleh bersifat kekal atau qadim, seperti yang dikemukakan oleh Muktazilah,([55]) al-Asy’ariyyah memberi definisi lain tentang kalam. Kalam atau al-Qur’an bagi al-Asy’ariyyah adalah arti atau makna abstrak dan tidak tersusun. Kalam bukanlah apa yang tersusun dari huruf dan suara. Kalam yang tersusun itu disebut firman hanya dalam arti kiasan. Kalam yang sebenarnya ialah apa yang terletak di balik yang tersusun itu. Jadi, kalam yang tersusun dari huruf dan kata-kata itu bukanlah kalam Allah. Dengan demikian, kalam dalam arti abstrak inilah yang dapat bersifat kekal dan menjadi sifat Allah. Yang dimaksud dengan al-Qur’an pada hakikatnya bukanlah apa yang tersusun dari huruf, kata-kata dan surat-surat, tetapi arti atau makna yang abstrak itu. Dalam arti inilah al-Qur’an menjadi kalam Allah dan bersifat kekal. Sedangkan dalam arti huruf, kata-kata, ayat dan surat yang ditulis atau dibaca, al-Qur’an bersifat baru serta diciptakan, dan bukan kalam Allah.
[1] Al-Qur’an, al- Hijr (15):9.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar