Taimiyah. Menurut adz-Dzahabi seorang yang melihat kehebatan Ibnu Taimiyah dalam masalah khilafiyah, maka ia akan heran dan kagum, Ibnu Taimiyah mampu mentarjih dan membandingkan segala perbedaan dengan argument yang kuat, dia berhak berijtihad sendiri karena syarat-syarat mujtahid telah dipenuhi. Sifatnya sangat dermawan, pemberani dan tidak pernah menyimpan dendam[1].
a. Ibnu Taimiyah dan Tasawuf
Sering kita mendengar bahwa Ibnu Taimiyah itu anti tasawuf dan penentang sufi, padahal kalau diperhatikan dari sikap dan pandangannya dia adalah seorang sufi dan pengikut ajaran tasawuf suni (yang sesuai dengan Al-Qur’an dan Sunah), meskipun ia tidak mengistilahkan ajaran tasawuf dengan istilah tersebut. Istilah yang sering dipakai oleh Ibnu Taimiyah adalah istilah suluk, akan tetapi substansinya adalah apa yang ada pada ajaran tasawuf.
Diantara kata-kata Ibnu Taimiyah mengenai tasawuf adalah “amal-amal hati yang diberi nama maqâmât dan ahwâl seperti: cinta kepada Allah dan Rasulnya, tawakal, Ikhlas, sabar, syukur, khauf dan semacamnya adalah kewajiban setiap maklhuk, baik kaum khâs atapun orang-orang awam”.
Kesufian Ibnu Taimiyah tidak hanya terbukti dari keilmuannya saja akan tetapi perbuatan dan sikapnya telah membuktikan akan semua ini. Adz-Dzahabi pernah bercerita bahwa dia tidak pernah menemukan orang yang banyak berdoa dan bertawajuh kepada Allah melebihi Ibnu Taimiyah.
Ibnu Qoyyim dalam kitabnya Madarus Salikin banyak bercerita tentang Ibnu Taimiyah dalam kerohanian (baca: Tasawuf). Dalam kitab Kawakibud Duriyah bahwa Ibnu Taimiyah pada malam hari sering menyepikan diri dari manusia, dia hanya sibuk dengan tuhannya, banyak bermunajat dan membaca Al-Qur’an.
Itulah pribadi Ibnu Taimiyah dalam suluk dan kerohaniannya, cukuplah kiranya Ibnu al-Qayyim dan karyanya Madarus Salikin sebagai bukti tarbiah Ibnu Taimiyah dalam konteks kesufian.
b. Kontrofersi Ibnu Taimiyah.
Pemikiran Ibnu taimiyah sering menjadi ajang polemik di kalangan para Ulama, sejak zaman Ibnu Taimiyah sendiri, dan gara-gara itu dia sering keluar masuk penjara, terutama mengenai masalah-masalah Akidah dan Fiqih. Keberanian Ibnu Taimiyah ini tidak hanya berbeda dengan para ulama di zamannya, namun Ibnu Taimiyah juga sering menyalahi Ijma`. Itulah yang membuat ulama di zamnnya geram pada Ibnu Taimiyah.
Pemikiran pertama yang menjadi kontrofersi terjadi pada tahun 698 H. Hal itu gara-gara satu fatwa yang dikenal dengan masalah hamawiah. Fatwa ini membuat Qadhi waktu itu turun tangan, yaitu Imamauddin al-Quzwaini. Qadhi itu memberi fatwa “Barang siapa yang mengambil pendapatnya Ibnu Taimiyah maka dia akan dita`zir.” Pada tahun 705 Ibnu Taimiyah kembali membikin heboh yang membuat dirinya kembali masuk penjara, dan pada tahun 709 dia dipindahkan ke Iskandariah, di sanapaun dia jaga mengeluarkan fatwa-fatwa aneh yang dipermasalahkan oleh ulama setempat.
Begitulah seterusnya Ibnu taimiyah, dia terus keluar masuk penjara baik ketika dia di Syam atau di Mesir. Dalam beberapa kasus, Ibnu Taimiyah terkesan tidak konsekwen pada pendapatnya, kadang dia mengaku bermazhab Syafii, atau bermazhab Hambali dan kadang dia juga mengaku berakidah Asyairah namun di lain kesempatan dia juga mencaci tokoh-tokoh Asya’irah, seperti Imam Ghazali dan yang lainnya. Tidak hanya itu, Ibnu Taimiyah juga berani lancang mencaci sahabat Nabi.
c. Pemikiran kontrofersi Ibnu Taimiyah
Adapun pemikiran Ibnu Taimiyah yang dianggap bertentangan dengan Ijma`dan mayoritas ahlu sunnah wal jamaah sangat banyak diantaranya adalah:
Pertama, keyakinnanya tentang Zat Allah yang mempunyai jasad seperti jasadnya makhluk, duduk seperti duduknya makhluk, bertangan, mempunyai mata dang telinga. Bahkan Ibnu Taimiyah berkata bahwa Allah turun dari langit sebagai mana turunnya dia dari mimbar. Kedua, Ibnu Taimiyah beranggapan bahwa Imannya Sayyidina Ali tidak sah, sebab beliau masuk Islam sebelum baligh, dan Iman sayyidina Abu Bakar juga tidak sah karena Abu Bakar beriman dalam keadaan pikun hingga beliau tidak mengerti apa yang di ucapkan Dan beliau berperang karena cinta kedudukan. Sedang sayyidina Utsman menurutnya sangat cinta dunia. Dalam kitab Durarul Kaminah dan kitab Fatawa Ibnu Taimiyah fil-Mizan dijelaskan panjang lebar masalah ini. Ketiga, Inkar terhadap Majaz. Ibnu taimiyah berasumsi bahwa dirinya dengan pemikiran itu berada dalam Manhaj salaf. Sebab sebagaimana yang telah masyhur bahwa ulama dalam menyikapi ayat-ayat musytabihat ada dua kelompak, kelompok pertama adalahTafwidh (menyerahkan penafsirannya pada Allah sendiri) mazhab ini yang diikuti oleh kebanyakan ulama salaf. Dan kelompok kedua adalah mazhab Ta`wil (mentafsiri ayat musytabihat sesuai dengan keesaan dan keagungan Allah) cara ini dipakai oleh ulama khalaf.
Disamping itu keingkaran Ibnu taymiyah pada majaz dapat menimbulkan pengertian yang salah terhadap teks Syariah, Ibnu Qayyim sendiri sebagai murid setia Ibnu Taimiyah merasa kebingungan menyikapi masalah ini, sebab tidak sedikit dari ulama salaf dan pengikut mazhab Hanafi (Ibnu Taimiyah mengaku bermazhab ini) yang mempercayai adanya majaz dalam al-Quran. Seperti Ibnu Abi Ya`la, Ibnu Agil, Ibnu al-Khattab dan lain-lain sangat menganggap keberadaan majaz dalam al-Quran[3].
Seseorang yang membaca kitab Shawaiq al-Mursalah karya Ibnu Qayyim, maka akan tampak kebingungannya dalam menyikapi pendapat gurunya tersebut. Keempat, Ibnu Taimiyah menyalahi Ijma` ulama. Seperti pendapatnya talak waktu haid itu tidak terjadi, masalah ta`liq talak, seorang haid boleh tawaf tampa membayar kaffarat, kata-kata talak tiga hanya terjadi satu dan beberapa pendapat nyeleneh lainnya. Al-hasil banyak pendapat Ibnu taimiyah yang bertentangan dengan mayoritas ulama Ahlu sunnah wal jamaah.
[1] Ibnu Hajar al-Asqalani, “Addurarul kaminah”. Dar al-Fikr, 1984. hal. 88
[2] Abu Hasan An-Nadwi, Robbaniyah La Rohbaniyah, hal 75-76
[3] Mansur Muhammad Ghawas, “Ibnu Taimiyah Laisa Salafiyan”, hal. 41
Tidak ada komentar:
Posting Komentar