Ira>dah dan qudrah Allah S.w.t
Dalam teologi Islam, terdapat dua pandangan mengenai kekuasaan dan kehendak Allah. Pertama, bahwa kekuasaan dan kehendak Allah pada hakikatnya tidak lagi bersifat mutlak
semutlak-mutlaknya, ([1]) karena dibatasi, antara lain, oleh nature atau sunnah Allah yang tidak mengalami perubahan. ([2]) Allah S.w.t menjelaskan dalam al-Qur’an:
ولن تجد لسنة الله تبديلا[3]
Terjemahnya:
Tidak akan engkau jumpai perubahan pada Sunnah Allah.
Ayat al-Qur’an (33:62) tersebut menjelaskan bahwa tiap-tiap benda mempunyai sifat dan nature sendiri yang menimbulkan efek tertentu menurut nature masing-masing. ([4]) Efek atau kesan yang ditimbulkan tiap benda, seperti gerak, diam, warna, rasa, bau, panas, dingin, basah dan kering, timbul, sesuai dengan nature dari masing-masing benda yang bersangkutan. Sebenarnya, efek yang ditimbulkan tiap benda itu bukan perbuatan Allah. Perbuatan Allah hanyalah menciptakan benda-benda yang mempunyai nature tertentu itu.[5]
Kedua, kekuasaan dan kehendak Allah bersifat mutlak dan tidak terbatas oleh apapun juga. ([6]) Semua yang terjadi di dunia ini ditetapkan oleh Allah, sejak zaman azali, dengan kekuasaan dan kehendak mutlak-Nya. Allah bersifat absolut dalam kehendak dan kekuasaan-Nya. Allah adalah Maha Pemilik (al-ma>lik) yang bersifat mutlak dan berbuat apa saja yang dikehendaki-Nya dalam kerajaan-Nya dan tidak seorangpun yang dapat mencela perbuatan-Nya. ([7])
Aliran teologi yang menyatakan manusia mempunyai daya yang besar lagi bebas serta mengakui ketidakmutlakan kekuasaan dan kehendak Allah, dalam teologi Islam, biasanya disebut dengan Qadariyyah, yaitu aliran yang mengakui adanya free will dan free act bagi manusia. ([8]) Adapun aliran yang tidak mengakui adanya kebebasan manusia dalam berbuat dan berkehendak biasanya disebut dengan Jabariyyah, yakni aliran yang menyebut manusia sebagai umat fatalisme atau predestination. ([9])
Muktazilah merupakan salah satu contoh dalam aliran pertama. Muktazilah bartitik tolak dari pemahaman bahwa perbuatan manusia tidaklah diciptakan oleh Allah tetapi manusia sendiri yang menciptakannya. ([10]) Pemberian kebebasan kepada manusia membatasi kehendak dan kekuasaan mutlak Allah sendiri. Apabila dilanggar-Nya akan bertentangan dengan keadilan-Nya.
Berdasarkan kepada kebebasannya, maka manusia merdeka dalam menentukan nasibnya sendiri. Kebebasan itu membawa tanggungjawab peribadi. Dengan kata lain, segala perbuatan manusia, baik yang mendatangkan pahala maupun yang mendatangkan dosa, secara penuh merupakan tanggungjawab manusia itu sendiri. Pernyataan ini mereka sandarkan kepada firman Allah S.w.t yang berbunyi:
([11]) كل نفس بما كسبت رهينة
Terjemahnya:
Tiap-tiap diri bertanggungjawab atas apa yang telah diperbuatnya.[12]
Demikian juga firman Allah S.w.t:
عمل صالحا فلنفسه ومن أساء فعليها[13] من
Terjemahnya:
Barang siapa mengerjakan amal yang soleh maka pahalanya untuk dirinya sendiri, dan barang siapa yang berbuat kejahatan maka dosanya untuk dirinya sendiri.
Menurut al-Asy’ari, kekuasaan dan kehendak Allah adalah mutlak. Dalam al-Ibānah, al-Asy’ari mengatakan bahwa Allah tidak tunduk kepada siapapun; di atas Allah tidak ada sesuatu zat lain yang dapat membuat hukum dan dapat menentukan apa yang boleh dibuat dan apa pula yang tidak boleh dibuat Allah.([14]) Allah bersifat mutlak dalam kehendak dan kekuasaan-Nya. Selanjutnya, al-Asy’ari menyatakan bahwa Allah tidak mempunyai kewajiban apa-apa terhadap makhluk-Nya. Maka Allah tidak wajib memasukkan orang yang berbuat baik ke dalam Syurga atau memasukkan orang yang berbuat jahat ke dalam Neraka. Bahkan, menurut al-Asy’ari Allah boleh memasukkan orang yang berbuat baik ke dalam neraka dan memasukkan orang yang berbuat jahat ke dalam syurga, menurut kehendak-Nya dan sesuai dengan kekuasaan-Nya yang mutlak. ([15]) Namun demikian, menurut al-Asy’ari, Allah tidak akan berbuat sedemikian itu sebab Allah telah memberitakan kepada manusia bahwa Dia akan menyiksa orang kafir dan Allah tidak berdusta terhadap berita-berita-Nya itu.([16])
Al-Asy’ari yakin dan tetap terus mempertahankan pernyataannya mengenai kekuasaan dan kehendak mutlak Allah, walaupun ia menyadari bahwa pernyataannya itu boleh membawa kepada pengertian bahwa Allah boleh berbuat sewenang-wenang terhadap hamba-Nya. Oleh karena itu, untuk menghindari kesalahpemahaman terhadap pernyataannya tersebut, al-Asy’ari mengatakan bahwa dusta itu bersifat buruk sebab Allah telah membuatnya buruk, jika dusta itu dibuat-Nya baik dan Allah menyuruh kita berdusta, maka tidak seorangpun yang dapat mencegahnya. ([17]) Menurut al-Asy’ari, baik dan buruk ditentukan oleh Allah, bukan ditentukan oleh akal manusia.[18]
Dari kenyataan di atas, dapat dipahami bahwa Allah, bagi al-Asy’ari, mempunyai kekuasaan dan kehendak mutlak yang tidak dibatasi oleh apapun juga. Jika Allah tidak memasukkan orang kafir ke neraka, itu bukan berarti Allah tidak berkuasa untuk memasukkannya ke dalam Syurga. Sebab, memasukkan orang kafir ke dalam Syurga sama halnya dengan Allah berbuat dusta, sedangkan dusta merupakan sifat mustahil bagi Allah sebagaimana sifat bodoh juga merupakan sifat yang mustahil bagi-Nya. Al-Asy’ari benar-benar menghindari adanya kewajiban-kewajiban bagi Allah karena dengan adanya kewajiban berarti adanya batasan bagi kekuasaan dan kehendak mutlak Allah. Pemakaian kata 'mustahil' dalam pernyataan al-Asy’ari, tidak akan berakibat pada pengurangan terhadap kekuasaan dan kehendak mutlak Allah.
Kemutlakan kekuasaan dan kehendak Allah ini juga dikemukakan oleh al-Ba>qilla>ni>, Allah adalah Maha Pemilik (al-mālik) yang bersifat mutlak dan berbuat apa saja yang dikehendaki-Nya dalam kerajaan-Nya dan tidak seorangpun yang dapat mencela perbuatan-Nya itu;([19]) meskipun perbuatan-perbuatan Allah itu menurut partimbangan akal manusia dianggap atau dipandang tidak baik dan tidak adil. Dalam hubungan ini, al-Ba>qilla>ni> mengatakan bahwa boleh saja Allah melarang apa yang telah diperintahnya dan memerintahkan apa yang telah dilarangnya. ([20]) Allah bersifat adil dalam segala perbuatan-Nya, tidak ada suatu laranganpun bagi Allah. Dia akan berbuat apa saja yang dikehendaki-Nya, seluruh makhluk adalah milik-Nya dan perintah-Nya adalah di atas segala perintah; Dia tidak bertanggungjawab tentang perbuatan-perbuatan-Nya kepada siapapun.([21])
Selanjutnya, al-Juwaini menyatakan bahwa tidak ada kewajiban-kewajiban bagi Allah. Allah sebagai zat yang tartinggi dan Maha Berkuasa, tidak satupun yang mengikat-Nya untuk memenuhi kewajiban-kewajiban[22] Pemahaman ini berdasarkan kepada argumenasi: [23]
Pertama, jika yang dimaksud dengan melaksanakan kewajiban itu adalah melaksanakan perintah, maka ia tidak benar karena Allah adalah Maha Memerintah. Tidak ada seorangpun yang boleh memerintah-Nya. Kedua, jika yang dimaksud dengan kewajiban itu adalah: Allah akan celaka jika tidak melaksanakannya, maka itupun tidak benar sebab Allah Maha Suci dari manfaat dan celaka. Ketiga, jika yang dimaksud dengan kewajiban itu adalah baik bagi Allah jika Dia melaksanakannya dan buruk bagi-Nya jika Dia tidak melaksanakannya, itupun salah karena segala perbuatan Allah itu baik dan benar.
Seterusnya, al-Juwaini menyatakan bahwa Allah berjanji akan memberikan pahala kepada orang yang berbuat baik dan akan memberikan siksaan kepada orang yang berbuat jahat. Janji dan ancaman Allah adalah benar dan Allah pasti akan memenuhi janji dan ancaman-Nya itu. ([24]) Akan tetapi, menurut al-Juwaini, karena Allah mempunyai sifat pemurah (al-Rahmān) dan pengasih (al-Rahīm), maka tidak mustahil Allah memberikan pengampunan bagi orang yang berbuat dosa. ([25]) Jadi, menurut al-Juwaini, walaupun Allah tidak mempunyai kewajiban apa-apa terhadap makhluk-Nya, namun Allah pasti memenuhi janji dan ancaman-Nya. Di samping itu, sesuai dengan sifat Allah 'Yang Maha Pengasih, Penyayang dan Pemurah’, maka tidak mustahil Allah membatalkan siksaan bagi orang yang berbuat jahat dan memasukkannya ke dalam Syurga. ([26])
Dari keterangan di atas, nampak bahwa kekuasaan dan kehendak Allah tidak lagi benar-benar mutlak, sebagaimana pendapat al-Asy’ari. Bagi al-Juwaini kekuasaan dan kehendak Allah itu tidak mutlak lagi karena paham adanya kekuasaan dan kehendak mutlak Allah itu bertentangan dengan paham keadilan Allah. Oleh karena itu, kekuasaan dan kehendak Allah itu tidak lagi mempunyai sifat mutlak semutlak-mutlaknya sebab telah dibatasi oleh keadilan tersebut. Menurut al-Asy’ari dan al-Juwaini, perundangan yang dibuat oleh Allah itu boleh saja tidak dipatuhi oleh-Nya, sesuai dengan kehendak dan kekuasaan yang dimiliki-Nya, ini bukan berarti Allah sengaja berbuat dusta atau melanggar janji dan ketentuan-Nya. Tetapi menurut al-Juwaini, karena Allah bersifat Pemurah lagi Pengasih kepada hamba-Nya.
Senada dengan itu, al-Ghaza>li menyatakan bahwa Allah dapat berbuat apa saja yang dikehendaki-Nya, dapat memberikan hukuman menurut kehendak-Nya,([27]) dapat menyiksa orang yang berbuat baik jika itu dikehendaki-Nya dan dapat memberikan upah kepada orang kafir jika yang demikian dikehendaki-Nya. ([28])
Kemutlakan kekuasaan dan kehendak Allah yang digambarkan di atas dapat pula dilihat dari pemahaman al-Ghaza>li yang selaras dengan pemahaman al-Asy’ariyyah lainnya bahwa Allah dapat membebaskan manusia dari kewajiban yang tidak mampu dipikulnya.[29] Pemahaman ini sesuai dengan pemahaman al-Asy’ari sendiri bahwa sekiranya Allah mewahyukan bahwa berdusta adalah baik, maka berdusta mestilah baik, bukan buruk.[30]
Dari keterangan di atas dapat disimpulkan bahwa bagi aliran al-Asy’ariyyah, kekuasaan Allah bersifat mutlak. Allah bebas berbuat apa saja yang dikehendaki-Nya dan menentukan segala-galanya menurut kehendak-Nya. Tidak ada sesuatu kekuatan dan sebarang aturan yang dapat menentang atau memaksa Allah, dan tidak ada larangan-larangan terhadap-Nya. Allah tidak terikat oleh aturan-aturan yang telah dibuat-Nya untuk manusia.
[1]Albert N. Nader, 1956, Le Systeme philosophique des Mu’tazilah Beirut: Les Lettres Orientales, hal. 145; Bandingkan Harun Nasution, Teologi Islam, hal. 118.
[22] Ibid., hal. 271-272i, al-Irsyad, hal. 271.
[23] Ibid., hal. 271-272
[24] Pernyataan ini merupakan bantahan terhadap pendapat Muktazilah yang menyatakan bahwa Tuhan wajib melaksanakan janji dan ancaman-Nya. Mereka mengatakan bahwa pemberian ampun kepada orang yang berbuat jahat yang mati sebelum bertaubat bukanlah merupakan kemurahan hati (karam), karena kemurahan hati termasuk perbuatan baik, sedangkan berdusta termasuk perbuatan buruk. Apabila Tuhan menyalahi ancaman-Nya, berarti Tuhan berdusta. Mana mungkin suatu dusta dapat dikatakan sebagai kebaikan dan Tuhan tidak akan membatalkan siksaan-Nya bagi orang-orang yang meninggal dunia dalam keadaan berdosa. ‘Abd al-Jabbār, al- Usūl al-khamsah, hal. 136.
[25] cAbd al-Mā1ik al-Juwayni, al-‘Aqīdah al-nizāmiyyah, hal. 43.
[26] Dalam konteks ini, secara kontekstual, Tuhan tidak akan menyiksa orang yang berbuat baik. Tuhan ibarat seorang Raja Agung yang memiliki institusi; secara konstitusional Raja Agung sekali-kali memberikan agresi (keringan hukuman) terhadap pelanggar hukum. Pemberian agresi tersebut bukan berarti Raja tidak melaksanakan peraturan atau melanggar perundangan yang dikuat kuasakan-Nya, tetapi pemberian agresi itu menunjukkan bahwa la adalah seorang Raja yang Pemurah dan Pengampun.
[27] al-Ghazāli, al-Iqtisad fi al-i’tiqad, hal. 184.
[28] Ibid., hal. 165.
[29] Ibid., hal 160. al-Syihristani, al-Milal, vol.I, hal. 135.
[30] Abu Hasan al-Asy’ari,al-Luma’, hal. 71
Tidak ada komentar:
Posting Komentar