Metodologi Pemikiran al-Juwayni[1]
Setelah zaman al-Ba>qila>ni berlalu, datanglah zaman al-Juwayni. Pada zaman ini metodologi al-Asy’ariyyah dikemas
dengan kemasan logika lebih dari sebelumnya. Dalam bukunya “al-Irsya>d ila> qawa>t}i al-adillah” ia menegaskan bahwa kewajiban seseorang muslim dewasa ialah mengadakan penyelidikan akal pikiran yang boleh membawa kepada keyakinan bahwa alam semesta ini adalah baru, dan kalau ia baru tentu ada penciptanya. Pencipta itu, menurut al-Juwayni, adalah Tuhan[2].
Meskipun al-Juwayni mengemukakan alasan-alasan mengenai wajibnya penyelidikan tersebut, namun ia menentang pendirian Muktazilah yang mengatakan bahwa penyelidikan itu adalah kewajiban akal.[3] Menurut al-Juwayni, kewajiban untuk melakukan penyelidikan adalah kewajiban syar’i. Dengan kata lain, syaraklah yang mewajibkan kita melakukan penyelidikan akal untuk sampai kepada sesuatu keyakinan bahwa sesungguhnya Allahlah yang menciptakan segala yang ada ini.[4]
Disamping itu, al-Juwayni juga melakukan perluasan pada premis-premis logika lebih dari apa yang dilakukan al-Ba>qila>ni. Bahkan al-Juwayni menyalahi kaedah yang diadopsi dari al-Ba>qila>ni. Kaedah yang dimaksud adalah “kesalahan madlul karena kesalahan dalilnya”. Al-Juwayni mengatakan “kesalahan dalil tidak selamanya mengandung kesalahan madlul”.[5]
Pada masa al-Juwayni, terjadi hubungan yang mesra antara ilmu mantiq (logic) yang merupakan bagian dari ilmu-ilmu Filsafat dengan ilmu kalam setelah sebelumnya terjadi perseteruan antara keduanya, Masa ini, terjadi opini umum bahwa ilmu mantiq seharusnya dibedakan dengan cabang-cabang ilmu Filsafat yang lain, karena menurut al-Juwayni, Ilmu ini tidak lebih dari sekadar kaedah-kaedah (qanun) bagi memproduksi konklusi yang benar dari premis-premis yang benar. Karena ini pulalah, menurut al-Juwayni, ilmu mantiq dianggap sebagai sebuah ilmu yang tidak hanya diperlukan oleh ilmu Filsafat tetapi juga diperlukan oleh ilmu-ilmu yang lain. Ibn Khaldun menilai, bahwa sejak masa itulah ilmu mantiq bercampur dengan ilmu kalam sampai kepada satu level dimana kita susah untuk memisahkan antara kedua-dua ilmu ini dalam satu buku yang sama[6].
Al-Juwayni, menurut Mahmud Subhi>, berbeda dengan pendahulu-pendahulunya, beliau tidak hanya memfokuskan perhatiannya untuk menyerang Muktazilah, tetapi dia juga mempartimbangkan bahaya para ahli Filsafat yang menurutnya jauh lebih berbahaya bagi agama daripada golongan Muktazilah[7]. Karena itulah, mengikut al-S}ubhi>, al-Juwayni memberi waktu khusus untuk menyerang ahli Filsafat,[8] meskipun tidak setajam dan seakurat dengan penyerangan yang dilakukan oleh penerusnya, al-Ghaza>li. [9]
Inilah salah satu faktor penyebab metodologi al-Asy’ariyyah hasil konstruk al-Juwayni dinilai oleh beberapa pakar, termasuk Ibn Taymiyyah, sebagai sebuah metodologi yang lebih mendekati metodologi Muktazilah dan Filsafat dibanding pendahulu-pendahulunya dari segi penggunaan akal[10]. Dengan demikian, mengikut al-s}ubhi>, pengembangan metodologi aliran al-Asy’ariyyah dianggap mengalami loncatan yang jauh (perobahan besar) di tangan al-Juwayni[11], sebagaimana hal itu tampak jelas pada sikap al-Juwayni terhadap pelbagai masalah aqidah terutamanya masalah ‘perbuatan manusia’ (af’a>lul ‘Iba>d). Al-Juwayni dalam perkara itu kelihatan lebih mendekati pandangan Muktazilah.[12]
Menyangkut af’a>lul ‘Iba>d misalnya, apabila Al-Asy’ari berpendapat bahwa daya (kudrat) seseorang hamba tidak memiliki pengaruh terhadap perbuatannya, kemudian al-Ba>qila>ni menyatakan bahwa kudrat seseorang mempunyai pengaruh pada salah satu sifat-sifat perbuatan seseorang baik berupa ketaatan ataupun kemaksiatan, pengaruh itu kemudian ia sebut sebagai kasb, dan al-kasb inilah kemudian menjadikan manusia layak menerima pahala atau siksaan dari-Nya. Al-Juwayni menyatakan bahwa secara logika, tidak mungkin menafikan adanya pengaruh dari kudrat manusia, sebab apabila itu terjadi, berarti sama halnya kalau kita menafikan kudrat itu sendiri, dan hal ini tentu tidak boleh diterima oleh akal sehat.[13] Oleh karena itu, kata Al-Juwayni, kita harus menisbahkan perbuatan itu kepada daya yang ada padanya, tapi bukan dengan pengertian bahwa daya itulah yang meciptakannya atau mengadakannya, sebab jika itu terjadi, menurut Juwayni, memberi kesan bahwa daya itu yang mengadakan perbuatan dari tidak ada menjadi ada, padahal kesan itu, tidak boleh ada bagi manusia. Namun, menurut Juwayni, terjadinya perbuatan manusia karena dipengaruhi oleh daya atau kudrat manusia, kemudian kudrat itu dalam proses pengadaan sebuah perbuatan tadi, ia terpengaruh dengan sebab yang lain, dan sebab ini juga dipengaruhi oleh sebab lain sampai kepada sebab segala sesuatu yaitu Allah. s.w.t. [14]
Peningkatan modifikasi itu membuat al-Juwayni lebih mendekati aliran Muktazilah dibanding al-Ba>qila>ni dan Al-Asy’ari. Karena itu pulalah sehingga banyk pengkaji menilai, bahwa metodologi al-Juwayni adalah metodologi muta’akhirin karena ia lebih banyak memberi peran bagi akal dibanding dengan teks (nas).[15]Itu pula sebabnya, apabila Ibn Taymiyyah membuat kategorisasi (pengelompokan) metodologi-metodologi yang diakui menurut pandangannya, maka dia memulai dari al-Ba>qila>ni kemudian dia urut secara runtun sampai kepada generasi ta>bi’i>n dan generasi sahabat. Ibn Taymiyyah tidak memulai pengelompokan itu daripada al-Juwayni, Ini mengindikasikan bahwa metodologi al-Juwayni tidak sama dengan al-Ba>qila>ni dan Al-Asy’ari dalam hal mengikuti Sunnah[16].
Walau bagaimanapun, pengembangan metodologi al-Juwayni tetap tidak keluar dari kerangka umum daripada metodologi yang telah dibangun pendirinya, Al-Asy’ari, karena al-Juwayni tidak berlebihan dalam menggunakan akal seperti halnya Muktazilah dan para ahli Filsafat. Dengan kata lain bahwa apa yang dilakukan al-Juwayni, sebenarnya tidak lebih daripada bukti perhatiannya pada aspek akal bagi menyesuaikan diri dengan apa yang menjadi keharusan baginya untuk menghadapi aliran-aliran sesat masa itu. al-Juwayni tetap konsisten terhadap dua asas metodologi mazhab yaitu penggunaan akal dan nas secara bersamaan[17], meskipun disadari pula bahwa, terdapat beberapa perkara tertentu, metodologi yang telah dibangun oleh Imam Al-Asy’ari sudah mengalami pelenturan oleh al-Ba>qila>ni dan al-Juwayni [18].
Al-Juwayni berhasil mewariskan beberapa karya[19] yang dianggap mengekspresikan metodologinya yang baru itu. Salah sebuah diantaranya adalah “al-Irsya>d ila> qawa>id al-adillah”. Dalam al-Irsya>d, al-Juwayni membagi-bagi sifat Tuhan kepada sifat nafsiyah dan sifat ma’nawiyyah. Sifat nafsiyyah ialah sifat is\ba>t (positif) bagi zat yang selalu menyertai zat, tanpa dikarenakan oleh sesuatu yang ada pada zat. Menurut al-Juwayni yang tercakup dalam sifat nafsiyyah ialah sifat qidam, berdiri sendiri, berbeda dengan makhluk, wahda>niyyah (ke-esa-an) dan tidak mempunyai ukuran (imtida>d, dimensi). Sifat terakhir ini, yaitu tidak mempunyai ukuran, mengharuskan al-Juwayni untuk menakwilkan ayat-ayat yang mengesankan kejisiman Tuhan dan adanya tenpat bagi Tuhan.[20] Manakala Sifat ma’nawiyyah menurut al-Juwayni, ialah sifat yang timbul (ada) karena adanya sesuatu ‘illat yang terdapat pada zat, seperti sifat “berkuasa” (qadar).[21] Adapun wujud Tuhan menurut al-Juwayni, bukan sifat melainkan Zat Tuhan sendiri[22]
Sifat-sifat Tuhan tersebut memang tidak dapat diketahui dan disaksikan seperti halnya sifat-sifat makhluk, akan tetapi dengan melalui apa yang berlaku pada alam yang dapat kita saksikan ini, kita boleh mencapai sifat-sifat Tuhan tersebut. Menurut al-Juwayni, terdapat empat perkara yang terdapat pada alam, baik alam yang tidak dapat disaksikan (alam ghayb) maupun alam yang dapat disaksikan (alam Syaha>dah), yaitu: Pertama; ‘Illat. Seperti adanya sifat “’ilmu” (tahu) menjadi cillat (sebab) seseorang dikatakan “mengetahui” (‘a>lim). Kedua; Syart (syarat). Sifat “hidup” misalnya, menjadi syarat seseorang dikatakan “mengetahui”. Ketiga; haqi>qah, (hakikat). Hakikat orang yang mengetahui ialah orang yang mempunyai sifat “tahu” (ilmu). Dan yang keempat; adalah al-‘aql (akal pikiran). Seperti penciptaan menunjukkan adanya zat yang menciptakan.[23]
Dari uraian-uraian di atas, dapat difahami bahwa al-Juwayni adalah seorang tokoh penting dalam sejarah perkembangan Teologi Islam, disamping kedudukannya sebagai guru al-Ghaza>li, tokoh aliran al-Asy’ariyyah yang cemerlang namanya.[24] Juga beliau telah berjasa dalam pengembangan metodologi mazhab al-Asy’ariyyah sekaligus meletakkan dasar-dasar bagi pengembangan-pengembangan yang terjadi setelahnya.
[1] Namanya Abd al-Malik bin Abdillah bin Yusuf bin Muhammad al-Juwayni al-Naysaburi, dilahirkan di Naysabur (Iran) kemudian setelah besar pergi kekota mu’askar, dan akhirnya tinggal di kota Bagdad. Kegiatan ilmiyahnya meliputi Usul fiqh dan Teologi Islam. Ia mengikuti al-Baqillani dan al-Asy’ari dalam menjunjung tinggi kekuasaan akal pikiran, suatu hal yang menyebabkan kemarahan ahl Hadis kepadanya. Akhirnya terpaksa meninggalkan Bagdad, menuju Hijaz dan bertempat tinggal di Makkah kemudian ke Madinah untuk memberikan pelajaran disana. Karena itu, ia mendapat gelar “Imam al-haramayn”. Setelah Nizam al-mulk memegang kerajaan dan mendirikan sekolah Nizamiyyah di Naysabur, al-Juwayni diminta kembali ke negerinya untuk memberikan pelajaran disana. Rujuk: Tabaqat al-syafi’iyyah al-kubra, Vol.V, hal.165. Juga wafayat al-a’yan, Vol.II, hal.341. Juga Tabyin kadhb al-muftari, hal.278. Juga al-Nujum al-zahirah, Vol.V, hal. 121. Juga al-A’lam, vol.IV, hal.306. Juga Kashf al-zunun, Vol.1, hal. 86. Juga al-Bidayah wa al-nihayah, Vil.XII, hal.128. Juga Shadharat al-dhahab, Vol.III, hal. 358.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar