Sayyid Hossein Nasr merupakan sosok pemikir Islam dan ulama yang kharismatik. Serta memiliki kepedulian dan daya kritis yang tinggi terhadap umat Islam. Ada beberapa pemikiran maupun ide pembaharuan[1] yang dilontarkan oleh Sayyid Hossein Nasr dalam melihat berbagai permasalahan yang dihadapi oleh umat Islam.
Menurut Azra, pemikiran Nasr bisa dimasukan ke dalam beberapa model berfikir yaitu posmodiknis, neo-modernis atau neo-sufisme. Dikatakan posmodermis karena ia banyak mengkritik pemikiran-pemikiran modernis Islam seperti Abduh, Al Afghani, Amir Ali dan Ahmad Khan sebagai pengembang budaya Barat dan sekularismenya. Neo-modernis karena ia adalah pengkritik Barat dengan segala aspeknya, dan menampilkan kembali warisan pemikrian Islam sebagai solusi atas modernitas yang dimotori Barat. Juga sebagai neo-sufisme dengan bukti sebagai seorang pemikir sufi yang menerima pluralism dan perenialisme sebagai wujud nyata pemikiran sufinya, di samping sebagai sufi yang sebenarnya; yang selalu menginginkan penggalian yang sedalam-dalamnya atas spritualitas dan makna batin Islam.[2]
1. Agama
Sayyid Hossein Nasr berpandangan bahwa memahami tradisi secara lebih baik, perlu adanya pembahasan tentang hubungan tradisi dengan agama. Agama juga memiliki akar yang hampir sama, yaitu “mengikat” (dari bahasa latin religere). “Relegio” adalah pengikat antara manusia dan langit dengan melibatkan keseluruhan wujudnya; sementara “tradio” berkaitan dengan realitas.[3] Jadi agama merpakan pengikat antara manusia dengan Tuhan sekaligus juga antara manusia dengan manusia dalam komunitas sakral, oleh muslim disebut ummat. Dalam arti itulah dapat dipahami bahwa agama dapat dikatakan sebagai asal usul tradisi. Sebagai suatu yang berasal dari langit melalui wahyu, memunculkan prinsip-prinsip tertentu yang aplikasinya dapat dianggap sebagai atau berupa tradisi. Sehingga agama cakupannya lebih luas dari pada tradisi karena agama merupakan asal dari tradisi.
Nasr menjelaskan bahwa dalam semua agama terdapat dua hal esensial yang merupakan dasar agama; pertama yang membedakan antara yang mutlak dan yang nisbi. Kedua, metode untuk mendekatkan diri kepada yang nyata dan mutlak serta hidup sesuai dengan kehendaknya menjadi tujuan dari arti bagi eksistensi manusia.
2. Eksoterik dan Esoterik
Hakikat tradisi yang melingkupi segala sesuatu yang dimungkinkan oleh adanya sifat kehadiran dimana-mana yang menjadi karakter setiap tradisi yang integral. Ia menjadikan agama sebagai pangkal segala level dan dimensi berbagai ajaran yang perujuk pada tingkatan spritual dan intelektual. Secara garis besar tingkatan ini dikelompokkan menjadi dua yaitu eksoterik dan dimensi esoterik. Eksoterik mengatur keseluruhan hidup manusia secara tradisional sedangkan yang esoterik berkaitan dengan kebutuhan spritual dan intelektual mereka yang ingin mencari Tuhan.
Nasr menjelaskan dalam Islam, ada Syariah sebagai perwujudan eksoterik dan thariqah perwujudan esoterik.
3. Orthodoksi
Tradisi akan selalu mengimplikasikan adanya ortodisi, bahkan lebih dari itu, ortodoksi tidak dapat dipisahkan dari keduanya. Jika ada sesuatu yang dinamakan kebenaran maka harus ada yang namanya kesalahan, serta norma-norma yang dapat digunakan oleh manusia untuk membedakan keduanya. Ortodoksi sebagai hakikat kebenaran dan kaitannya dengan homogenitas formal dunia tradisional. Artinya ortodoksi merupakan doktrin yang terkandung dalam ajaran-ajaran suci, karena mempunyai nilai kebenaran dan bersesuaian dengan dunia tradisional merupakan kebenaran itu sendiri.
Nasr menyatakan bahwa ortodoksi merupakan kriteria utama penilaian tradisional. Tidak ada tradisi tanpa ortodoksi serta tidak ada kemungkinan ortodoksi di luar tradisi. Ajaran dapat dikatakan tradisional apabila menyiratkan kebenaran yang kudus, langgeng serta penerapan bersinambungan (prinsip-prinsipnya) terhadap berbagai situasi ruang dan waktu. Atas dasar ini para tradisionalis menerima wahyu (kalam Tuhan) baik kandungan maupun bentuknya.
4. Kritik Nasr Terhadap Modern
Sayyid Hossein Nasr adalah salah seorang di antara sekian pemikir muslim kontemporer yang paling terkemuka pada tingkat international dan banyak memberikan perhatian serta kritik yang tajam terhadap masalah-masalah yang dihadapi manusia modern. Bagi Nasr, modern bukan berarti kontemporer atau mengikuti zaman, bukan pula suatu yang berhasil menaklukkan atau mendominasi alam semesta. Sebaliknya, modern berarti sesuatu yang terpisah dari yang transenden dari prinsip-prinsip yang langgeng dalam realitas mengatur materi dan diberikan kepada manusia melalui wahyu dalam pengertian yang paling universal. Dengan demikian oleh Nasr, dipertentangkan dengan tradisi (al-din); modernisme mengimplementasikan semua yang semata-mata manusiawi, semua yang tercerai dan terpisah dari sumber yang Ilahi. Selama ini, tradisi menyertai, dalam kenyataannya menajdi eksistensi manusia sementara modernisme adalah sebuah fenomena yang sangat baru.[4]
Satu hal yang dianggap sebagai kegagalan peradaban modern yang paling fatal ialah percobaan manusia untuk hidup dan menapikan keberadaan Tuhan dan agama. Suatu hal yang tentu sangat bertentangan dengan fitrah manusia yang dalam hatinya memiliki potensi Ilahiyah dan pasti akan selalu membutuhkan sesuatu yang bersifat transenden yaitu Tuhan. Sebagai manusia yang telah dibimbing oleh agama, kita tidak seharusnya mencontoh apa yang menjadi sisi negatif dari modernisasi di dunia Barat meskipun peranan modern ini lahir dari sebuah keunggulan metodologi sains. Yang harus dilakukan sekarang adalah mengusahkan agar iman, ilmu dan teknologi selalu berjalan beriringan. Manusia modern harus kembali dinyatakan dan diarahkan kepada kesucian, Tuhan merupakan asal dan sekaligus pusat sesuatu dan kepadanyalah kembali.
5. Gagasan Islam Tradisional (Tradisionalisme)
Tradisi berarti addin dalam pengertian yang seluas-luasnya yang mencakup semua aspek agama dan percabangannya; bisa pula disebut sunnah, apa yang sudah menjadi tradisi, bisa juga berarti silsilah yaitu rantai yang mengkaitkan setiap periode atau tahap kehidupan dan pemikiran di dunia tradisional kepada sumber, seperti tampak gamblang dalam sufisme.
Islam tradisional memandang manusia bukan sebagai makhluk yang terpenjara oleh akal dalam arti rasio semata sebagaimana yang dipahami pada zaman renaisans, tetapi sebagai makhluk suci yang tak lain adalah manusia tradisional manusia suci, menurut Nasr, hidup di dunia yang mempunyai asal maupun pusat. Dia hidup dalam kesadaran penuh sejak asal yang mengandung kesempurnaannya sendiri dan berusaha untuk menyamai, memiliki dan mentramisikan kesucian awal dan keutuhannya.[5]
Sejauh doktrin tradisional tentang manusia diperhatikan hal itu didasarkan pada konsep manusia primordial sebagai sumber kemanusiaan, refleksi sosial dan lengkap mengenai Ilahi dan realitas pola dasar yang mengandung posibilitas eksistensi kosmik itu sendiri signifikansi Islam tradisional dapat pula dipahami dalam sinaran sikapnya terhadap fase Islam. Islam tradisional menerima Al-Qur’an sebagai kalam Tuhan baik kandungan maupun bentuknya. Islam tradisional juga menerima komentar-komentar tradisional atas Al-Qur’an yang berkisar dari komentar-komentar yang linguistik dan historikal yang sapiental dan metafisikal.
Kontribusi pemikiran Sayyed Hossein Nasr terhadap pemikiran Islam memang sangat besar. Hampir menjamah semua aspek ajaran Islam sehingga dalam pemikirannya ditemukan Islam sebagai pedoman hidup yang lengkap. Bahkan dalam karya-karyanya, Sayyed Hossein Nasr selalu memberikan analisis yang sangat tajam.
[1]Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam: Sejarah Pemikiran Islam Gerakan (Cet. 12; Jakarta: Bulan Bintang, 1996), h. 12.
[2]Azumardi Azra, “Memperkenalkan Pemikiran Hossein Nasr”, dalam Seminar Sehari: Spritualitas, Krisis Dunia Modern dan Agama Masa Depan (Jakarta: Paramadina, 1993), h. 35
[3]Sayyid Hossein Nasr, Knowledge and the Sacred (Pakistan: Suhail Academy, Lahore, 1988), h. 73.
[4]Sayyed Hossein Nasr, Traditional Islam in the Modern World (London: Worts-Power Associates, 1987), h. 98.
[5]Sayyid Hossein Nasr, Intelektual Islam (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997), h. 185.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar