Hakikat kewujudan Allah S.w.t
Untuk membuktikan wujud Allah, ada empat argumen yang sering dikemukakan oleh ulama kalam([1]) yaitu:
Pertama, argumen penciptaan bahwa manusia tidaklah menciptakan dirinya sendiri dan anak-anaknya, tidak pula ia menciptakan bumi tempat ia berpijak, dan langit tempat ia bernaung tetapi diciptakan oleh Allah S.w.t. [2]
Kedua, argumen pengaturan dan pemeliharaan. Seandainya seseorang memasuki sebuah rumah yang di dalamnya ada kamar-kamar yang tersedia dengan pelbagai fasilitas yang lengkap, maka yang terlintas dalam fikiran adalah bahwa pengaturan itu tidaklah terjadi dengan sendirinya, ia pasti dipersiapkan oleh seseorang yang mengarti tentang apa yang dilakukannya. Demikian pula halnya apabila kita memperhatikan segala keajaiban yang terdapat pada penciptaan langit dan bumi, pasti keajaiban-keajaiban itu tidaklah tercipta dengan sendirinya, pasti ia diciptakan oleh sesuatu pencipta yang sangat arif dan bijaksana yaitu Allah S.w.t[3]
Ketiga, argumen gerak. Pernakah kita berfikir, mengapa matahari tidak pernah terjatuh?, mengapa bintang-bintang tidak pernah berkisar?, pada hal bola disepak anak-anak melanjung tinggi ke udara, akhirnya kembali juga ke bawah. Tetapi mengapa matahari dan bulan tetap pada posisinya dan tidak pernah jatuh ke bawah. Bintag-bintang di langit begitu banyak tak terhitung, tetapi tak sekali juga berlaga dan berbentur antara satu dengan yang lain.
Penelitian ilmiah menyatakan bahwa sesuatu yang berat mesti turun dan yang ringan mesti mengapung. Adakah sesuatu yang lebih berat daripada bumi, matahari dan bulan. Dengan demikian semakin nyatalah bahwa pasti ada Allah yang mengatur dan menetapkan ketentuannya.[4]
Keempat, argumen kejadian. Secara rasionil boleh dikatakan bahwa semua manusia yang berada di dunia ini pasti mempunyai masa awal dan masa akhir. Dan sebelum manusia dilahirkan mereka belum memiliki apa-apa seperti; kaki, tangan, telinga, mulut, rambut dan sebagainya lalu mereka berkembang sehingga menjadi manusia sempurna, baik bentuk fisik maupun spritual. Walaupun mereka juga yakin bahwa masa tinggalnya di dunia ini hanyalah terbatas. Jika seandainya manusia yang mengatur dirinya sendiri, maka tentu ia menetapkan masa usianya sendiri. Dengan demikian, semakin jelaslah adanya zat pencipta kepada diri manusia.[5]
Selain itu, Abu> Hasan al-Asy’ari menetapkan hakikat kewujudan Allah dengan menggunakan dalil qiya>s terhadap proses kejadian manusia bermula dari wujud air mani (nut}fah) lalu berubah menjadi ‘Alaqah (darah yang membeku), kemudian mud}gah (segunpal daging), lalu ‘Iz}a>m (sebentuk tulang), selanjutnya menjadi daging (lahm), kemudian menjadi manusia sempurna. Proses yang sama juga terjadi pada perkembangan manusia bermula daripada bayi lalu remaja kemudian menjadi tua dan terakhir menjadi pikun. Proses perubahan dan peralihan dari satu fase ke fase berikutnya itu, menurut al-Asy’ari tidak boleh ditentukan oleh manusia, sebab jika masalah itu berada dalam kewenangan manusia, berarti manusia tidak boleh menjadi tua dan pikun karena ia kuasa untuk mengembalikan dirinya ke usia remaja. Oleh sebab itu, menurut al-Asy’ari bertambah jelaslah bahwa peralihan situasi dan keadaan manusia daripada satu fase ke fase berikutnya hanya ditentukan oleh suatu zat yang bersifat qadīm yang berada di luar daripada diri manusia, yaitu Allah S.w.t ([6])
Metode ini, menurut al-Asy’ari, sesuai dengan metode al-Qur’an yang senantiasa mengajak manusia untuk memikirkan diri dan alam sekitarnya, selain perenenungan terhadap bukti-bukti kebesaran dan kekuasaan Allah S.w.t Selain itu, menurut al-Asy’ari, metode ini berlandaskan pada prinsip al-‘Illiyyah ( sebab akibat) dalam arti bahwa segala sesuatu yang terjadi di dunia ini pasti mempunyai sesuatu unsur penyebab (‘illah), bagi kejadiannya. Tentang masalah ini al-Asy’ari menggunakan kaedah analogi (qiyas) bahwa perubahan kapas kepada seuntai benang lalu menjadi selembar kain kemudian menjadi pakaian tidaklah mungkin terjadi tanpa mempunyai perancang dan pembuat([7]). Masalah seumpama itu pulalah, menurut al-Asy’ari yang terjadi pada diri manusia, kejadiannya pasti mempunyai sesuatu pencipta, dan pencipta itu pastilah bersifat qadim yaitu Allah S.w.t ([8]) Untuk memperkuat pendapatnya, al-Asy’ari mengutip firman Allah yang berbunyi:
وفى أنفسكم أفلا تبصرون
Terjemahnya:
Dan (juga) pada dirimu sendiri. Maka apakah kamu tidak memperhatikan
Selanjutnya, al-Ba>qila>ni dalam membincangkan sifat al-wujud, beliau membagi wujud kepada dua bagian, yaitu: pertama, wujud kekal yang senantiasa qadīm, yakni Allah dan sifat-sifat zat-Nya, dan yang kedua adalah wujud baru yang muhdas\, yaitu wujud yang pada mulanya tidak ada kemudian menjadi ada. Manakala wujud baru itu terbagi lagi kepada tiga bentuk yaitu; jism, jawhar dan ,’arad. ([9])
Berkenaan dengan itu, al-Ba>qila>ni menyatakan bahwa alam ini adalah baru karena terdiri dari jism, jawhar dan ‘arad, yang bergerak setelah diam, terpisah setelah berkumpul, berubah keadaannya dan sifat-sifatnya.([10]) Kebaruan alam ini menurut al-Ba>qila>ni tentu bergantung kepada penciptanya, dan yang menciptakannya tentu bukan daripada alam ini, ia berlainan daripada alam, dan bahkan ia mesti bersifat qadīm, dan yang qadīm itu hanyalah Allah.([11]) Allah, menurut al-Ba>qila>ni,, tidak mempunyai persamaan dengan alam, baik jenis maupun bentuknya sebab menurut al-Ba>qila>ni, jika Allah mempunyai persamaan dengan alam ini, berarti akan terjadi salah satu daripada dua kemungkinan, Allah baru atau alam ini yang qadīm, dimana kedua-duanya mustahil terjadi pada Allah. Karena itu, menurut al-Ba>qila>ni, semua yang maujud selain daripada Allah adalah baru. ([12])
Selanjutnya al-Juwayni dalam bukunya “al-Irsya>d ila> qawa>t}i’ al-adillah” ia menegaskan bahwa kewajiban seorang muslim dewasa ialah melakukan penyelidikan akal fikiran ke arah terwujudnya sebuah keyakinan bahwa alam semesta ini adalah baru, dan kalau ia baru tentu ada penciptanya. Pencipta itu, menurut al-Juwayni, adalah Allah[13]. Meskipun al-Juwayni mengemukakan alasan-alasan mengenai wajibnya berfikir tersebut, namun ia menentang pendirian aliran Muktazilah yang mengatakan bahwa berfikir tentang adanya Allah adalah kewajiban akal.[14] Menurut al-Juwaini, kewajiban berfikir tentang adanya Allah adalah kewajiban syara’. Dengan kata lain, syara’ yang mewajibkan kita berfikir untuk sampai kepada sesuatu keyakinan bahwa sesungguhnya Allahlah yang menciptakan segala yang ada ini.[15]
Ketika Imam al-Ghaza>li> merumuskan pokok-pokok fikirannya untuk mengetahui kewujudan Allah S.w.t melalui petunjuk al-Qur’an[16], fitrah manusia, dan akal fikiran. Al-Ghaza>li menegaskan, bahwa dari pemahaman akal yang sangat sederhana saja boleh memahami bahwa terjadinya segala sesuatu yang baru (makhluk) tidak boleh terlepas dari adanya suatu sebab[17]. Dalam hal ini menurut al-Ghaza>li bahwa jisim atau benda-benda alam ini tidak pernah terlepas daripada gerak dan diam, sementara gerak dan diam adalah sesuatu yang baru, sedangkan sesuatu yang tidak boleh lepas daripada unsur-unsur baru mesti baru juga[18].
Alasan yang dikemukakan al-Ghaza>li tentang ‘gerak’ dan ‘diam’ merupakan sesuatu yang baru” [19] Adalah karena antara ‘gerak’ dan ‘diam’ kedua-duanya saling bergantian, salah satu daripada dua unsur tersebut baru akan muncul setelah yang lainnya tidak ada. Hal ini, menurut al-Ghaza>li, berlaku pada semua jisim atau benda, baik yang boleh dilihat maupun yang tidak boleh dilihat. Oleh karena itu, menurut al-Ghaza>li, semua benda yang diam, akal mesti mengambil keputusan bahwa benda yang diam itu boleh saja akan bergerak. Dan setiap benda yang bergerak, akal mesti mengambil keputusan bahwa benda yang bergerak itu boleh saja akan berhenti dan diam. Maka, apabila yang terjadi adalah salah satu dari dua unsur (gerak dan diam) tersebut, berarti ia adalah baru[20]. Oleh karena itu, al-Ghaza>li menegaskan bahwa “segala sesuatu yang tidak boleh lepas daripada unsur-unsur baru, maka hukum sesuatu itu juga baru.”[21]
Berangkat dari realitas di atas, al-Ghaza>li menyimpulkan bahwa, alam ini tidak pernah lepas dari unsur-unsur baru, maka dengan demikian alam ini juga merupakan sesuatu yang baru. Kalau sudah boleh dipastikan bahwa alam ini adalah sesuatu yang baru, maka secara rasionil ia memerlukan sesuatu wujud pencipta[22], yaitu Allah S.w.t
[1] Muhammad al-Ghazali, 1411 H/ 1990, ‘Aqidat al-Muslim, hal. 17-20.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar