Ali Syariati adalah anak pertama dari Muhammad Taqi dan Zahra, ia lahir di daerah Mazinan yang terletak di pinggiran kota Mashad Iran pada tanggal 24 November 1933, bertepatan dengan
peristiwa penting yang dialami oleh ayahnya, yakni berhasil menyelesaikan studi keagamaan dasarnya dan diamanahkan sebagai pengajar di Sekolah Dasar Syerafat. Keluarga Ali Syariati tergolong sebagai keluarga terhormat dan bahkan taat terhadap agama, ritual keagamaan merupakan kegemaran secara seksama dalam rumah tangganya. Islam dipandang oleh ayah keluarga ini lebih sebagai doktrin dan filsafat yang relevan dengan zaman moderen, dari pada sebagai keyakinan masa lalu yang bersifat pribadi dan untuk memikirkan diri sendiri.[1]Syariati tergolong sebagai salah satu tokoh yang turut aktif membantu perjuangan Imam Khomeni dalam menjatuhkan rezim Syah yang lalim di Iran. Terkait dengan perjuangan menegakkan kebenaran dan keadilan menurut ajaran Islam, Doktor Sastra lulusan Universitas Sorbone Prancis ini berjuang tak kenal lelah, bahkan bisa dikata bahwa selama hidupnya Ia terus mengabdikan dirinya membangun masyarakat Islam Iran dari belenggu kezaliman. Gagasan-gagasannya yang dituangkan dalam setiap ceramah-ceramahnya, menggiring para pemuda dan mahasiswa Iran tergugah semangatnya untuk memperjuangkan kebenaran dan keadilan.
Sejarah telah melukiskan bahwa pada masa kanak-kanak (masa dimana bermain jadi hobi/kegemaran bagi teman-teman sebayanya), Syariati justru memperlihatkan fakta lain, Ia malah asyik membaca berbagai macam literatur. Kegemaran ini terus berlanjut hingga masa remajanya. Sejak tahun pertama di Sekolah menengah atas, Syariati gemar membaca buku-buku filsafat, sastra, syair, ilmu Sosisial, dan studi keagamaan diperpustakaan peribadi ayahnya yang memiliki koleksi kurang lebih 2000 buku.
Tahun 1959, Syariati masuk Fakultas Sastra di Universitas Masyhad dan berhasil menunjukkan peringkat terbaiknya dikelas meski dililit oleh kesibukan resminya sebagai guru full-time. Berkat hobi dan kegemarannya di bidang sastra mengantarkan Syariati popular dikalangan mahasiswa. Di Universitas tersebut, Syariati bertemu dengan Puran-e Syariat Razavi yang kelak menjadi istertinya. Pada April 1959, prestasi akademis Syariati mengantarkannya mendapat beasiswa untuk melanjutkan studi ke luar negeri (Paris), sedangkan istri dan puterinya Ehsan menyusul setahun kemudian.
Keberadaan Syariati di Paris, dijadikan sebagai momentum untuk berkenalan dengan karya-karya dan gagasan-gagasan baru yang mencerahkan, yang mempengaruhi pandangan hidup dan wawasannya mengenai dunia. Ia mengikuti kuliah-kuliah akademisi, filsuf, penyair, militant, dan membaca karya-karya mereka, dan tidak jarang Ia bertukar pikiran dengan mereka.[2] Disinilah Syariati berkenalan dengan banyak tokoh intelektual Barat, antara lain Louis Massigon yang begitu dihormatinya, Frantz Fanon, Jacques Berque dan lain-lain.
Semangat perjuangan Syariati tidak pernah surut, meski Ia berada di Perancis Ia tetap berjuang melawan rezim Sah Pahlevi di Iran. Antara tahun 1962 dan 1963, waktu Syariati habis tersita untuk aktivitas politik dan jurnalistik. Dan setelah meraih gelar doktornya pada tahun 1963, setahun kemudian Syariati dan keluarganya kembali ke Masyhad Iran. Pada tahun 1965 Syariati bekerja di Pusat penelitian kementerian pendidikan di Teheran. Kemudian pada 1967, mulai mengajar di Universitas Masyhad. Inilah awal kontaknya dengan mahasiswa-mahasiswa Iran. Universitas Masyhad yang relatif tenang dan teduh, segera semarak oleh kedatangannya. Kelas Syariati tak lama kemudian menjadi kelas favorit. Gaya orator yang dimilikinya memikat audiens, memperkuat isi kuliahnya yang membangkitkan orang untuk berpikir.[3]
Kemampuan syariati dalam mempersatukan unsur-unsur modernisme dan revivalisme Islam dalam sebuah sintetis yang orisinil, dalam hal ini mencelah kapitalisme dan imperialisme Barat dengan budaya komsumerismenya yang telah menghegemoni dunia. Misi sejati Islam menurutnya ialah membebaskan golongan tertindas (mustad’afin). Ia melihat Islam dengan humanismenya dapat menyelamatkan rakyat.[4]
Juni 1971, syariati meninggalkan pekerjaan mengajarnya di Unviersitas Masyhad, lalu dikirim ke Teheran. Ia bekerja keras untuk menjadikan Hosseniyyah Ersyad menjadi sebuah Universitas Islam radikal yang modernis. Berbagai peristiwa politik di Iran pada 1971 memainkan peranan penting dalam membentuk dan mengarahkan orientasi serta aktivitas Hosseniyah yang semakin terkenal di kalangan kaum muda. Namun pada tanggal 19 November 1972, Hosseniyah Ersyad ditutup dan Syariati dipenjara karena berbagai aktivitas politiknya mengecam rezim Syah.
Pada tanggal 16 Mei 1977, Syariati meninggalkan Iran. Tentara Syah (SAVAK) akhirnya mengetahui kepergian Ali Syariati. Mereka mengontak agen mereka di luar negeri. Di London, inggris pada 19 Juni 1977, jenazah Ali Syariati terbujur dilantai tempat ia menginap.[5]
Kematian yang tragis seorang pejuang Islam yang teguh memperjuangkan keyakinannya. Ia syahid dalam meperjuangkan apa yang dianggapnya benar. Ali Syariati telah mengikuti jejak sahabat nabi, dalam hal ini Ali bin Abi Thalib dan Abu Dzar Al-Gifari.
[1] Ali Syari’ati, Islam: Mazhab Pemikiran dan Aksi. Terj. Afif Muhammad, (Mizan: Bandung, 1995), h. viii.
[2]Ali Syariati, Martyrdom: Arise and Bear Witness. terj. Dede Azwar Nurmansyah, Kemuliaan Mati Syahid. (Cet. I : Jakarta : Pustaka Zahra, 2003), h. 16.
[3] Ibid., h. 17.
[4] Antony Black, The History of Political Thought: From the Prophet to the Present, terj. Abdullah Ali, Pemikiran Politik Islam: Dari Masa Nabi Hingga Masa Kini (Jakarta: Serambi, 2006), h. 584-585.
[5] Ali Syariati, Martyrdom. Op.cit., h. 18.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar