Prinsip-prinsip Pendidikan
Prinsip yang coba ditawarkan al-Qabisi dalam persoalan pendidikan, lebih menyangkut pada persoalan asasi sebuah institusi pendidikan agama. Dalam konteks ini, ada beberapa prinsip yang coba diaplikasikan al-Qabisi. Pertama, mengenai larangan belajar di luar agama.
Tentang point ini kelihatanya al-Qabisi punya kesamaan visi dengan Ibnu Sahnun, keduanya melarang anak-anak non muslim yang mau belajar di kuttab, begitupun sebaliknya, anak-anak yang beragama Islam juga dilarang mengikuti pengajaran di sekolah-sekolah nasrani. Di satu sisi kelihatan sekali kalau al-Qabisi masih menggunakan pola pemikiran normatif dalam mengatur interaksi adukatif yaNg ada di kuttab. Namun pada sisi lain, kita bisa menganalisis bahwa sesungguhnya anak-anak yang masih di bawah umur masih sangat labil dalam beriikir, dan rentan untuk berpindah ideologi; oleh karena itu penulis sangat memaklumi kalau misalnya pada saat itu, baik al-Qabisi maupun Ibnu Sahnun melarang anak-anak muslimin belajar di luar institusi pendidikanya.
Bentuk larangan yang dimaksud diatas bukanlah merupakan sikap mengekang kebebasan ummat dalam melakukan proses pembelajaran, tapi lebih merupakan sikap toleransi yang coba diterapkan al-Qabisi. Dengan adanya bentuk pelarangan tersebut paling tidak akan meminimalisir bentuk-bentuk kecurigaan lain dari kedua belah pihak (baca; Muslim dan Non-muslim), sehingga bentuk keberagamaan tidak lagi menjadi hal yang kontroversial. Satu sikap yang sarat dengan nilai-nilai demokrasi.
Kedua, tanggung jawab pendidikan. Al-Qabisi juga berpandangan bahwa kewajiban mengajarkan al-Qur'an kepada anak-anak adalah tanggung jawab orang tua, namun ketika orang tuanya tidak mampu mengajari anak-anaknya, maka orang tua berkewajiban menyuruh anak-anaknya belajar kepada orang lain atau mendatangkan guru al-Qur'an. Jika tidak mampu juga, rnaka hendaklah orang tua dibebabkan kepada bait al-mal. Dengan demikian bisa diambil kesimpula bahwa yang menjadi penanggungjawab pendidikan adalah orang tua, guru dan pemerintah.
Dengan demikian penulis dapat berkesimpulan bahwa pendidikan yang baik harus ditopang dengan adanya kerja sama yang baik antara orang tua dan guru. Karena pendidikan tidak dibebankan pada satu institusi tertentu, yakni sekolah. Akan tetapi harus melibatkan beberapa instiusi lain, sperti rumah, lingkungan sekitar dalam rangka menjadikan anak tumbuh dan berkembang sesuai harapan kita semua. Oleh karena itu, proses pendidikan harus dimulai orang tua melalui institusinya (rumah), kemudian dilanjutkan guru sebagai pendidik kedua melalui institusinya (sekolah). Dengan demikian pendidikan tidak lagi menjadi tanggung jawab guru sekolah, akan tetapi ada penanggung jawab lain yang seharusnya mempunyai peran penting dalAm rangka pembentukan watak anak, yakni orang tua.
A. Prinsip-prinsip Pendidikan
Prinsip yang coba ditawarkan al-Qabisi dalam persoalan pendidikan, lebih menyangkut pada persoalan asasi sebuah institusi pendidikan agama. Dalam konteks ini, ada beberapa prinsip yang coba diaplikasikan al-Qabisi. Pertama, mengenai larangan belajar di luar agama. Tentang point ini kelihatanya al-Qabisi punya kesamaan visi dengan Ibnu Sahnun, keduanya melarang anak-anak non muslim yang mau belajar di kuttab, begitupun sebaliknya, anak-anak yang beragama Islam juga dilarang mengikuti pengajaran di sekolah-sekolah nasrani. Di satu sisi kelihatan sekali kalau al-Qabisi masih menggunakan pola pemikiran normatif dalam mengatur interaksi adukatif yaNg ada di kuttab. Namun pada sisi lain, kita bisa menganalisis bahwa sesungguhnya anak-anak yang masih di bawah umur masih sangat labil dalam beriikir, dan rentan untuk berpindah ideologi; oleh karena itu penulis sangat memaklumi kalau misalnya pada saat itu, baik al-Qabisi maupun Ibnu Sahnun melarang anak-anak muslimin belajar di luar institusi pendidikanya.
Bentuk larangan yang dimaksud diatas bukanlah merupakan sikap mengekang kebebasan ummat dalam melakukan proses pembelajaran, tapi lebih merupakan sikap toleransi yang coba diterapkan al-Qabisi. Dengan adanya bentuk pelarangan tersebut paling tidak akan meminimalisir bentuk-bentuk kecurigaan lain dari kedua belah pihak (baca; Muslim dan Non-muslim), sehingga bentuk keberagamaan tidak lagi menjadi hal yang kontroversial. Satu sikap yang sarat dengan nilai-nilai demokrasi.
Kedua, tanggung jawab pendidikan. Al-Qabisi juga berpandangan bahwa kewajiban mengajarkan al-Qur'an kepada anak-anak adalah tanggung jawab orang tua, namun ketika orang tuanya tidak mampu mengajari anak-anaknya, maka orang tua berkewajiban menyuruh anak-anaknya belajar kepada orang lain atau mendatangkan guru al-Qur'an. Jika tidak mampu juga, rnaka hendaklah orang tua dibebabkan kepada bait al-mal. Dengan demikian bisa diambil kesimpula bahwa yang menjadi penanggungjawab pendidikan adalah orang tua, guru dan pemerintah.
Dengan demikian penulis dapat berkesimpulan bahwa pendidikan yang baik harus ditopang dengan adanya kerja sama yang baik antara orang tua dan guru. Karena pendidikan tidak dibebankan pada satu institusi tertentu, yakni sekolah. Akan tetapi harus melibatkan beberapa instiusi lain, sperti rumah, lingkungan sekitar dalam rangka menjadikan anak tumbuh dan berkembang sesuai harapan kita semua. Oleh karena itu, proses pendidikan harus dimulai orang tua melalui institusinya (rumah), kemudian dilanjutkan guru sebagai pendidik kedua melalui institusinya (sekolah). Dengan demikian pendidikan tidak lagi menjadi tanggung jawab guru sekolah, akan tetapi ada penanggung jawab lain yang seharusnya mempunyai peran penting dalAm rangka pembentukan watak anak, yakni orang tua.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar