Dialektika pemikiran yang berimbas pada pertentangan (tarik menarik) gerakan-gerakan sosial telah mewarnai dinamika kesejarahan, entah timur atau pun barat. Kenyataan ini telah terus
terjadi dari zaman ke zaman, bahkan sejak klan manusia pertama (Adam) sebagaimana yang terjadi antara Khabil dan Habil (dua bersaudara yang terjerembab pada pertentangan paradigma yang berujung pada kematian salah satunya).Berkat kehebatan rasio manusia, hampir setiap lini kehidupan disentuh (dari yang sakral hingga yang profan). Gaya dan corak berfikir didedikasikan untuk memperkaya diskursus keilmuan, dari literal hingga liberal, klasik sampai kontemporer. Khas dari perjalanan tersebut nuansa, sekulerisasi, rekonstruksi, dekonstruksi, dan lain-lain.
Hasan Hanafi adalah salah seorang tokoh yang pernah tampil untuk mengambil peran dalam panggung Islam kontemporer. Munculnya kepermukaan merupakan panggilan keresahan atas realitas yang terbentang secara empiris dihadapannya, yakni penguasaan dunia Barat terhadap dunia Timur (khususnya Islam) yang diasumsikan berdampak buruk karena mencerminkan superioritas dan inferioritas. Keadaan ini merasuki diri Hanafi hingga terefleksi ide-ide besarnya yakni “Tradisi dan Pembaruan”.
Proses internalisasi kesadaran akan hal tersebut, Hanafi menempuh tiga pendekatan, yaitu :
1. Membangun sikap kritis terkait dengan tradisi lama
2. Menyatakan sikap kritis terhadap Barat
3. Meretas sikap terhadap realitas melalui pengembangan teori dan pengembangan paradigma interpretasi.[1]
Tiga alur ini merupakan rangkaian metodis yang secara bertahap harus dikusai. Pada posisi ini pulalah nampak Hanafi menangkap adanya problem epistemologis yang bersembunyi baik dalam tradisi Timur maupun Tradisi Barat yang kemudian menjadikan Timur inferior dan Barat sebagai super ego atau the other. Berdasar dari pernyataan diatas, maka penulis membatasi pembahasan seputar georafi, karya-karya, dan corak pemikiran Hasan Hanafi.
[1]Komarudin Hidayat, “Oksidentalisme: Dekonstruksi terhadap Barat”, pengantar dalam, Hassan Hanafi, Oksidentalisme, (Jakarta: Paramadina, 2000), hlm. xviii.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar