Mehdi Ha’iri Yazdi dilahirkan pada tahun 1923 dalam salah satu keluarga ulama paling terkemuka di Qum. Ayahnya bernama Ayatullah Syaikh Abdul Karim Ha’iri Yazdi, seorang ulama mazhab Syiah yang paling masyhur dan berpengaruh di masanya dan merupakan marja’-i taqlid mayoritas kaum Syiah.[1]
Mehdi Ha’iri Yazdi dibesarkan dalam keluarga ulama-ulama saleh yang dikenal karena kebajikan dan semangat keberagamaan mereka. Ia memperoleh pendidikan awal di tangan ayahnya sendiri dan kemudian melanjutkan studi tradisional formalnya di Qum, dan menguasai dengan baik ilmu-ilmu naqli maupun ilmu-ilmu intelektual, dan mencapai tingkat otoritas tertinggi (ijtihad) dalam hulum Islam serta teologi dan filsafat. Karena peran guru sangat penting dalam pendidikan Islam tradisional, di antaranya Mehdi Ha’iri Yazdi belajar fiqih kepada Sayyid Muhammad Hujjat Kuh Kamari’i dan Ayatullah Burujirdi.[2]
Adapun di antara guru-guru Mehdi Ha’iri Yazdi yaitu Mirza Mahdi Asytiyani dan Mirza Thahir Tunikabuni adalah di antara tokoh-tokoh terpenting yang kemudian digantikan oleh Ayatullah Sayyid Abul Hasan Qazwini di Qazwin dan Teheran, Sayyid Muhammad Kazhim ‘Ashshar dan Ayatullah Sayyid Ahmad Khunsari di Teheran dan Ayatullah Ruhullah Khumaini dan belakangan Sayyid Muhammad Husain Thabathaba’i di Qum. Kepada guru-guru seperti itulah Mehdi Ha’iri Yazdi belajar dan memperoleh manfaat dari pengajaran lisan mereka maupun dari ilmu mereka yang luas mengenai teks-teks filsafat Islam yang ditafsirkan dalam tradisi intelektual yang hidup yang mencakup masa lebih dari seribu tahun dan menjangkau ke belakang hingga ke asal muasal filsafat Islam. Dia adalah produk dan juru bicara dari tradisi tersebut dan sekaligus menampilkan salah satu interaksinya yang paling penting dengan filsafat Barat.[3]
Sejak mudanya Mehdi Ha’iri Yazdi telah tertarik kepada ilmu-ilmu intelektual, sebagaimana yang dipahami secara tradisional, yang pada jantungnya terdapat filsafat Islam. Dengan demikian dia mulai mencari guru-guru terbaik di bidang ini, yaitu orang-orang yang telah menjaga kelestarian kehidupan tradisi millenial filsafat Islam di Persia. Dia mengkaji Syarh Al-Hidayah Al-Atsiriyah, komentar Mulla Shadra mengenai karya besar Peripatetik dari Atsiruddin Abhari, dan Syarh Al-Isyarat, komentar Nashiruddin Thusi mengenai kitab masyhur Al-Isyarat wa Al-Tanbihat karangan Ibnu Sina, kepada Ayatullah Sayyid Ahmad Khunsari di Teheran. Dia juga mengkaji matematika tradisional yang didasarkan pada dalil-dalil Euclid dengan guru yang sangat dihormatinya itu. Mehdi Ha’iri Yazdi mengkaji Al-Syifa’ karya Ibnu Sina, ensiklopedia filsafat peripatetik yang paling hebat, kepada salah seorang otoritas terbesar mutakhir dalam filsafat Islam, Mirza Mahdi Asytiyani, yang mengajari murid muda yang bergairah besar itu di Qum maupun Teheran. Sedangkan tentang filsafat mazhab Mulla Shadra, Ha’iri mengkaji kitab Asfar karangan tokoh ini dan Syarh Al-Manzhumah karangan penafsirnya pada masa dinasti Qajar, Hajji Mulla Sabziwari, kepada Ayatullah Ruhullah Khumaini, yang pada waktu itu mengajar filsafat dan irfan (gnosis) di Qum. Ha’iri juga melakukan perjalanan ke Masyhad di Khurasan untuk mempelajari astronomi tradisional kepada Sayfallah Isi.[4]
Masa magang yang panjang kepada guru-guru yang memiliki reputasi ini menjadikan Ha’iri sangat mahir dalam filsafat Islam tradisional. Tapi ini tidak menandai akhir pendidikan formalnya. Didorong oleh hasrat untuk juga menguasai disiplin modern dan metode-metode pendekatan yang umum digunakan orang untuk mengkaji ilmu-ilmu keislaman, dia memasuki Universitas Teheran dan selasai pada tahun 1952, dia menerima gelar doktornya di Fakultas Teologi (ilahiyyat). Fakultas tersebut telah mencoba mengawinkan ilmu-ilmu keislaman tradisional dengan metode-metode penelitian dan kajian modern yang memesuki arena keilmuan Persia dari Barat. Percobaan ini merangsang selera Ha’iri untuk memperoleh pengalaman yang lebih orisinal dan langsung dalam pemikiran Barat. Untuk tujuan ini dia berangkat ke Barat sendiri di mana dia kemudian menghabiskan waktu lebih dari sepuluh tahun dalam kajian formal dan sistematis mengenai filsafat Barat di universitas-universitas seperti Michigan dan Toronto. Di sanalah dia memperoleh gelar Master maupun doktor dalam filsafat (gelar yang terakhir ini diperolehnya tahun 1979). Setelah menguasai bahasa Inggris dan medium intelektual pemikiran Barat, dia juga mengajar selama bertahun-tahun di perguruan-perguruan tinggi seperti Harvard dan Georgetown di Amerika, McGill di Kanada dan Oxford di Inggris. Tahun 1979 dia kembali ke Iran untuk menduduki jabatan guru besar filsafat Islam di Universitas Teheran dan menjalin kembali asosiasinya dengan Iranian Academy of Philosophy. Sekarang ini, meskipun secara formal telah pensiun, beliau masih terus mengajar sejumlah mahasiswa tingkat lanjut di rumahnya di Teheran.[5]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar