Kemajuan Ilmu dan Krisis Kemanusiaan
Kemajuan ilmu dan teknologi yang semula bertujuan untuk mempermudah pekerjaan manusia, tetapi kenyataannya teknologi telah menimbulkan keresahan dan ketakutan baru bagi kehidupan manusia.
Ibarat cerita Raja Madis yang menginginkan setiap yang disentuhnya menjadi emas, ternyata ketika keinginannya dikabulkan, dia tidak semakin senang, tetapi semakin gelisah bahkan gila. Sebab tidak saja rumah dan isi rumah yang emas, tetapi istri dan anak yang disentuhpun menjadi emas sehingga sang Raja akhirnya meratapi nasib yang kesepian tanpa ada makhluk hidup yang mendampinginya.
Begitu juga kemajuan ilmu dan teknologi yang semula untuk memudahkan urusan manusia, ketika urusan itu semakin mudah, maka muncul “kesepian” dan keterasingan baru, yakni lunturnya rasa solidaritas, kebersamaan dan silaturahim contohnya, penemuan televisi, computer dan handphone telah mengakibatkan kita terlena dengan dunia layar. Layar kemudian menjadi teman setia, bahkan kita lebih memperhatikan layar dibandingkan istri dan anak sekalipun. Bayangkan, hampir setiap bangun tidur kita menekan tombol televisi untuk melihat layar, pergi ke kantor tekan tombol handphone melihat layar untuk ‘bersms’ ria atau bermain ‘game’, sesampai di kantor sudah tersedia layar computer atau layar televisi. Begitu juga ketika pulang dari kantor sampai di rumah, layar televisi yang dilihat terlebih dahulu bukan anak istri. Akibatnya, hubugan antar anggota keluarga renggang dan satu sama lain asyik dengan layarnya masing-masing. Ini baru dalam rumah tangga sendiri, apaliagi dengan tetangga, mungkin bertemu dengan tetangga hanya ketika bendera kuning (tanda kematian) berdiri di depan rumah tetangga. Ketika itu, kita baru sadar ada anggota tetangga yang wafat. Dengan sedikit basa-basi kita membesuk sebentar sebelum pergi ke kantor.
Ternyata teknologi layar mampu membius manusia untuk tunduk pada layar dan mengabaikan dengan yang lain. Jika manusia tidak sadar akan hal ini, maka dia akan kesepian dan kehilangan sesuatu yang amat penting dalam dirinya, yakni kebersamaan, hubungan keluarga dan sosial yang hangat. Kalau pengaruh teknologi yang demikian semakin dalam, maka dia tidak sadar dari kebutuhan yang sebenarnya. Ibarat orang yang pertama kali tinggal di dekat kandang ayam. Pada minggu pertama tidurnya susah kalaupun bias hanya satu atau dua jam saja karena bau yang menyengat. Minggu kedua sudah agak bisa menyusuaikan diri dengan bau itu dan pada minggu-minggu selanjutnya sudah terbiasa. Setelah bertahun-tahun tinggal di sana sudah rindu pada bau tersebut, bahkan tidak bisa tidur kalu belum disertai “wewangian” kandang ayam.
Teknologi yang sedang melanda kehidupan kita sekarang juga ibarat orang yang betah tinggal di samping kandang ayam tadi, saking asyiknya dia tidak sadar bahwa teknologi layar dia terpinggirkan dari sebuah kebutuhan mendasar. Dia hanya berimajinasi sesuai dengan apa yang ditayangkan televisi, apa lagi yang menonton itu adalah anak-anak yang belum mampu membedakan antara yang nyata dan visual. Tuntutan melarang penayangan acara smack down di salah satu stasiun televisi adalah suatu contoh betapa besarnya akibat acara tersebut bagi kepribadian anak. Anak sekolah Dasar dan Menengah dan meniru apa yang mereka tonton dan tidak segan-segan berbuat sadis sehingga berakibat fatal bagi fisik dan bahkan ada yang meninggal.
Pada ilmu bioteknologi, perkembangan yang dicapai sangat maju, seperti rekayasa genetika dan teknologi cloning menandakan kemajuan yang begitu dahsyat sehingga menghawatirkan semua kalangan. Tidak saja agamawan dan pemerhati hak-hak asasi manusia, tetapi para ahli bioteknologi pun semakin khawatir karena kalau akibatnya tidak dapat dikendalikan, maka akan terjadi suatu bencana besar bagi kehidupan manusia. Contohnya, rekayasa genetika yang dulunya diharapkan untuk mengobati penyakit keturunan, seperti diabetes sekarang rekayasa tidak hanya untuk tujuan pengobatan, tetapi untuk menciptakan manusia-manusia baru yang sama sekali berbeda, baik dari segi postur fisik maupun sifat-sifatnya. Perkembangan rekayasa genetika ternyata membuat risau para pemerhati hak-hak asasi manusia karena dengan rekayasa tersebut, manusia tidak memiliki hak yang bebas lagi. Contohnya, jika teknologi tersebut jatuh ke tangan penguasa yang lalim, rakyatnya akan diusahakan. Memiliki sikap yang bungkam terus-menerus. Kendati teori ini belum tentu akan terwujud dalam waktu singkat, namun yang jelas rekayasa genetika menimbulkan persoalan dan sekaligus kekhwatiran besar di kalangan ahli etika dan agamawan. Penemuan ini di anggap lebih besar dampaknya dibandingkan dengan penemuan Galileo dan Darwin.
Karena itu, wajar kemudian timbul kontroversi diberbagai Negara apakah pengembangan rekayasa genetika untuk manusia dibolehkan atau tidak. Bagi Negara-negara liberal rekayasa genetika untuk manusia yang dibolehkan bahkan didukung oleh pemerintah, sedangkan pada Negara-negara yang konservatif pengembangan rekayasa genetika yang menjurus pada perubahan manusia secara total amat ditentang. Artinya, kemajuan ilmu dan teknologi tidak saja terfokus pada pengalihan hal-hal yang di luar manusia dan penyembuhan, tetapi lebih dar itu, yaitu mengubah sifat dasar manusia dan bahkan dapat diwujudkan manusia super yang berasal dari gen laki-laki super pintar dan cantik. Einstein baru akan muncul dengan kecerdasan luar biasa, yang memiliki postur seperti David Beckham.
Persoalan berikutnya adalah di mana letak kebebasan manusia dalam memilih hak hidupnya dan hak untuk memiliki cirri khas. Sebab, jika sejak awal dia sudah direkayasa untuk menjadi manusia tertentu, maka kebebasan memilihnya menjadi hilang dan dia tidak ubahnya seperti robot yang dikendalikan oleh orang lain. Jika teknologi ini jatuh ke tangan penjahat, maka akan terjadi kekacauan yang luar biasa dalam kehidupan umat manusia.
Sementara itu, ketidakpastian juga merebak dari segi moral dan kemanusian jika rekayasa genetika diterapkan pada manusia. Pemusnahan embrio manusia yang tidak jadi diklon dianggap suatu bentuk kekejian yang tidak bermoral. Tentu saja pemusnahan embrio ditentang oleh agama dan etika karena membunuh sel hidup. Hasil dari klon itu bisa dianggap bertentangan dengan hak asasi yang diklon, yakni jika dia tidak senang dari hasil rekayasa. Kalaupun itu dilandasi untuk menolong pasangan yang tidak mampu menghasilkan keturunan atau untuk kepentingan penelitian, apakah cukup adil jika mengatakan bahwa cloning manusia dilakukan atas dasar kemanusiaan ? masih banyak lagi persoalan yang perlu dijawab untuk menghadapi teknologi rekayasa genetika ini.
Krisis kemanusiaan tidak saja terjadi akibat teknologi maju, tetapi juga akibat dari kecenderungan, ideologi, dan gagasan yang tidak utuh. Contohnya, ide dan gerakan emansipasi yang dikumandangkan oleh para penggerak feminism, yang mendorong agar wanita diberi kesempatan yang sama di area public dengan laki-laki. Kesempatan ini kemudian ternyata dimanfaatkan oleh perusahaan padat karya dengan merekrut pekerja perempuan lebih banyak dibandingkan pekerja laki-laki. Perusahaan lebih banyak merekrut pekerja perempuan dengan pertimbangan, lebih rapi, lebih rendah gajinya, lebih mudah diatur, dan tidak merepotkan perusahaan. Akibatnya, laki-laki susah mendapatkan pekerjaan dan implikasi lebih lanjut rumah tangga menjadi berantakan karena perempuan merasa lebih hebat daripada laki-laki. Di sisi lain, laki-laki yang nganggur akan brebuat apa saja untuk mendapatkan uang, seperti merampok dan mencuri sehingga angka kriminalitas meningkat.
Contoh di atas adalah sekelimut persoalan yang muncul dari sebuah gagasan yang digerakkan tanpa melihat sebuah implikasi bagi kehidupan manusia secara utuh. Belum lagi arus globalisasi yang menelan banyak korban dan mengangkat sebagian kecil saja yang sejahtera. Tidak saja korban manusia, tetapi Negara menjadi korban dari suatu proses globalisasi. Artinya, Negara yang tidak mampu bersaing dengan Negara yang sudah maju dari segi sains dan tekhnologi, sulit diharapkan mampu menjadi pemain inti dalam percaturan dunia. Dunia sekarang sudah terkotak-kotak dalam struktur yang amat kapitalistik, yakni kelompok Negara-negara maju, yang sering disebut dengan G 8, kelompok Negara-negara berkembang, yang tergabung dalam Negara-negara Non-Blok, dan kelompok Negara-negara miskin dan super miskin yang tidak punya identitas. Bahkan saking miskinnya mereka tidak mampu mendirikan organisasi sendiri, yang sebagian mereka bergabung dalam Negara-negara Non-Blok.
Umat manusia sekarang amat tergantung dan dimanjakan oleh teknologi, ketergantungan yang terus menerus menjadikan dia terlena dan eksistensi dirinya yang bebas dan kreatif. Dia kemudian tidak sadar dipenjara oleh teknologi itu sendiri, sehingga tidak kreatif dan reflektif lagi. Contoh, teknologi layar membuat manusia tergantung pada layar, bahkan kalau handphonenya rusak atau computer rusak, maka dia sangat repot karena semua urusan ada di sana, mulai dari agenda harian sampai proposal mega proyek.
Kalau sebelum penemuan teknologi maju, manusia terpenjara atau ditentukan oleh alam dan Tuhan, maka pada kemajuan teknologi terpenjara oleh teknologi itu sendiri. Artinya, bertambah maju teknologi bertambah banyak aspek yang memenjarakan manusia. Dulunya alam memenjara sehingga manusia hanya bisa bepergian di sekitar radius tertentu dan tidak bisa keliling dunia. Manusia juga dibatasi oleh hukum alam yang tidak bisa terbang. Namun, sekarang keterbatasan itu dapat diatasi dengan teknologi. Begitu juga paham fatalisme dalam agama, manusia dibatasi oleh kehendak mutlak Tuhan. Ibarat permainan wayang, manusia hanya sebagai wayang, yang dalangnya adalah Tuhan. Perbuatan manusia adalah perbuatan Tuhan, baik pada tingkat daya, kemampuan maupun perbuatan itu sendiri.
Setelah ditemukan kemajuan teknologi yang begitu hebat, ternyata tanpa disadari teknologi itu pun memenjarakan manusia. Artinya, penjara manusia tidak terkurung dengan kemajuan teknologi, tetapi semakin bertambah. Pada konteks inilah manusia perlu disadarkan dari penjara yang bernama teknologi. Dia harus sadar bahwa teknologi bukan tujuan, tetapi sekedar sarana untuk memudahkan urusan. Oleh karena itu, dalam beberapa kesempatan kita perlu membebaskan anak-anak dari penagruh layar agar mereka tidak tergantung dan terpenjara oleh layar. Acara di layar adalah realitas yang sudah direkayasa, meskipun berita itu terjadi secara rill, seperti banjir dan gempa bumi. Gempa bumi yang ditayangkan televisi adalah hasil rekayasa dan tidak utuh. Televisi hanya menampilkan gambar dari sudut yang mengerikan saja dan bahkan mendramatisir peristiwa itu melebihi kenyataan. Berita yang ditayangkan juga hanya mengambil satu sudut pandang saja, tidak semua dimensi peristiwa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar